KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Ukrida
UKRIDA Bagimu Negeri
Akademisi

Platform akademik Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) untuk menyebarluaskan gagasan dari para akademisi tentang ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat dan dipersembahkan bagi kemajuan negeri Indonesia.

Merawat Mereka yang Merawat Kita: Sebuah Investasi untuk Masa Depan Pelayanan Kesehatan

Kompas.com - 25/05/2022, 18:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh Yosi Marin Marpaung, SKM, MSc
Dosen Program Studi Keperawatan Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA)

 

 

May we never forget freedom isn’t free.” - Unknown.

INDIKATOR pengendalian Covid-19 di Indonesia, saat saya menuliskan artikel ini, berada dalam keadaan baik. Bahkan, situasi saat ini dapat dikatakan lebih baik dibandingkan periode sebelumnya.

Banyak orang menyambut hal itu dengan sukacita. Masyarakat pun mulai membayangkan akhir dari pandemi sudah dekat. Bukan langkah yang mudah untuk bisa sampai pada titik ini dan dibutuhkan pengorbanan banyak pihak. Kita pun mesti tetap waspada akan peningkatan kasus Covid-19.

Masih dalam momen Hari Perawat Internasional yang diperingati setiap 12 Mei, kita perlu menyadari bahwa penanganan pandemi Covid-19 tak terlepas dari peran para tenaga kesehatan di garda terdepan.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengestimasi, sepanjang Januari 2020-Mei 2021, sekitar 80.000-180.000 tenaga kesehatan di dunia kehilangan nyawa akibat Covid-19.

Di Indonesia sendiri, berdasarkan data laporcovid19.org per Selasa (3/5/2022), sebanyak 2.087 tenaga kesehatan gugur. Adapun 670 di antaranya adalah perawat.

Editorial pada salah satu jurnal kesehatan terkemuka, Lancet, merespons kondisi itu. Redaksi jurnal tersebut menulis, “have died.. in attempt to help others” atau kematian di dalam situasi sedang menolong orang lain.

Selain merenggut nyawa, pandemi Covid-19 juga berdampak pada psikis para tenaga kesehatan, termasuk perawat.

Penelitian yang dilakukan Fernandez dan kawan-kawan (dkk) dalam jurnal BMJ Open serta Marvaldi dkk di jurnal Neuroscience & Biobehavioral Reviews pada 2021 menuliskan bahwa tenaga kesehatan banyak mengalami masalah kejiwaan selama menangani pandemi Covid-19. Gangguan itu di antaranya adalah kecemasan, depresi, stres akut, stres pascatrauma, dan gangguan tidur.

Beban perawat di masa “krisis”

Bekerja di tengah situasi pandemi Covid-19 bukanlah hal mudah. Dalam konteks penanganan penyakit yang menyebar secara cepat, kehadiran perawat secara fisik di lapangan sangat dibutuhkan. Perawat melakukan tugas mulai dari level promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Di masa pandemi, perawat mengiringi kesuksesan vaksinasi Covid-19 di seluruh wilayah Indonesia sembari memastikan layanan kesehatan lain tetap beroperasi dengan baik. 

Pada pasien Covid-19, perawat memberi perhatian pada kebutuhan manusia dalam dimensi yang holistik. Sebab, ketika sakit, pasien tidak hanya merasakan sekelumit keluhan fisik, tapi juga mengalami rasa cemas, serta dibayangi stigma sosial dan biaya pengobatan.

Ketidakhadiran keluarga secara fisik sangat mungkin membuat perawat menjadi wadah utama bagi pasien menumpahkan keluh kesah yang dirasakan. Sembari menjalankan tanggung jawab yang besar ini, perawat perlu memberi perhatian penuh pada setiap parameter agar tidak salah melangkah.

Setiap langkah yang diambil juga harus diperhatikan agar tidak hilang kendali. Semua dilakukan dalam semangat untuk terus melayani dan berempati bagi pasien yang sakit serta keluarga yang cemas di rumah.

Dalam penelitian yang baru saya lakukan di dua provinsi di Indonesia, beberapa kali saya mendengar bahwa masa pandemi adalah situasi paling berat bagi para perawat. Beberapa perawat bercerita bahwa mereka dan keluarganya pernah mengalami stigma dan diskriminasi, kelelahan fisik, bahkan mental yang amat dalam.

Mereka mengenang beragam peristiwa tersebut sambil melepas air mata. Tekanan yang diterima oleh beberapa perawat semasa bertugas tidak hanya berasal dari lingkungan eksternalnya. Tekanan juga pernah diterima dari lingkungan internalnya, termasuk dari sesama rekan kerja.

Tantangan yang diterima selama pandemi juga berat karena perawat harus keluar dari business-as-usual dengan cepat. Selain berhadapan dengan pasien, perawat diharapkan mampu beradaptasi dengan perubahan yang cepat, seperti fluktuasi kasus yang tidak dapat diprediksi, keberadaan informasi penyakit yang terus-menerus diperbaharui, kewajiban segera me-recharge dan meng-improve diri dengan ilmu baru, serta rutinitas melakukan prosedur dan praktik-praktik kebiasaan baru dalam pelayanan kesehatan.

Tak jarang semua itu dikerjakan oleh perawat dengan sumber daya material dan manusia terbatas. Apalagi, ketika sejawat terdiagnosis Covid-19. Jumlah perawat yang tidak memadai ketika situasi krisis memicu kelelahan dan kemungkinan burnout atau compassion fatigue. Beberapa perawat juga menyampaikan beban karena keterlambatan penerimaan insentif.

Praktik perawatan diri (self-care) yang menjadi salah satu pilar penting pencegahan burnout pada perawat juga menjadi lebih sulit dilakukan karena masalah tersebut. Khususnya, bagi perawat yang terbiasa mengambil manfaat dari hubungan dengan orang terdekat.

Saya mendengar beberapa perawat terpisah dari keluarga dalam waktu yang lama. Mereka terpisah bukan hanya karena penugasan, melainkan juga khawatir membawa virus ke rumah.

Beragam beban tersebut dialami dari hari ke hari, bulan ke bulan. Intensi untuk meninggalkan pekerjaan pun diutarakan oleh beberapa perawat yang saya temui. Semua ini menerangkan betapa rentan perawat mengalami kemunduran dari sisi wellbeing-nya.

Beban perawat di masa “tenang”

Tantangan tampaknya masih dialami sekalipun kita mulai terlepas dari masa krisis. Saya menyebut ini sebagai masa “tenang”, yaitu saat penurunan kasus atau pandemi berakhir.

Ambil contoh pada isu stigma dan diskriminasi. Beberapa perawat yang saya temui merasa bahwa stigma bagi kelompoknya justru menguat saat kasus Covid-19 rendah. Hal ini dialami secara khusus pada perawat yang masih memberi dedikasinya dalam penanganan kasus.

Stigma dan diskriminasi yang mengganggu perawat memang dirasakan saat peningkatan kasus. Namun, beberapa perawat meyakini bahwa isu ini terasa lebih kencang pada periode awal kemunculan Covid-19. Dalam konteks kasus yang semakin meluas, bukan stigma, melainkan dukunganlah yang lebih terlihat. Situasi tersebut dinilai akibat rasa senasib sepenanggungan yang semakin bertumbuh di masyarakat.

Sebaliknya, perasaan kolektif itu dirasa terus meluntur pada banyak orang seiring dengan penurunan kasus. Hal ini tampak dari tepuk tangan dan ucapan semangat bagi tenaga kesehatan yang tadinya sangat terasa, tapi perlahan menghilang. Isu stigma juga tidak terlepas dalam upaya vaksinasi yang masih berjalan. Perawat harus tetap melakukan fungsinya di tengah ragam prasangka yang masih bertahan di masyarakat.

Merawat tenaga kesehatan sebagai investasi masa depan

Beban yang sama seperti yang telah diuraikan di atas, atau lebih buruk, sangat mungkin dihadapi kembali oleh perawat kita di masa depan.

Faktanya, memasuki abad ke-21 sampai dengan saat ini, berbagai kemunculan penyakit infeksi emerging dan re-emerging yang berpotensi tinggi menyebar secara luas lebih kerap terdengar, mulai dari Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) pada 2002, swine flu pada 2009, ebola pada 2014, zika pada 2015, hingga Covid-19 pada 2019.

Baru-baru ini bahkan muncul hepatitis akut. Selain belum diketahui penyebabnya, penyakit ini pun meluas cukup cepat pada anak-anak di berbagai negara.

Beban yang dialami perawat dalam dua tahun ini serta tantangan di masa depan memberi kesimpulan bahwa peran perawat akan terus relevan dan sangat dibutuhkan. Dapat dikatakan, salah satu kunci ketahanan kesehatan di masa depan akan sangat bergantung dari sejauh mana investasi dalam merawat tenaga kesehatan dikerahkan.

Kita harus waspada bila beban yang dirasakan oleh perawat sampai bermuara pada keputusan meninggalkan profesi atau area pekerjaan yang bersentuhan langsung dengan pasien. Atau, bila realitas yang diamati sampai pada titik yang mereduksi minat generasi muda pada profesi ini.

International Council of Nurses (ICN) dan International Center of Nurse Migration (ICNM) dalam laporan pada Januari 2022 menyatakan bahwa jumlah angkatan kerja perawat global berpotensi mengalami penurunan signifikan karena imbas dari berbagai situasi yang dirasakan di era pandemi.

Hal tersebut akan semakin memperburuk situasi kesehatan global yang sejatinya memang telah kekurangan 5,9 juta perawat pada masa prapandemi Covid-19. Beban lebih berat akan dirasakan oleh negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah yang menanggung 89 persen dari kekurangan perawat secara global, sebagaimana laporan State of the World’s Nursing oleh WHO pada 2020.

Pada Hari Perawat Internasional 2022, ICN pun mengangkat tema “Nurses: A Voice to Lead – Invest in nursing and respect rights to secure global health” sebagai respons terhadap situasi selama ini dan tantangan yang mungkin kita hadapi di depan.

Tahun ini, kita diingatkan kembali akan urgensi berinvestasi secara riil bagi keperawatan untuk melindungi kesehatan global. Saya memaknai bentuk investasi riil ini sebagai keikutsertaan seluruh pihak, termasuk pemerintah, swasta, dan masyarakat, dalam merawat mereka yang telah merawat kita.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merawat berarti memelihara, menjaga, mengurus, atau membela. Merawat juga berarti memberi waktu dan keseriusan. Ini berarti investasi pada angkatan kerja perawat adalah tugas serius yang harus terus-menerus dilakukan, baik dalam situasi krisis maupun tidak.

Hak-hak perawat harus selalu diberikan secara adil dan merata. Urgensi peran dan fungsi perawat dalam menopang ketahanan kesehatan perlu disuarakan dalam dunia pendidikan, dimulai dari jenjang pendidikan menengah.

Investasi juga dibutuhkan untuk pendidikan keperawatan agar dapat melahirkan lulusan yang mampu beradaptasi dengan perubahan, resilien, terampil, kompeten, dan berkarakter. Terakhir, masyarakat pun harus terus belajar berbagi rasa dan kepedulian dengan perawat, baik pada masa krisis maupun “tenang”.

Momen Hari Perawat Internasional merupakan waktu yang tepat untuk ikut serta memikirkan kembali bagian kita merawat mereka yang telah merawat kita. Sebagai bagian dari masyarakat, hal sederhana yang dapat kita berikan adalah melatih diri memberi apresiasi. Kita dapat mulai dengan senyuman dan ucapan terima kasih pada perawat yang telah membantu kita.

Akhir kata, selamat Hari Perawat Internasional dan terima kasih perawat Indonesia! 

Baca tentang

komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com