Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Orangtua Sejahtera, Anak Pun Bahagia

Kompas.com - 13/06/2022, 11:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Syifa Satyadira Fachrudin, S. Psi, Yola Ongah, S. Psi, Hanna Christina Uranus, S. Psi dan Dr. Naomi Soetikno, M.Pd., Psikolog

Hingga saat ini, Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) masih menerima banyak stigma negatif dari masyarakat secara umum, maupun keluarga masing-masing (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, 2018).

Dengan berbagai perilaku dan kebutuhan yang berbeda dari anak pada umumnya, baik dalam perawatan kesehatan khusus maupun kebutuhan pendidikan, dapat mengakibatkan kegagalan anak untuk menerima pengobatan esensial, terapi, dan penempatan pendidikan yang tepat.

Mengasuh ABK seringkali dianggap sumber stres secara terus-menerus yang membuat orangtua rentan mengalami kecemasan, kekhawatiran tentang masa depan anak, dan juga masalah yang dialami dalam keluarga secara umum (Sheenar-Golan, 2015).

Permasalahan ini dijelaskan oleh konsep psikologis yang disebut sebagai stres pengasuhan.

Stres pengasuhan adalah reaksi psikologis dari tuntutan menjadi orangtua, baik terkait tugas pengasuhan, kondisi finansial, menjaga kualitas hubungan orangtua dan anak serta dengan anggota keluarga lainnya, serta beradaptasi terhadap kondisi psikologis anak (Deater-Deckard, 1998).

Reaksi psikologis yang dialami oleh orangtua seperti perasaan khawatir ataupun cemas hingga tidak dapat mengatur emosi dengan baik seperti melampiaskan emosi marah kepada anak atau lingkungan sekitar, maka orangtua akan mengalami stres pengasuhan hingga melakukan penganiayaan pada anak atau yang disebut child maltreatment.

Child maltreatment (penganiayaan pada anak) merupakan semua bentuk penganiayaan fisik dan/atau emosional, pelecehan seksual, pengabaian atau perlakuan lalai atau tindakan perdagangan/eksploitasi lainnya, yang mengakibatkan timbulnya bahaya terhadap kesehatan, kelangsungan hidup, perkembangan pada anak atau martabat anak (Haneline & Meeker, 2011).

Perilaku penganiayaan anak dapat dilakukan secara sengaja maupun tidak.

Adapun beberapa contoh penganiayaan yang sering kali tidak disadari oleh orangtua, seperti mencubit atau memukul atau tindak kekerasan fisik lainnya dengan maksud mendisipilinkan anak, meremehkan atau mempermalukan anak, mengatakan dia tidak baik, mengejek pertumbuhan alat kelamin anak tidak sesuai dengan ukuran alat kelamin anak seusianya.

Bahkan jarang melakukan kontak fisik seperti memeluk anak juga termasuk penganiayaan pada anak.

Pengabaian merupakan bentuk penganiayaan anak paling umum yang lebih banyak terjadi pada ABK dibandingkan pada anak-anak tanpa disabilitas.

Dari keseluruhan kasus child maltreatment (penganiayaan pada anak) yang dilaporkan, ditemukan bahwa 3-10 persen diantaranya dilakukan kepada ABK.

Tingkat child maltreatment pada anak-anak penyandang disabilitas setidaknya tiga kali lebih tinggi daripada anak-anak pada umumnya.

Untuk membantu mengatasi stres pengasuhan dan mencegah risiko child maltreatment, maka orangtua perlu menjaga kondisi psikologisnya, atau yang dapat dijelaskan melalui konsep subjective well-being (kesejahteraan diri).

Subjective well-being dapat didefinisikan sebagai penilaian pribadi secara emosional maupun penilaian umum (kognitif) seseorang terhadap kehidupan pribadinya (Diener, Oishi & Lucas, 2009; Diener, 2009; Diener, Lucas, & Oishi, 2018).

Adapun kesadaran dan pengelolaan orangtua terhadap subjective well-being melalui gaya hidup sehari-hari dapat membantu meningkatkan kualitas hidup, khususnya pada orangtua dengan ABK (Sheenar-Golan, 2015).

Berikut beberapa cara yang dapat digunakan oleh orangtua dari ABK untuk mengelola subjective well-being:

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com