Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Indonesia Krisis Konselor Laktasi dan Literasi Gizi

Kompas.com - 29/05/2023, 12:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tulisan ini dibuat segera setelah pesawat lepas landas bandara Komodo, Labuan Bajo, Flores. Memenuhi permintaan direktorat advokasi kerjasama Kementerian Desa Pembangunan Daerah dan Transmigrasi, saya diajak memberi sosialisasi konvergensi pencegahan stunting yang melibatkan semua pemangku jabatan dan kepentingan mulai dari tingkat desa.

Banyak pembelajaran yang saya dapatkan dari perjalanan daerah yang selama ini ditempuh hingga pelosok desa, pulau, menempuh perjalanan udara, darat hingga laut yang “ngeri-ngeri sedap”.

Ada kemiripan masalah yang saya temui di tanah air yang kaya raya bahan pangan dan mustahil terjadi malnutrisi, apalagi sampai kejadian stunting di usia anak yang belum genap menyelesaikan dua tahun pertama dalam kehidupannya.

Baca juga: Urgensi Pendidikan Gizi Keluarga di Sekolah

Pertama. Pejabat pemerintah daerah (mungkin juga pusat) masih punya pemahaman yang berbeda tentang terminologi stunting. Bahkan, tidak jelas kriteria pastinya apa.

Apalagi aneka kontributor penyebabnya, yang mana faktor di luar masalah gizi justru menjadi biang keladi terbesar yang luput ditangani.

Akibatnya tontonan yang selama ini kita saksikan adalah riuh rendahnya aneka susu formula, susu lanjutan, susu kemasan aneka rasa, serta banjir gula tambahan saling berebut pasar di posyandu sebagai “kucuran bantuan” pemerintah yang dipertanyakan efektivitasnya.

Belum ada studi berbasis bukti, bahwa aneka susu kotak kecil berperisa coklat, stroberi, dan bergula banyak itu mempunyai dampak mencegah stunting.

Apalagi susu formula yang hanya tiga kotak, bahkan ada wilayah desa yang dengan tega semena-mena membagi susu formula dalam plastik klip, seakan itu adalah obat ajaib pencegah stunting.

Pemangku kebijakan bisa jadi tidak tahu fenomena ini, karena kendala monitoring dan otonomi daerah yang kebablasan.

Bahkan, masih ada yang menyebut-nyebut propaganda lawas 4 Sehat 5 Sempurna yang sejak 2014 melalui Permenkes No. 41 telah diganti menjadi Gizi Seimbang.

Belum lagi para petinggi kita pun tidak menyadari, bahwa di lapangan ibu-ibu justru tersenyum bahagia membawa anak dengan gangguan gizi, karena mumpung dapat susu gratis yang tak terjangkau penghasilan suaminya.

Baca juga: Susu sebagai Protein Hewani, Promosi Kemewahan dengan Risiko Mengintai

Kedua. Hampir tidak pernah saya temui meja ke 4 posyandu, yang mestinya menyediakan tenaga kader yang mampu memberikan konseling. Terutama bagi para ibu yang berat badan bayinya tidak naik, seret atau malah berlebih.

Tak jarang kader justru mendorong para ibu memberi sufor, bahkan mengatakan ibu pelit jika bersikukuh ingin menyusui anaknya hingga tuntas dua tahun.

Ada pula kader yang memberi “nasihat pribadi”: menganjurkan bayi diberi pisang atau biskuit sebagai “perkenalan” makan, sebelum genap 6 bulan saat makanan pendamping asi (MPASI) dimulai.

Tak heran pemberian makanan tambahan (PMT) di posyandu banyak yang jauh dari contoh sehat. Aneka wafer coklat, sosis, bahkan makanan ringan kemasan yang jelas tinggi gula garam dan lemak trans – yang sama sekali bukan konsumsi balita.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com