Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sunardi Siswodiharjo
Food Engineer dan Praktisi Kebugaran

Food engineer; R&D manager–multinational food corporation (2009 – 2019); Pemerhati masalah nutrisi dan kesehatan.

Bagaimana Memenangi Perang Melawan Kemalasan Berolahraga

Kompas.com - 13/09/2022, 10:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"JIKA menghendaki perubahan besar, ubahlah paradigma," kata penulis Amerika, Stephen R Covey.

Ajakan dari Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin kepada masyarakat pada peringatan Hari Olahraga Nasional, 9 September 2022, untuk terus aktif bergerak, bergaya hidup sehat dengan menjadikan olahraga sebagai bagian dari keseharian bukanlah perkara yang gampang untuk diwujudkan.

Sesunggunya sebagian besar dari kita hampir ajek mengalami "kekalahan" saat berjuang melawan paradoks olahraga (exercise paradox). Hampir setiap orang berpikir bahwa aktivitas fisik, termasuk olahraga, sangatlah penting untuk menjaga kesehatan. Namun faktanya sangat sedikit orang yang mau dan mampu melakukannya secara serius.

Baca juga: Kemendikbud: Ini Manfaat Anak Aktif Bergerak dan Cara Melatihnya

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengonfirmasi hal tersebut. Persentase penduduk Indonesia usia 31 hingga 59 tahun yang berolahraga hanyalah 18,59 persen.

Hasil yang lebih menyedihkan ditemukan jika kriteria sensus diperdalam menjadi “jumlah menit berolahraga (lebih dari 120 menit per minggu) penduduk Indonesia berumur di atas lima tahun". Angkanya sangat mengejutkan, hanya 2,59 persen saja.

Hasil itu terekam dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional atau Susenas (BPS, 2018). Kecilnya angka tersebut sekaligus menjadi jawaban yang sangat jelas atas data hasil dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 tentang tingginya prevalensi penderita penyakit tidak menular atau PTM.

Prevalensi PTM (dalam satuan per mil) meliputi ginjal kronis (3,8), stroke (10,9), hipertensi (341), kanker (1,8), dan diabetes melitus atau DM (85).

Angka-angka tersebut naik secara signfikan dibandingkan hasil Riskesdas sebelumnya (2013). Peningkatan mulai dari yang terendah, sebesar 23 persen terjadi pada prevalensi penderita DM. Kenaikan tertinggi adalah prevalensi penderita ginjal kronis sebesar 90 persen (Riskesdas, 2018).

Riskesdas juga merekam prevalensi penderita PTM serupa yang ternyata sudah muncul pada penduduk usia remaja, 15 – 24 tahun. Angkanya mengkhawatirkan.

PTM sering disebut sebagai penyakit gaya hidup, utamanya gaya hidup sedenter (sedentary), sebuah gaya hidup yang cenderung kurang aktivitas fisik seperti hanya duduk, bersandar, berbaring atau rebahan.

Pengeluaran kalorinya sangat rendah, kurang dari atau sama dengan 1,5 MET’s (Metabolic Equivalents of Task), contohnya menonton TV, menulis, menggunakan komputer sambil duduk.

Perang abadi yang alamiah dan ilmiah

Perjuangan setiap orang untuk dapat aktif bergerak secara fisik terjadi hampir setiap hari, dan akan terus terjadi sepanjang waktu. Mengapa begitu susah memenangkan peperangan melawan “kemalasan” untuk aktif bergerak?

Jika kita mencoba mencari jawaban dengan melakukan googling pakai  kata kunci berupa pertanyaan “Why is it so hard to go exercise?” (Mengapa begitu sulit untuk berolahraga?). Maka, dalam waktu hanya 0,61 detik diperoleh 1,36 miliar hasil. Sangat menakjubkan.

Ternyata repotnya menjadi orang aktif bergerak, termasuk berolahraga, telah menjadi persoalan dan perhatian jutaan bahkan miliaran orang di seluruh dunia. Sesuatu yang sejatinya sangat alamiah, karena memang dialami banyak sekali manusia di Bumi.

Baca juga: Apakah Rajin Berolahraga Bisa Mengimbangi Diet yang Tidak Sehat?

Boisgontier, et al. (2018) peneliti dari University of British Columbia, menjawab pertanyaan di atas melalui sebuah riset. Temuannya telah dipublikasikan di jurnal Neuropsychologia dengan tajuk “Avoiding Sedentary Behaviors Requires more Cortical Resources than Avoiding Physical Activity: An EEG (Electroencephalography) Study”.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com