Oleh: Alifia Riski Monika dan Ikko Anata
KOMPAS.com - Sering kali orangtua lepas kendali atau hilang kesabaran kemudian memaki anak, terlebih jika dalam keadaan lelah dan stres. Saat anak berkelakuan tidak baik, ada sebagian orangtua yang justru berteriak atau memaki sang anak.
Salah satu alasan mengapa orangtua berteriak karena merasa kewalahan dan tersulut emosinya. Sayangnya, hal itu jarang menyelesaikan situasi.
Mungkin awalnya anak akan patuh untuk sementara waktu. Akan tetapi, hal itu tidak akan membuat mereka memperbaiki perilaku atau sikap tersebut. Itu sebabnya, orangtua harus mengelola emosi agar anak tak lantas menjadi sasaran empuk kemarahannya.
Psikolog klinis, Phebe Illenia Suryadinata, dalam siniar Anyaman Jiwa bertajuk “Efek Psikologis Memaki Anak” mengupas dampak yang dirasakan anak ketika orangtua tidak bisa mengontrol emosinya dengan baik.
“Memang nggak gampang mengelola emosi, terlebih saat stres atau lelah. Cara mengatasinya adalah mengenali emosi negatif yang muncul dan cari tahu penyebabnya, agar bisa tahu cara menenangkan diri,” ujar Phebe.
Terkadang kita lupa untuk meninggalkan permasalahan yang terjadi di luar rumah sehingga terbawa ke dalam rumah. Padahal, hal ini bisa menjadi salah satu cara untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, seperti emosi memuncak di depan anak.
Phebe menegaskan jika orangtua harus menjadi panutan bagi sang anak. Jika orangtua mudah emosi, lambat laun anak akan menirunya. Namun, bukan berarti orangtua tidak bisa menegur anak jika ia salah.
Baca juga: Alasan Kenapa Orangtua Tak Seharusnya Membandingkan Anak
“Bedakan antara emosi karena stres atau bersikap tegas untuk mendidik sang anak,” ujar Phebe.
Orangtua juga perlu tegas dalam mendidik anak dalam arti menuntun anak menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Perlu diingat juga orangtua tidak perlu mengomentari semua hal tentang anak karena akan membuat dirinya merasa dikritik terus.
Phebe mengatakan, jika kita terus menerus mengomentari bahkan memaki anak, ada beberapa dampak yang bisa terjadi.
Pertama, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang takut karena kerap mendapat kritikan yang pedas. Oleh karenanya, potensi anak menjadi tidak berkembang.
Kedua, berpotensi depresi atau gangguan mental lainnya. Mereka akan merasa tidak berharga, sedih, atau kecewa sehingga lambat laun akan berpotensi mengalami depresi.
Ketiga, mencontoh tindakan orangtua. Anak bisa jadi sosok yang agresif karena menganggap marah adalah sesuatu yang dianggap normal di rumah.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa berteriak membuat anak-anak lebih agresif, secara fisik dan verbal. Berteriak secara umum, apapun konteksnya, adalah ekspresi kemarahan.