Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 20/01/2016, 16:00 WIB
KOMPAS.com - Berbagai peristiwa dalam hidup kita, mulai dari bencana alam, kriminalitas, hingga meninggalnya orang terdekat, dapat menimbulkan rasa trauma. Tak terkecuali pada anak-anak.

"Anak-anak Indonesia memang sering menghadapi peristiwa traumatik. Bahkan, bangsa kita adalah bangsa yang trauma," kata Psikolog Forensik Nathanael EJ Sumampauw dalam diskusi bersama Forum Ngobrol Bareng Sahabat (Ngobras) di Jakarta (19/1/16).

Bukan hanya peristiwa langsung, paparan informasi bertubi-tubi mengenai suatu tragedi juga dapat menyebabkan terjadinya trauma sekunder.

"Trauma sekunder itu timbul walau seseorang tidak merasakan langsung atau tidak hadir dalam peristiwa itu tapi efeknya dirasakan," ujar psikolog yang biasa disapa Nael ini.

Ia menjelaskan, anak-anak dan orangtua hidup di tempat yang sama, sehingga apa yang terjadi di sekitar kita juga akan dirasakan oleh anak.

Trauma pada anak, menurut psikolog Sani Budianti Hermawan, M.Si, bisa terjadi ketika berita yang muncul menimbulkan ketakutan berlebih.

"Misalnya melihat gambar korban tanpa sensor. Ini bisa menghantui anak sehingga sulit tidur atau bahkan mengganggu konsentrasinya," kata Sani saat dihubungi Kompas.com (17/1/16).

Reaksi trauma, menurut Nael, adalah hal yang wajar. Yang tidak wajar adalah pengalamannya.

Tidak semua anak menunjukkan perilaku yang sama dalam menghadapi kejadian traumatik. Ada yang menunjukkan gejala penghindaran (avoidance), yakni menghindari segala sesuatu yang berkaitan dengan trauma yang ia alami. Misalnya, tidak mau melewati lokasi suatu kejadian.

Gejala kedua adalah mengingat-ingat atau mengulang kejadian yang sudah berlalu (reexperiencing). Lalu yang ketiga adalah ketergugahan fisik yang berlebihan (hyper arousal), misalnya takut mendengar suara keras, dan sebagainya.

"Yang harus dikenali orangtua adalah perubahan sikap yang signifikan dari anak. Tidak selalu anak menjadi pasif atau menarik diri. Ada juga anak trauma yang justru menjadi aktif atau agresif," ujar Nael.

Perubahan sikap yang mungkin terjadi misalnya anak yang tadinya tidak pernah mengompol sekarang jadi sering ngompol, atau anak terus "nempel" dengan orangtua, atau gangguan konsentrasi belajar.

Yang bisa membedakan perubahan itu hanya orangtua atau orang terdekat. Dengan mengenali perubahan itu orangtua bisa melakukan deteksi dini agar dampak trauma tidak terbawa sampai anak dewasa.

Atasi trauma

Bila anak menunjukkan tanda trauma, orangtua perlu menjelaskan pada anak mengenai kejadian traumatik yang dialaminya. Ajak anak berdialog untuk menggali sejauh mana pemahaman anak dan bagaimana perasaannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com