Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agung Setiyo Wibowo
Author

Konsultan, self-discovery coach, & trainer yang telah menulis 28 buku best seller. Cofounder & Chief Editor Kampusgw.com yang kerap kali menjadi pembicara pada beragam topik di kota-kota populer di Asia-Pasifik seperti Jakarta, Singapura, Kuala Lumpur, Manila, Bangkok, Dubai, dan New Delhi. Founder & Host The Grandsaint Show yang pernah masuk dalam Top 101 podcast kategori Self-Improvement di Apple Podcasts Indonesia versi Podstatus.com pada tahun 2021.

Belajar dari Fenomena "Quiet Quitting"

Kompas.com - 03/01/2023, 10:51 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM setahun terakhir, topik mengenai quiet quitting mendadak viral di ranah maya, baik di YouTube, TikTok, LinkedIn, Instagram, Whatsapp, maupun media online. Padahal, isu tersebut sejatinya sudah lama ada. Hanya saja belakangan ini mulai lebih sering diperhatikan lagi.

Quiet quitting kini memang semakin marak dipraktikkkan para pekerja demi dapur tetap mengepul. Mereka adalah orang-orang yang menghindari risiko untuk terburu-buru resign dari tempat kerja sebelum mendapatkan pekerjaan baru atau sebelum side hustle maupun bisnis yang digelutinya mampu menghidupi dengan layak. 

Apa yang mendorong fenomena quiet quitting?

Salah satu pelajaran terbesar dari pademi Covid-19  kepada kita adalah banyaknya waktu di rumah untuk  merenungkan bagaimana profesi kita memengaruhi kehidupan kita secara keseluruhan. Konsensus di antara banyak orang adalah bahwa pekerjaan mereka berdampak negatif pada kehidupan mereka, dan mereka tidak ingin menerima kenyataan itu.

Baca juga: 5 Tanda Perilaku Quiet Quitting oleh Pasangan yang Perlu Dikenali

Quiet quitting sering disebut juga dengan istilah "bekerja sesuai gaji" yang memastikan bahwa kehidupan profesional kita tetap dalam batas jam kerja dan tugas yang diberikan, tidak lebih dan tidak kurang.

Ini memberi kekuatan kembali kepada individu untuk memanfaatkan waktu di luar pekerjaan maupun melakukan kegiatan untuk kepentingan pribadi pada jam kerja, asalkan pekerjaan yang diharapkan dari tempat pekerja beres. Banyak yang menganggap fenomena ini wajar ketika kita mengevaluasi keseimbangan kehidupan kerja yang ada sebelum dan selama pandemi.

Tak mengherankan, berkat pandemi ada begitu banyak orang yang menemukan pekerjaan sambilan baru berdasarkan passion maupun ceruk-ceruk baru yang baru digelutinya.

Apa manfaat quiet quitting?

Karyawan yang telah menikmati gaji dari tempat kerja dengan cepat menolak pekerjaan tambahan jika itu bukan bagian dari deskripsi pekerjaan mereka. Seiring waktu, hal ini membantu menjaga beban kerja tetap masuk akal dan perlindungan agar tidak mengambil lebih dari yang dapat mereka tangani.

Untuk karyawan yang sudah mengalami kejenuhan dalam kadar yang besar, "berhenti diam-diam" dapat membantu mereka terhubung kembali dengan apa yang memuaskan di luar kehidupan profesional mereka.

Orang-orang yang mempraktikkan quiet quitting tidak lagi "membungkuk ke belakang" untuk majikan mereka sambil dengan mudah mengorbankan kesehatan mental dan fisik mereka. Mereka yang menarik batasan-batasan ini memprioritaskan diri mereka sendiri dan hubungan mereka daripada menyerah pada tekanan kantor bahkan di luar jam kerja.

Secara keseluruhan, itu adalah kemenangan untuk keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan.

Quiet quitting mungkin terdengar seperti mimpi sampai saat ini. Tetapi ada beberapa yang mungkin tidak melakukan apapun untuk diri mereka sendiri dengan cara kerja ini.

Jika kita berada dalam posisi berbasis komisi, melakukan upaya yang jauh lebih sedikit mungkin memang menghasilkan bayaran yang jauh lebih sedikit, ketika semua sudah dikatakan dan dilakukan.

Selain itu, tidak disarankan bagi pengusaha baru untuk mencoba taktik ini. Lagi pula, saat pertama kali memulai, apakah itu bekerja untuk diri sendiri atau memasuki karier baru, diperlukan upaya ekstra untuk memantapkan diri.

Baca juga: 5 Tips yang Bisa Dilakukan Perusahaan untuk Menghindari Quiet Quitting Karyawan

Jadi, apa yang bisa dipelajari pengusaha dari quiet quitting? Seperti yang mungkin sudah kita duga, manfaat luas dari fenomena ini tidak meluas ke pemberi kerja. Seseorang yang mengeluarkan potensi terbaik demi sebuah institusi (tidak "hitung-hitungan") tentu jauh lebih berharga dibandingkan orang yang bekerja ala kadarnya. 

Di sisi lain, seorang karyawan yang terus-menerus mendapatkan pekerjaan di luar batas kemampuannya akan cepat merasa kelelahan atau stres dan akhirnya juga akan mencari pekerjaan di tempat lain. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com