Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hery Wibowo
Ketua Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Padjadjaran

Pengamat Sosial, praktisi pendidikan dan pelatihan

Gaya Hidup "Slow Living"

Kompas.com - 08/05/2023, 16:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PEMAHAMAN tentang masyarakat hari ini banyak dipengaruhi oleh aliran modernisme. Yaitu bahwa pada hakikatnya masyarakat adalah sebuah sistem (Wirutomo, 2022), yaitu suatu satuan yang terdiri dari bagian-bagian (subsistem) yang saling terkait dan saling memiliki ketergantungan fungsional.

Semua subsistem itu saling berhubungan secara fungsional bukan demi kepentingan sendiri, melainkan demi keberlangsungan hidup dari sistem (survival of the system).

Sehingga secara global, warga dunia, diharapkan mengikuti sebuah pola (mungkin modernisasi) bersama untuk mempertahankan sistem bersama tersebut.

Maka ketika dunia sudah memasuki era revolusi industri 4.0, suasana sistem yang dibangun adalah kehidupan sinergi bersama manusia dan teknologi.

Seluruh umat manusia diharapkan ’melek’ teknologi dan dapat mengoptimalkannya dengan segera, sebelum ’dikendalikan’ suatu saat oleh kemajuan teknologi.

Hal ini membuat seakan-akan denyut kehidupan menjadi semakin cepat dan terus berakselerasi.

Orang berlomba-lomba mencapai taraf hidup yang distandarkan oleh konstruksi sosial yang dipercayai bersama.

Menurut Gidden (dalam (Jones, 2009)) baik dalam tataran pra-modern maupun tradisional modern, manusia memiliki kesadaran akan keteraturan sosial, ingin menjadi mantap di tempat di mana ia hidup, menyadari pentingnya institusi yang mantap/mapan yang menjadi wahana bagi perwujudan eksistensi dan identitasnya di ranah sosial.

Mereka tidak punya gadget/lokasi tinggal elite/kendaraan suportif, (dianggap) warga tertinggal dan lain-lain. Sehingga semua berlomba dan segera memilikinya, walaupun belum tentu mampu mengoptimalkannya.

Maka ketika kenyamanan ini seakan menjadi standar baru, berlombalah para lulusan perguruan tinggi, profesional muda atau pasangan muda untuk mengajukan kredit mobil, rumah, motor, perabotan dan lain-lain.

Seakan-akan secepat mungkin harus memasuki zona nyaman dan terlihat sukses. Sehingga laris manislah seluruh tawaran kredit untuk mendapatkan fasilitas tersebut, dan hidup selanjutnya menjadi terus berpacu untuk melunasi cicilan.

Isu Fear of Missing Out, juga menambah gaya hidup fast living. “Saya sudah ke mal ini, kalian sudah belum?”, “Saya sudah sampai restoran yang lagi hits ini, kalian sudah belum?” dan semacamnya, juga memacu fast living, yaitu ingin segera berstatus sama dengan orang lain.

Maka perlombaan ini seakan tidak akan ada ujungnya. Sehingga kehidupan seperti kompetisi berlari yang tidak berujuang dan membuat pelarinya lelah terengah-engah.

Saking harus bergegasnya, makanan pun menjadi fastfood. Bahkan jargon tokoh Darwin seakan berubah dari survival of the fittest, menjadi survival of the fastest.

Slow living

Hari ini, dunia seakan menemukan antitesanya. Warga dunia semakin mengenal gaya hidup slow living. Dan seperti biasa, sesuatu yang baru cepat menjadi viral.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com