SETIAP kali mendengar kata "kebaya", umumnya orang Indonesia akan menghubungkannya dengan busana nasional. Pemakaian kebaya juga dikaitkan dengan perayaan kelahiran RA Kartini tanggal 21 April dan Hari Ibu tanggal 22 Desember.
Terlepas dari fakta sejarah mengenai kedua hari tersebut yang pada awalnya bermakna emansipasi dan kebangkitan perempuan Indonesia, tetapi kemudian bergeser menjadi domestikasi perempuan. Kedua "hari perempuan" ini dapat dimaknai sebagai perayaan "pewarisan tradisi" dan penggambaran tugas yang diemban kaum perempuan untuk mewariskan dan diwariskan sebuah tradisi.
Baca juga: Kebaya di Belantara Politik
Tradisi yang kita bicarakan di sini adalah kebaya, sebuah entitas budaya yang masih berlaku dari generasi ke generasi.
Kebaya dalam konteks pewarisan tradisi dapat diamati dari beberapa pendapat, antara lain Arifah A Riyanto (Teori Busana, 2003) mengenai busana nasional sebuah bangsa bukan hanya untuk perempuan tetapi juga untuk laki-laki. Namun biasanya lebih dikenal melalui kaum perempuannya.
Sejauh ini kaum perempuan (Indonesia) tampak lebih peduli terhadap isu keberlangsungan busana nasional, sementara kaum pria cenderung abai. Barangkali disebabkan kurang berperan aktifnya figur ayah dalam konteks pewarisan busana nasional pada anak laki-lakinya.
Kaum pria yang memakai busana nasional ataupun kain/sarung umumnya tampil hanya dalam acara tertentu, misalnya perkawinan dengan upacara adat. Diperkirakan sebagian (besar) kaum pria Indonesia tidak mengetahui nama dan bentuk busana nasional untuk mereka selain kemeja batik/tenun yang umum dipakai.
Edward Hutabarat (Busana Nasional Indonesia, 1999) menyebut "jas tutup" dan "jas tutup lengkap" sebagai pakaian nasional laki-laki Indonesia.
Sementara Arifah A Riyanto mengungkapkan bahwa pada awalnya (tanpa menyebut tahun) busana nasional laki-laki Indonesia yang telah disepakati adalah celana seperti model piyama dipadu baju teluk belanga, dilengkapi kain sarung kotak-kotak yang dilipat dan dipakaikan di sekitar pinggang sampai panggul, memakai peci (kopiah) dan sepatu.
Namun dalam perkembangannya kurang mendapat sambutan masyarakat sehingga berganti menjadi setelan jas lengkap dan peci yang dianggap lebih praktis.
Tradisionalisasi perempuan melalui pakaian sebagaimana yang kita lihat saat ini telah berjalan semenjak pascakolonial. Henk Schulte Nordholt (Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan, 2005) menyebut kaum perempuan Indonesia cenderung memakai pakaian bergaya tradisional sebagai sebuah simbol kebudayaan yang sifatnya otentik dan menggambarkan sikap pasif sekaligus subordinasi.
Sementara kaum laki-laki memakai setelan bergaya Barat yang mewakili ruang kekuasaan, kemajuan dan modernitas.
Perdebatan mengenai benar-tidaknya tradisi berkebaya berelasi dengan subordinasi dan domestikasi perempuan sesungguhnya masih belum usai. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kaum perempuan Indonesia memiliki kontribusi yang signifikan dalam menjalankan pewarisan tradisi dari generasi ke generasi.
Kita dapat melihat besarnya pengaruh ibu dan nenek kepada anak/cucu perempuan terhadap tata cara berbusana. Penulis mengambil contoh kisah Mien Uno (Kebayaku, 2014) yang ingatan masa kecilnya mendasari kecintaannya akan kebaya.
Baca juga: Kebaya Goes to UNESCO, Kebaya Goes to Street Style