KOMPAS.com - Istilah quiet quitting dan quiet firing mulai populer di media sosial sejak tahun lalu.
Quiet quitting merujuk pada melakukan pekerjaan seminimal mungkin, tidak melampaui batas kewajiban, serta menolak hiruk-pikuk tempat kerja.
Bertolak belakang dari quiet quitting, quiet firing secara harfiah diartikan sebagai pemecatan atau dipecat secara diam-diam.
Baca juga: Tak Perlu Quiet Quitting, 3 Hal yang Bisa Dilakukan Saat Burnout
Kini, satu lagi istilah baru di dunia kerja muncul: quiet hiring. Apa itu?
Seperti dikutip dari laman Parade, quiet hiring bukan berarti perusahaan mempekerjakan karyawan baru secara diam-diam.
Alih-alih merekrut karyawan baru untuk mengerjakan tugas tambahan, perusahaan justru memberikan lebih banyak tugas kepada karyawan yang sudah ada.
Pada dasarnya, perusahaan menambahkan tugas ke job desk karyawan atau melatih karyawan untuk berbagai peran.
Baca juga: Belajar dari Fenomena Quiet Quitting
Bukan masalah jika perusahaan menerapkan quiet hiring kepada karyawan lalu mempromosikan karyawan itu dengan jabatan dan gaji yang lebih tinggi.
Sayangnya, perusahaan seringkali menyisipkan tugas tambahan secara diam-diam tanpa menawarkan keuntungan lebih bagi karyawan.
Direktur riset senior Emily Rose McRae tidak memandang quiet hiring sebagai sesuatu yang buruk.
Sebab menurut dia, quiet hiring menyangkut upaya perusahaan mempromosikan karyawan secara internal dan membantu karyawan yang sudah ada.
"Dengan quiet hiring, kita berbicara tentang organisasi secara strategis, pada tingkat kepemimpinan, melihat bakat yang mereka miliki di organisasi, melihat celah krusial, dan menemukan cara untuk menanganinya."
"Quiet hiring adalah usaha mendapatkan keterampilan dan kemampuan baru tanpa mempekerjakan orang baru," kata McRae.
Baca juga: 5 Tanda Perilaku Quiet Quitting oleh Pasangan yang Perlu Dikenali
Perusahaan cenderung melakukan quiet hiring di tengah kesulitan ekonomi, maraknya PHK, dan ketidakmampuan untuk merekrut orang baru.
"Quiet hiring selalu terjadi selama masa ekonomi sulit seperti resesi dan periode hiper-inflasi," kata profesor psikologi Cary Cooper.