Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Cara Menurunkan Kebiasaan Merokok

Kompas.com - 30/05/2022, 11:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Imma Yedida Ardi dan Sri Tiatri, Ph.D., Psikolog*

KONSUMSI rokok menjadi penyebab kematian nomor dua dan menjadi penyebab penyakit nomor empat di dunia.

Di dalam rokok, terdapat senyawa kimia yang berbahaya seperti karbon monoksida, tar dan yang paling identik adalah senyawa nikotin.

Akibatnya, konsumi rokok memicu banyak penyakit seperti gangguan paru-paru, jantung serta gangguan terkait sistem saraf (Cao dkk, 2015).

Patut disayangkan, di Indonesia, jumlah perokok semakin meningkat setiap tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS, 2021), jumlah perokok naik, dari 28,69 persen tahun 2020, kini naik menjadi 28,96 persen di tahun 2021 atau kenaikannya setara dengan 739.800 jiwa tiap tahun.

Apabila kecenderungan ini dibiarkan, maka sekitar 10 juta jiwa akan terbunuh oleh rokok pada tahun 2030 (Riskesdas, 2019).

Dampak ini bukan hanya dirasakan oleh perokok, tetapi juga orang sekitar yang juga terpapar asap rokok.

Awalnya, kebanyakan perokok mulai menunjukkan perilaku merokoknya karena coba-coba. Tahapan ini ditandai dengan usaha mencoba rokok karena melihat lingkungan sekitar atau tergiur oleh iklan tertentu.

Selanjutnya perokok akan mencari dan mengonsumsi rokok dengan dosis yang bertambah. Awalnya mungkin rokok dikonsumsi sebanyak 2-3 batang per hari, yang kemudian menjadi 4-5 batang per hari.

Tanda-tanda ini menjadi gejala bahwa perokok sudah masuk ke dalam tahapan kecanduan. Tahapan terakhir adalah ketergantungan.

Tahapan ini ditandai dengan kondisi tubuh yang mulai beradaptasi dengan jumlah rokok yang dikonsumsi.

Jika merokok kurang dari jumlah yang biasa dikonsumsi setiap hari, maka akan timbul reaksi fisik seperti mulut terasa asam, badan terasa lemas dan sakit kepala.

Ketiga tahapan ini seharusnya dapat diidentifikasi oleh perokok sebagai upaya awal menurunkan kebiasaan merokok.

Kemampuan mengidentifikasi tahapan ini penting bagi perokok karena keadaan yang berbeda akan menentukan upaya berbeda yang harus ditempuh.

Apabila perokok masuk kedalam tahap ketergantungan, perokok perlu menghubungi tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater untuk diberikan penanganan seperti farmakoterapi, nicotine replacement therapy, dan terapi perilaku.

Akan tetapi, perokok yang berada di tahap coba-coba atau kecanduan masih dapat menguranginya dengan langkah-langkah yang dilakukan secara mandiri.

Apabila sudah masuk dalam tahap kecanduan, maka sebanyak 8 dari 10 perokok mengaku kesulitan menurunkan apalagi menghentikan perilaku merokoknya.

Secara psikologis, kesulitan menurunkan kebiasaan merokok disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal.

Berdasarkan faktor internalnya, kebiasaan merokok didorong karena adanya anggapan bahwa rokok dapat meredakan stres.

Hal ini adalah efek samping karena adanya hormon dopamin dan serotonin yang diproduksi sebagai hormon kesenangan saat melakukan aktivitas merokok.

Kendati demikian, produksi berlebih dari hormon dopamin cukup berbahaya karena menyebabkan individu kesulitan mengontrol perilakunya dan cenderung agresif.

Disamping itu, hormon serotonin yang diproduksi terlalu banyak juga dapat menyebabkan jantung berdebar lebih cepat hingga tekanan darah tinggi.

Artinya, di balik perasaan lebih tenang, ada bahaya yang tetap mengancam. Oleh karena tujuan merokok adalah untuk meredakan stres, maka hal itu tentunya menunjukkan bahwa perilaku merokok seseorang akan berkaitan dengan besarnya stres yang dirasakan.

Artinya, semakin sering individu merasa stres, maka individu semakin menunjukan perilaku merokok yang meningkat.

Sebaliknya, apabila individu dapat bertahan dalam situasi tidak menyenangkan dan memunculkan tindakan penyesuaian terhadap situasi menekan, maka perilaku merokok akan berkurang.

Kemampuan individu untuk dapat bertahan dalam situasi penuh stres yang tidak menyenangkan disebut dengan kemampuan toleransi distress.

Kemampuan inilah yang patut dikembangkan sebagai langkah selanjutnya dalam menurunkan perilaku merokok.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com