KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Ukrida
UKRIDA Bagimu Negeri
Akademisi

Platform akademik Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) untuk menyebarluaskan gagasan dari para akademisi tentang ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat dan dipersembahkan bagi kemajuan negeri Indonesia.

Bersahabat dengan Diri Sendiri

Kompas.com - 06/04/2022, 18:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh dr Theresia Citraningtyas, MWH, PhD, SpKJ (drcitra.wicaksana.org)

Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA)

 

SETIAP orang pernah melakukan sesuatu yang kemudian disesali. Contohnya, ketiduran, kelupaan, menyinggung perasaan orang, kesulitan menyelesaikan pekerjaan, dan tidak berhasil dalam ujian atau tugas tertentu. Lantas, seberapa sulit kita menerima pengalaman seperti ini? Dapatkah kita mengikhlaskannya? Atau, kita cenderung memarahi, memaki, bahkan menyakiti diri sendiri?

Ataukah kita memilih menyalahkan orang lain atau keadaan dan bersikap defensif? Sebetulnya, melemparkan tanggung jawab juga merupakan bentuk upaya menghindari rasa sakit.

Sebagai manusia, kita ternyata tidak bisa menerima kenyataan bahwa tak ada yang sempurna di dunia ini. Melalui artikel ini, saya ingin berbagi manfaat penting bersahabat, khususnya dengan diri sendiri. Hal ini terutama penting dalam dunia yang masih diselimuti isolasi sosial secara global.

Apa itu bersahabat dengan diri sendiri?

Belakangan, saya sering diundang untuk menjadi pembicara webinar dengan tema-tema, seperti “dealing with Insecurity and learning to love yourself”, “love yourself, love your health”, “forgiveness and self-acceptance”, dan “self-care and preventing burnout for helping professionals”.

Belajar mencintai diri sendiri tidak berarti menjadi narsis atau egois. Sebaliknya, bila merawat diri dengan baik, kita akan lebih optimal berkontribusi bagi sesama. Contohnya masker oksigen di pesawat. Kita diwajibkan untuk memasang masker sendiri sebelum membantu orang lain. Kita tidak dapat membantu orang lain bila kita sendiri tidak berdaya menolong diri sendiri.

Sikap terhadap diri sendiri terlihat dari cara kita mengingatkan diri atau mengomentari apa yang terjadi. Apakah kita menggunakan kata-kata yang lembut dan menenangkan atau bersikap keras dan menghakimi? Apa bentuk self-talk yang kita lakukan? Apakah kata-kata itu membuat kita lebih nyaman dan bersemangat atau malah membuat kita semakin kecewa dan terpuruk? Seandainya kita berbicara seperti itu kepada orang lain, apakah kira-kira mereka akan senang atau tersinggung?

Mungkin, kita terkadang lupa makan atau tidur larut malam. Seandainya, kita punya sahabat, apakah kita akan memaksanya pantang makan dan tidur sebelum pekerjaan tuntas? Bagaimana kira-kira perasaannya seandainya diperlakukan seperti itu?

Rumah sakit (RS) biasanya memperlakukan pasien VIP secara istimewa. Namun, saya sering mengingatkan teman sejawat dokter untuk mendahulukan pasien VVIP, yaitu diri sendiri. Pasien ini tidak akan makan kalau tidak diberi makan dan tidak akan istirahat bila tidak diberi waktu. Nasibnya menentukan nasib semua pasien yang lain.

Buku Self-love: Temukan Harta Karun di Dalam Dirimu yang ditulis dr Theresia Citraningtyas, MWH, PhD, SpKJ bersama teman-temannya, yakni dr Sonia Wibisono, Cindy Gozali (pakar meditasi), Vriti Mahtani (pemerhati pendidikan anak usia dini), Artha Julie Nava, dan drg T Annisa Utami.Istimewa Buku Self-love: Temukan Harta Karun di Dalam Dirimu yang ditulis dr Theresia Citraningtyas, MWH, PhD, SpKJ bersama teman-temannya, yakni dr Sonia Wibisono, Cindy Gozali (pakar meditasi), Vriti Mahtani (pemerhati pendidikan anak usia dini), Artha Julie Nava, dan drg T Annisa Utami.

Saya dan beberapa teman, yakni dr Sonia Wibisono, Cindy Gozali (pakar meditasi), Vriti Mahtani (pemerhati pendidikan anak usia dini), Artha Julie Nava, dan drg T Annisa Utami, bersama-sama menulis buku Self-love: Temukan Harta Karun di Dalam Dirimu. Buku ini adalah sebuah coretan kehidupan serta refleksi pengalaman hidup dalam belajar menerima dan menghargai diri sendiri berikut latihan-latihan yang dapat digunakan pembaca.

Kami sepakat bahwa mengasihi diri sendiri bukanlah egoisme, melainkan sebuah jendela untuk menemukan kekayaan diri yang tidak ternilai.

Kemampuan untuk menghibur diri, atau yang disebut self-soothing, sangatlah penting. Apa yang kita lakukan bila seorang sahabat menghadapi masalah? Hal paling utama adalah hadir menemaninya, seperti dalam ungkapan, “I am here for you. I am on your side”.

Namun, apakah kita bisa hadir untuk diri kita sendiri? “Be present to ourselves?” Kadang, kita sibuk berpikir ini itu sehingga lupa menarik napas, merasakan keberadaan diri kita - “to be simply be”, serta menjejak tanah - “be grounded”.

Untuk mengatasi masalah itu, berbagai teknik relaksasi telah diciptakan guna membantu melepaskan ketegangan, mulai dari olah napas, menyilangkan tangan, hingga menepuk-nepuk pundak, seperti memeluk sahabat yang berduka. Teknik ini bertujuan agar kita bisa hadir bagi diri sendiri. Kita punya sahabat yang butuh didengarkan. Sahabat yang utama itu adalah diri kita sendiri.

Apa yang Anda lakukan bila salah seorang sahabat punya masalah? Kita mengundangnya untuk menceritakannya. Pendengar yang baik akan menerima tanpa menghakimi dan berusaha memahami perasaannya.

Kita berusaha empati dan peduli dengan tulus sehingga beban yang dipikul terasa terbagi. Namun, pernahkan kita melakukannya pada diri sendiri—sahabat terintim yang sangat membutuhkan kita mendengar, memahami, dan mengerti?

Beberapa cara mendengarkan diri

Salah satu cara mendengarkan diri sendiri adalah dengan menulis (journaling). Ketika menulis, kita bebas mencurahkan perasaan tanpa menghakiminya. Kita juga dapat mengungkapkan apresiasi terhadap diri tanpa takut dianggap sombong. Setelah itu, terserah apakah tulisan tersebut mau dirahasiakan atau ditunjukkan kepada orang tepercaya.

Ada yang menuangkan perasaan dalam bentuk lagu, puisi, cerita pendek (cerpen), lukisan, tarian, atau bentuk seni lainnya. Perasaan yang paling pahit terkadang malah menghasilkan karya yang luar biasa, seperti “Tears in Heaven” yang dibuat Eric Clapton setelah anaknya meninggal.

Pada zaman sekarang, orang sering kali mencurahkan perasaan lewat laptop atau telepon genggam dalam status profile, tweet, instastory, blog, dan lain-lain. Hal ini bisa membantu, bila mendapat tanggapan positif. Orang lain pun terkadang bisa terbantu bila merasakan hal yang serupa, sehingga tidak merasa sendirian.

Meski demikian, mencurahkan perasaan kita di ranah publik memiliki risiko. Bayangkan bila Anda curhat di televisi. Kita belum tentu mendapat tanggapan yang mendukung dari semua pemirsa.

Interaksi di dunia maya juga punya faktor risiko seperti demikian. Ada haters, stalkers, cyberbullying, identity theft, dan banyak lagi. Selain itu, kebutuhan untuk mencari likes, followers, subscribers, comments, dan sebagainya justru dapat memperparah rasa tidak nyaman diri.

Tanggapan orang di media sosial kerap menimbulkan keraguan, insecurity terhadap diri kita sendiri. Seseorang bisa dikejar oleh pertanyaan, “Am I good enough”?

Pendekatan Personality and Human Relations atau Personnalite et Relations Humaines (PRH) dapat menjadi salah satu cara untuk mendengarkan diri. Pendekatan ini melatih kita untuk menggali hakikat diri (being) yang terdiri dari potensi dan nilai-nilai terbaik seseorang.

Seperti diketahui, perasaan dan pikiran kita terwarnai oleh berbagai pengalaman serta sejumlah hal yang kita pelajari dari masyarakat. Hal ini sering kali justru menjadi penghalang untuk kita mengenal, menghargai, dan mengembangkan diri kita yang terbaik.

Oleh karena itu, bidang positive psychology/psychiatry menekankan urgensi fokus terhadap hal positif dalam diri. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan resiliensi serta mengembangkan wellbeing.

Pendekatan tersebut juga penting untuk mencegah masalah mental lebih lanjut, seperti ansietas, depresi, perilaku menyakiti diri (self-harm), bahkan bunuh diri (suicide). Bila masalah tersebut sudah mengganggu fungsi sehari-hari, seperti studi, pekerjaan, relasi, dan mengancam keselamatan diri sendiri atau orang lain, diperlukan bantuan profesional kesehatan mental, baik psikolog maupun psikiater.

Profesional kesehatan mental dapat mendukung pemulihan dari sejumlah kondisi tersebut. Ada banyak teknik psikoterapi yang bisa digunakan. Contohnya teknik mindfulness. Teknik ini mengajarkan kita agar pikiran tidak menerawang tanpa arah, tetapi berada di sini dan pada saat ini (here and now) dengan memperhatikan diri kita serta hal-hal di sekitar kita.

Ada juga cognitive behavior therapy. Teknik ini dapat membantu seseorang mengembangkan pola pikir dan perilaku yang lebih positif. Selain itu, ada pendekatan psikodinamik yang dapat membantu seseorang untuk mengenali akar masalah di masa lalunya. Kemudian, ada logoterapi. Pendekatan ini bisa membantu orang menemukan makna hidup di balik kesulitannya. Selain itu ada berbagai pendekatan lain yang dapat dipilih.

Kebutuhan akan pertolongan profesional

Masalah-masalah kesehatan mental yang marak bermunculan menunjukkan bahwa tenaga profesional kesehatan mental semakin dibutuhkan pada masa kini dan masa depan. Kita membutuhkan orang-orang yang peduli dan ingin membantu sesama sebagai sahabat jiwa dan membantu menangani masalah kesehatan mental. Hal ini dipelajari secara mendalam oleh psikolog dan psikiater.

Psikolog klinis adalah sarjana psikologi yang kemudian mengambil profesi psikolog, sedangkan psikiater atau spesialis kedokteran jiwa adalah dokter yang berfokus pada kesehatan jiwa. Keduanya dapat memberikan psikoterapi untuk berbagai masalah kesehatan mental, tetapi masing-masing juga mempunyai kelebihan tersendiri.

Sebagai dokter, seorang psikiater dapat menangani masalah-masalah kesehatan mental yang terkait dengan kondisi fisik, seperti long Covid-19, kekurangan vitamin D, autoimun, dan masalah hormonal seperti premenstrual syndrome (PMS).

Psikiater juga bisa menangani masalah yang muncul dalam bentuk keluhan-keluhan fisik, misalnya sulit tidur/insomnia atau gangguan psikosomatis, serta gangguan yang membutuhkan pengobatan atau penanganan khusus, seperti depresi atau ansietas berat, gangguan bipolar, skizofrenia, gangguan pemusatan perhatian, hiperaktivitas/attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), dan obsessive compulsive disorder (OCD).

Psikolog punya kompetensi dalam berbagai alat psikometri, seperti tes IQ, tes bakat minat, dan tes penempatan kerja. Karena itu, psikolog dan psikiater seringkali bekerja sama untuk membantu pasien-pasien tertentu. Misalnya, psikiater akan merujuk pasien ke psikolog untuk tes IQ, sedangkan seorang psikolog dapat merujuk pasien yang membutuhkan obat ke psikiater.

Selain itu, kesehatan dan kesejahteraan mental juga semakin banyak dikaji oleh berbagai disiplin ilmu yang berbeda. Ilmu manajemen, misalnya, mempelajari bagaimana menjaga kesehatan mental pekerja dan menghasilkan karya yang optimal. Bidang pendidikan dan pengasuhan mengajarkan bagaimana anak-anak, murid, dan mahasiswa yang merasa diterima dapat mengembangkan potensinya secara lebih optimal.

Salah satu kunci penting dari semua kajian yang berbeda tersebut adalah persahabatan dengan diri sendiri dapat tercapai. Ketika melihat berbagai konflik dan masalah yang terjadi di dunia, kita semakin disadarkan betapa penting kemampuan untuk bersahabat, baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain.

Keduanya sangat berhubungan erat. Dengan bersahabat dengan diri sendiri, kita semakin mampu bersahabat dengan sesama. Ini salah satu kunci untuk menciptakan dunia yang semakin sehat jiwa, sebuah dunia yang bersahabat dengan semua.

Jadi, mulailah dari diri sendiri. Sudahkah Anda bersahabat dengan diri sendiri? Belajarlah untuk hadir bagi dirimu, mendengarkan dirimu, dan bersahabat dengan dirimu. Dari situlah akan mengalir persahabatan bagi sesama dan awal dari dunia yang aman, tenteram, dan penuh kedamaian.

Baca tentang

komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com