Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Giokniwati
Trainer, Coach, Consultant. Founder of Elevasi Performa Insani (elevasi.id)

Perempuan yang memiliki kegairahan dalam mengelevasi sumber daya manusia sehingga lebih berdaya, berkinerja unggul, dan memiliki makna. Seorang pengamat kehidupan yang memetik buah inspirasi untuk dibagikan kepada orang lain melalui tulisan maupun sesi bicara.

Tercenung pada Suatu Siang: Ikigai

Kompas.com - 06/09/2022, 12:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MUSIK lembut menyambangi indera pendengar, mataku mengamati para peserta di kelas training kami.

Mereka sedang berdialog dengan diri masing-masing. Program training Serve Like a Bee ini tentang Service Excellence dan aku sedang meminta mereka untuk bertanya pada diri dan menemukan jawaban dari dalam diri tentang “makna apa yang mereka berikan atas tindakan bergegas atau berinisiatif dalam pelayanan?”

Tak ada yang terkecuali, semua khusuk. Kuatnya rasa senyap ini seakan mengajakku bertafakur.

Ada rasa yang tidak dapat kuberi judul secara spesifik, yang jelas masuk ke kategori bahagia. Racikannya terbuat dari rasa haru, bangga, tercerahkan, bersyukur.

Selain kinestetik, aku mencoba mengajak dialog diriku, “Apa pesannya? Kalimatnya?”

Kata suara itu, “Lihat mereka, mereka sedang menambahkan makna atas perilaku mereka, mereka sedang menaiki tahapan yang membuat mereka mampu menuju aktualisasi diri.”

“Oke, teruskanlah,” ucapku meminta agar pesan itu semakin jelas.

“Untuk itulah kamu ada, untuk itulah kamu dibekali dengan talenta. Inilah ladangmu, tempatmu menabur benih untuk mengawali pertumbuhan dari orang yang menerima inspirasi darimu. Hmm, kadang dirimu merasa kurang atau belum melakukan hal besar, mungkin memang karena engkau tidak berkapasitas menemani selalu setiap individu. Biarkan diri mereka atau orang lain mengerjakan perannya.”

“Terima kasih, terima kasih, aku dihampiri oleh suara lembut yang menghangatkan.”

Sejak kecil aku memang suka berbicara, aku suka menjelaskan sesuatu, suka berada di panggung untuk berdeklamasi, membaca puisi.

Panggungnya di sekolah sendiri, di sekolah lain karena ikut lomba, di gereja, bahkan hampir setiap malam di dipan kayu besar di rumah.

Sebagai anak bungsu, sepertinya saat malam tiba lagak gaya di panggung dipan itu menjadi salah satu hiburan bagi kakak-kakak yang berjumlah lima orang. Televisi belum kami punya, saat itu periode tahun 1970-an.

Menyampaikan sebuah materi—story telling—sudah menjadi kesukaanku. Kelas dua Sekolah Menengah Pertama, yaitu saat berusia dua belas tahun, aku menjadi suksesor dari kakakku yang menjadi pengajar sekolah Minggu di gereja kecil kami.

Kakakku pergi ke luar kota untuk kuliah. Kegiatan bercerita, mengajarkan sesuatu terus menjadi kegemaran hingga kuliah menjalankan peran sebagai asisten dosen. Inilah kali pertama kegiatan mengajar ini dibayar.

Enam puluh ribu rupiah per bulan untuk satu mata kuliah. Mempersiapkan soal-soal latihan menjadi keasyikan batin. Sesi terakhir asistensi jelang akhir semester menjadi sesi perpisahan yang mengharukan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com