Oleh: Alifia Putri Yudanti dan Ikko Anata
KOMPAS.com - Setiap manusia pasti pernah mengalami konflik, baik kecil maupun besar. Untuk itu, agar tak semakin melebar, dibutuhkan solusi yang tepat.
Konflik dapat dipicu oleh berbagai hal. Misalnya, saat ada perbedaan pendapat atau keinginan yang tak sesuai sehingga terjadi debat kusir. Maka dari itu, orang-orang yang lebih mementingkan ego bisa dikatakan sebagai pemicunya.
Meskipun konflik selalu distigmakan buruk, ternyata di dalam dunia psikologis ada pula konflik yang dapat memicu suasana positif (positive conflict).
Hal ini diutarakan oleh dr. Dharmawan A. Purnama, PhD. Psychiatrist, seorang Psikiater FKUI, dalam siniar Anyaman Jiwa bertajuk "Pentingnya Konflik yang Resolutif".
Tak bisa dimungkiri, dalam hidup, pasti ada ketegangan antara satu orang dan yang lainnya yang dipicu berbagai hal. Namun, ketegangan itu tak seharusnya dihindari.
dr. Dharmawan mengungkapkan kalau kita bisa menemukan solusinya, konflik itu berarti positif, "Kalo ketegangan itu dijaga dengan baik, dibikin seimbang, bisa ada solusinya. Maka sebetulnya konflik itu bermanfaat."
Hidup itu pasti berdinamika karena tiap orang memiliki pandangan yang berbeda. Oleh karena itu, kita juga harus selalu berusaha untuk memecahkan konflik sehingga tak ada pihak yang tersakiti.
"Untuk mendapatkan yang lebih baik, gak bisa statik. Jadi, perlu mengutarakan sesuatu yang baru. Di mana, ketika kita mengutarakan sesuatu yang baru, pasti terjadi konflik."
Bahkan, Tompkins dalam Pepperdine mengungkapkan kalau konflik dapat berguna bagi suatu tim. Dari situ, mereka bisa belajar bagaimana cara menyelesaikan suatu perkara dengan efektif.
Baca juga: Memahami Insecurity dengan Mengenal dan Menghargai Diri Sendiri
Sebenarnya, semua orang diperbolehkan untuk mengeluarkan opini hingga emosinya. Namun, apabila sudah mengganggu dan melukai orang lain, itu bisa memicu konflik.
Untuk itu, diperlukan pengelolaan emosi agar ia memiliki media penyaluran yang tepat. "Yang masalah itu, 'kan, kalo salah satunya mau menang sendiri, gak bisa make empatinya," tambah dr. Dharmawan.
Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan agar bisa mengendalikan konflik. Pertama, kita harus mampu mengenali dan memahami diri sendiri dan perspektif orang lain. Dengan kata lain, berempati.
Empati bisa membuat kita mampu memosisikan diri sebagai orang lain. Misalnya, bagaimana keinginannya, kondisi psikologisnya, hingga latar sosial dan budayanya.
Kedua adalah membuat jarak dengan diri sendiri atau orang lain. Hal ini dilakukan agar kita bisa lebih objektif dalam menilai konflik. "Dari objektif itu kita bisa melihat bahwa, "Oh, dibentuknya masalahnya di sini, benturannya di sini.""