Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Pangan Asli yang Terinvasi

Kompas.com - 31/10/2022, 09:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tulisan ini saya buat pada ketinggian lebih dari 10.000 meter di atas permukaan laut dalam penerbangan Timika – Jakarta singgah Makasar.

Berkesempatan bertamu di beberapa posyandu sekaligus berbagi pembekalan gizi, keluarga Papua memberi semangat ekstra untuk tidak berdiam diri dan mengajak lebih banyak orang peduli.

Pencegahan stunting dan penanganan anak yang sudah terlanjur stunting kerap diandaikan sebagai ranah masalah gizi belaka.

Baca juga: Akankah Konsumsi Pangan Lokal Bernasib Kontroversial?

Padahal, kita perlu mengkaji lebih bijak apabila sumber daya manusia Indonesia yang akan menjadi taruhannya.

Gangguan gizi kronik hanyalah apa yang tampak di permukaan. Ibarat rayap yang merusak pintu, kusen dan sudah hampir meruntuhkan kuda-kuda rumah.

Mengusir rayap dengan mengganti kayu yang lapuk atau ‘menyuntik’ lubang-lubang celah rayap bersliweran dengan pestisida, sama sekali tidak menyelesaikan masalah.

Sebab, rayap berkembang biak juga di dalam tanah. Rongga-rongga sarang berisi jutaan telur dan larva rayap siap menyerang setiap saat.

Jangankan rumah bikinan orang, pohon besar nan kuat berumur puluhan tahun pun akan tumbang.

Pengentasan gangguan gizi tidak bisa semata-mata hanya ‘menembak’ sasaran di depan mata dengan tambahan asupan pangan, bahkan mengganti pangan sehari-hari dengan produk industri yang katanya sudah terformulasi. Yang dipahami dengan sudut pandang klinisi.

Mengkaji bagaimana masyarakat, terutama ibu dan anak memilih apa yang mereka makan melibatkan banyak aspek. Termasuk pergeseran budaya – di mana akan semakin banyak pihak mestinya bertanggung jawab.

Perubahan masif oleh-oleh kuliner

Sepanjang perjalanan saya keliling Nusantara, hati ini rasanya ‘terpotek habis’ menyaksikan perubahan masif yang dimulai dari oleh-oleh kuliner dari barat ke timur tanah air.

Sangat tidak masuk akal, oleh-oleh dari Papua justru roti gulung bertabur abon yang amat fenomenal itu.

Yang dari sisi rasa, bagi yang tinggal di ibu kota tentu tidak dipandang sebelah mata. Begitu pula populasi ABG yang duduk-duduk sore santai di kota Timika, kelihatan menikmati betul jajanan sosis goreng dan teh boba yang dijual dari gerobak seadanya atau mobil bak terbuka.

Pun Balikpapan, lebih dikenal roti mantau (yang di Tiongkok dikenal sebagai ‘manthou’ – bakpao kosong).

Medan pun jangan ditanya, naniura yang lebih bergizi malah susah dicari ketimbang bolu gulung manis bertabur keju olahan. Padahal, terigu tidak tumbuh di bumi Nusantara. Duh.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com