Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Memahami Welas Diri

Kompas.com - 27/06/2022, 07:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Silvia Theresia dan Sri Tiatri*

KRISTIN D. Neff (2003), seorang psikolog pendidikan dari Universitas California, Berkeley Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa setiap orang memiliki cara berbeda-beda dalam merespons dirinya pada saat mengalami kesulitan atau penderitaan.

Menurut dia, sikap yang kerap kali muncul pada situasi sulit adalah reaksi negatif, yang memungkinkan seseorang terpuruk karena merasa tertolak dan terabaikan.

Pada orang-orang tertentu, penderitaan yang dirasakan terkadang bukan berasal dari peristiwanya semata, melainkan kenangan akan peristiwa tersebut yang belum atau bahkan sulit dilupakan.

Kecenderungannya lebih terfokus pada kegagalan yang dialaminya ketimbang pada rasa sakit akibat dari kegagalannya.

Dikatakan Neff (2016), ketika tidak mendapatkan coping atau penanggulangan yang tepat, penderitaan berlarut-larut tersebut dapat mengakibatkan depresi yang berujung pada kematian karena bunuh diri, sebab dianggap sebagai penyelesaian terbaik.

Mari kita refleksikan sejenak apa yang pada umumnya terjadi, pada saat kita dimintai pertolongan oleh seseorang yang sedang mengalami kesulitan atau musibah, biasanya rasa empati akan muncul dan ada keinginan untuk menolongnya sebagai bentuk perhatian untuk meringankan kesulitannya.

Namun apa yang terjadi ketika peristiwa yang tidak menyenangkan itu menimpa diri kita sendiri, kerap kali respons yang muncul justru menyalahkan diri atau menghukum diri, hingga mengisolasi diri dari lingkungan sosial karena merasa malu dan gagal.

Di dalam penelitiannya, Neff (2018) menyatakan bahwa dalam menghadapi berbagai peristiwa yang tidak menyenangkan atau kesulitan, sesungguhnya seorang individu dapat merespons peristiwa tersebut secara positif, manakala ia memiliki welas diri atau self-compassion yang tinggi.

Welas diri yang terbentuk dari kesadaran individu bahwa tidak ada manusia yang terlahir sempurna merupakan sikap emosional positif yang melindungi individu terhadap konsekuensi negatif dari penilaian diri, isolasi, dan ruminasi atau depresi.

Welas diri juga memiliki arti cara memperlakukan diri dengan perhatian dan pengertian daripada penilaian yang keras. Secara aktif welas diri akan menenangkan, menghibur, mendukung, dan melindungi diri sendiri di saat-saat individu mengalami kesulitan (Neff, 2016).

Orang dengan welas diri yang tinggi memiliki keinginan untuk meringankan penderitaan dari rasa sakit atau ketidaknyamanan emosional – besar atau kecil.

Neff (2003) menjelaskan bahwa welas diri memiliki tiga komponen utama yang saling berinteraksi dengan tiga komponen lainnya dalam suatu sistem yang dinamis, yaitu:

Pertama, mengasihi diri (self-kindness) versus menghakimi diri (self-judgement).

Komponen ini terkait dengan sikap memahami diri untuk meringankan penderitaan akibat dari kesalahan dan kegagalan yang terjadi, diwujudkan dalam sikap penerimaan atas kekurangan di dalam diri, dan berhenti mengkritisi diri secara berlebihan, tidak lagi melakukan penilaian diri yang konstan dan meremehkan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com