Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agung Setiyo Wibowo
Author

Konsultan, self-discovery coach, & trainer yang telah menulis 28 buku best seller. Cofounder & Chief Editor Kampusgw.com yang kerap kali menjadi pembicara pada beragam topik di kota-kota populer di Asia-Pasifik seperti Jakarta, Singapura, Kuala Lumpur, Manila, Bangkok, Dubai, dan New Delhi. Founder & Host The Grandsaint Show yang pernah masuk dalam Top 101 podcast kategori Self-Improvement di Apple Podcasts Indonesia versi Podstatus.com pada tahun 2021.

Saatnya Menikmati Ketidaksempurnaan

Kompas.com - 12/10/2022, 17:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAYA ingin menjalani hidup saya tanpa stres dan kekhawatiran. Saya tidak perlu kaya atau terkenal. Saya hanya ingin bahagia." ~Anonim.

Pernahkah Anda menetapkan tujuan dan kemudian menjadi terobsesi dengannya lalu menjadikannya sebagai fokus hidup Anda? Apakah Anda berpikir bahwa hanya setelah Anda mencapai tujuan Anda, Anda akan benar-benar santai dan bahagia?

Saya sudah melakukan ini berkali-kali sebelumnya. Sejak remaja hingga menemukan panggilan hidup di usia 28, saya telah mengukur kebahagiaan saya dengan prestasi saya. Saya begitu ambisius untuk mendapatkan nilai bagus di sekolah, lalu fokus untuk kuliah di perguruan tinggi ternama, lalu mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi.

Baca juga: Menerima Ketidaksempurnaan sebagai Bentuk Self Love

Namun, bahkan setelah mendapatkan semua itu, saya tidak kunjung bahagia. Setelah mencapai beberapa mimpi saya, saya merasa biasa saja, tidak sehebat yang saya kira. Perasaan meraih sejumlah prestasi ternyata tidak begitu mengagumkan.

Saya menyalahkan pencapaian saya atas ketidakpuasan saya, bahwa itu tidak cukup luar biasa bagi saya untuk merasa bahagia. Jadi saya pikir saya harus berbuat lebih banyak. Saya pun menemukan gol baru, dan saya jatuh ke dalam perangkap lagi.

Saya selalu memiliki sesuatu untuk dikejar, dan saya tidak pernah bisa merasa bahagia sampai saya mencapai segalanya. Saya meninggalkan hal-hal lain dalam hidup saya untuk mengejar mereka.

Alasan saya adalah “Saya tidak bisa beristirahat sekarang. Saya sibuk melakukan ABCD. Saya akan melakukannya setelah saya mencapai ABCD. Saya akan santai dan menikmati hidup saya hanya setelah ABCD.”

"ABCD" saya terus berubah dari satu hal ke hal lainnya. Saya tidak pernah membiarkan diri saya beristirahat. Saya menunda hidup saya untuk masa depan. Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk menikmati hidup. Itulah yang dulu saya benar-benar saya jalani.

Bahkan ketika saya pergi keluar dengan istri saya untuk kencan malam, saya tidak pernah bisa benar-benar menikmati waktu saya. Perasaan bersalah selalu menghantui saya, menyalahkan saya karena membolos pekerjaan, karena santai dan malas.

Hanya ketika saya merasa sengsara dan lelah, rasa bersalah itu memudar. Saat itulah saya menyadari ada sesuatu yang tidak beres.

Masalah mengukur kebahagiaan dengan prestasi

Dalam beberapa hari berikutnya, saya berusaha untuk berhenti memikirkan bagaimana mencapai tujuan saya dan memberi perhatian penuh pada apa yang saya rasakan. Saya meluangkan waktu untuk diri saya sendiri, hanya untuk memikirkan hidup saya.

Itu adalah kesadaran yang menyakitkan bahwa bukan hanya saya tidak menikmati hidup saya, tetapi saya kehilangan banyak hal dalam prosesnya.

Pertama, saya melupakan tujuan akhir hidup. Semua orang ingin bahagia, termasuk saya. Tujuan utama saya adalah menikmati hidup saya. Tetapi saya terus-menerus menunda kebahagiaan saya sambil bekerja mengejar tujuan jangka pendek lainnya.

Saya pikir saya bertanggung jawab atas hidup dan kebahagiaan saya, tetapi ternyata tidak. Saya membiarkan tujuan jangka pendek itu mengendalikan hidup saya.

Kedua, saya mengesampingkan waktu bersama keluarga. Dalam visi saya tentang kehidupan yang bahagia, saya selalu ada bersama keluarga saya dan untuk keluarga saya. Tetapi kenyatannya, saya acapkali mengesampingkan mereka.

Baca juga: Bersyukur Bisa Tingkatkan Kebahagiaan, Ini Alasannya...

Alasan kuat saya perlu mencapai "lebih banyak" adalah agar bisa bersama mereka dengan pencapaian ini dan itu. Namun, ternyata bukan itu yang mereka inginkan. Mereka "hanya" membutuhkan saya,  bukan prestasi yang hanya memberikan kesenangan semu.

Ketiga, saya menyakiti perasaan sendiri. Ketika saya sibuk mengejar hidup yang sempurna dan mengukur harga diri dengan prestasi, saya justru semakin tidak mencintai diri sendiri.

Pasalnya ketika saya tidak memenuhi target saya, saya merasa tidak layak dan saya menyalahkan diri sendiri.

Ketika saya mendapatkan sesuatu, itu tidak cukup luar biasa untuk dibanggakan. Saya bahkan menyalahkan diri sendiri karena tidak berusaha lebih keras untuk menerima sesuatu yang lebih besar.

Keempat, kesehatan saya tergadaikan. Karena saya terpaku pada pencapaian mimpi saya di atas segalanya, saya mengabaikan tubuh saya ketika dia "berteriak" untuk istirahat. Saya pikir saya hanya pantas beristirahat ketika saya tidak bisa lagi bekerja, ketika semua energi saya hilang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com