Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Kamboja Larang Warganya Memetik "Tanaman Penis"

Kompas.com - 23/05/2022, 12:09 WIB
Anya Dellanita,
Wisnubrata

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Beberapa waktu lalu, pemerintah Kamboja mengingatkan warganya untuk berhenti memetik "tanaman penis," alias tanaman karnivora langka yang memiliki bentuk mirip dengan alat kelamin pria.

Dikutip dari Live Science, imbauan dari Kementerian Lingkungan Kamboja itu diumumkan bersamaan dengan sebuah unggahan di laman resmi Facebook mereka, menampilkan tiga orang wanita yang memetik dan berpose dengan tanaman itu.

"Apa yang mereka lakukan sangat salah. Jadi, jangan lakukan ini lagi ke depannya! Terima kasih telah mencintai sumber daya alami ini, namun jangan sembarang memanennya!” tulis Kementerian Lingkungan dalam unggahan Facebook-nya.

Adapun untuk jenis tanaman yang dipetik, tidak sedikit situs berita menyebutkan bahwa tanaman tersebut merupakan Nepenthes holdenii. Padahal, tanaman dalam foto adalah tanaman dengan jenis lain, Nepenthes bokorensis.

Jeremy Holden, fotografer alam liar yang pertama kali menemukan N. Holdenii, memaparkan perbedaan dua tanaman itu.

Menurut Holden, meski N. holdenii dan N. bokorensis memiliki tampilan serupa dan berpotensi membuat orang lain kebingungan, N. holdenii lebih langka dan hanya ada beberapa peneliti yang mengetahui tempat tumbuhnya.

"Tanaman saya [N. holdenii] tumbuh di beberapa lokasi rahasia di Pegunungan Cardamom, tepatnya di barat daya Kamboja, sementara bokorensis bisa ditemukan di Phnom Bokor yang lebih mudah diakses dan telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir,” ujar Holden.

Halaman Facebook Kementerian Lingkungan Kamboja yang menunjukkan himbauan tidak memetik Nepenthes Halaman Facebook Kementerian Lingkungan Kamboja yang menunjukkan himbauan tidak memetik Nepenthes
Unggahan yang dibuat Kementerian Lingkungan Kamboja sendiri merupakan respons dari sebuah video yang diambil pada 11 Mei 2022 lalu, yang menampikan beberapa wanita memetik tanaman langka tersebut.

Ini juga bukan kali pertama pemerintah Kamboja menerbitkan peringatan terkait perusakan tanaman unik dan fotogenik itu

Pada Juli 2021 lalu, staf senior di kementerian mengeluarkan sebuah pernyataan yang meminta agar pengunjung tidak memetik N. bokorensis dan N. holdenii karena hal itu dapat menyebabkan tanaman ini mengalami kepunahan.

Tanaman keluarga Nepenthes sendiri dapat bertahan di tanah rendah nutrisi dengan memakan serangga hidup, menggunakan nektar dan aroma manisnya untuk mengundang mangsa.

Berkat aromanya, serangga pun akan hinggap di sekitar mulut tanaman yang menyerupai kantong.

Nah, saat serangga jatuh ke dalam kantong, serangga akan terendam dalam cairan pencernaan tanaman yang menyerap nutrisinya.

Lalu perlu diketahui, tanaman ini justru terlihat paling mirip alat kelamin pria saat daunnya masih berkembang dan kantongnya tertutup.

Kita juga perlu tahu bahwa menurut sebuah studi di Cambodian Journal of Natural History, habitat alami tanaman karnivora ini terus menurun akibat ekspansi pertanian di lahan pribadi dan pertumbuhan industri pariwisata menjadi kawasan lindung.

Karena itu, ilustrator botani Francois Mey mangatakan bahwa pemetikan tanaman unik ini makin membahayakan kelangsungan hidupnya.

“Kalau tertarik, untuk lucu-lucuan, untuk berpose atau ingin berswafoto dengan tanaman ini, tidak apa-apa,” ujarnya.

"Hanya saja, jangan memetik kantongnya karena itu akan melemahkan tanaman. Ingat, tanaman ini membutuhkan kantong ini untuk makan,” pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com