Oleh: Alifia Putri Yudanti dan Fandhi Gautama
KOMPAS.com - Mungkin kita pernah mendengar kisah hidup orang sukses yang berakhir tragis. Beberapa di antaranya bahkan sempat mengalami gangguan mental, seperti depresi, sebelum mengakhiri hidupnya.
Hal ini membuktikan bahwa kesuksesan itu bukanlah segalanya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk bisa menyeimbangkan hidup dengan emosi positif, seperti rasa bahagia.
Ketika bahagia, kita akan merasa hidup lebih bermakna. Dengan begitu, kita juga jadi mensyukuri setiap proses yang dijalani sehingga tak hanya berorientasi pada hasil.
Bahkan, PBB menetapkan Hari Bahagia Sedunia yang jatuh pada 20 Maret setiap tahunnya. Perayaan hari ini dilakukan untuk mengingatkan kembali kepada orang-orang bahwa mempunyai kebahagiaan dalam hidup itu penting.
Arvan Pradiansyah, motivator tentang happiness dan leadership, dalam siniar Smart Inspiration edisi Happiness bertajuk "Sukses Bukanlah Parameter Kebahagiaan, Lalu Apa Parameternya?", mengungkapkan bahwa "Dengan adanya International Day of Happiness, kita jadi diingatkan kalo sukses bukan tujuan (utama), tapi perantara aja."
Lantas, mengapa kesuksesan tak melulu dapat memenuhi rasa bahagia kita?
Kesuksesan yang tak diimbangi dengan rasa bahagia, bisa membuat kita melakukan berbagai cara kotor untuk mencapainya.
Menurutnya, kini orang bisa menghalalkan segala cara untuk meraih kesuksesan dengan membuat orang lain menderita. Misalnya saja fenomena penimbun minyak goreng atau masker pada masa pandemi di negeri ini.
"Yang dikejar dalam hidup ini selalu adalah kesuksesan. Dan untuk mengejar kesuksesan itu, kita bisa menghalalkan segala cara," tambahnya.
Baca juga: Jaga Kesehatan Mental lewat Webinar Anyaman Jiwa: Social Media Detox
Padahal, salah satu indikator yang PBB terapkan untuk peringkat negara paling bahagia adalah kemurahan hati. Hal ini dapat dilihat melalui rasa percaya kita dengan orang satu negara.
Selain itu, kepercayaan ini juga dapat dilihat pada pemikiran masyarakat terhadap pemerintah. Dikatakan bahwa negara bahagia memiliki rakyat yang percaya kalau pemimpinnya tidak korupsi.
Namun, hal tersebut tampaknya tak berlaku di Indonesia yang menurut laporan World Happiness 2022 kini berada di peringkat ke-87. Hal ini karena banyak masyarakat kita yang masih skeptis terhadap satu sama lain.
Hal ini tentu bukan tanpa sebab. Jika ingin dipercaya, seharusnya kita sama-sama membangun rasa tersebut dengan mulai melakukan proses atau usaha yang sehat.
Arvan juga menambahkan bahwa, "Kepercayaan kita terhadap sesama, itu juga sumber kebahagiaan kita."