Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pendapat Ahli Berdasarkan Besarnya Pendapatan

Dimulai dari perbincangan kedua belah pihak, yang mengeluhkan betapa sulitnya mencari narasumber yang sungguh-sungguh berpijak pada kebenaran ilmu dan kejujuran fakta ketimbang kepentingan.

Di tengah kisruhnya informasi yang ‘mengajari orang sehat dan bebas penyakit’ mulai dari yang jelas-jelas hoax hingga yang begitu meyakinkan bahasanya, tapi jika ditelaah oleh yang paham – nampak bau “pseudo science” yang amat menyengat.

Artinya, penjelasan akan suatu isu kesehatan yang ditulis dengan bahasa begitu rumit hingga terkesan “ilmiah banget” – padahal sama sekali tidak ada landasan berpikir rasional apalagi mempunyai bukti kuat.

Beberapa hari yang lalu, saat saya seperti biasa meluangkan waktu untuk menelusuri jurnal kedokteran terbaru, ada artikel dari British Medical Journal yang membuat jantung ingin berhenti sejenak dan menangis.

Di Inggris, dokter mulai mencari jalan yang terbaik bagi pasien diabetes untuk meningkatkan kualitas hidupnya, sekaligus memangkas biaya kesehatan.

Begitu banyak penelitian ilmiah dengan level dan kualitas tinggi setaraf meta-analisis (bukan studi kasus belaka) digunakan sebagai dasar perbaikan pola makan. Pola makan yang berbasis sayur dan buah, tanpa karbohidrat berpati, diimbangi protein yang diolah dengan benar diajukan hingga ke parlemen untuk penghematan negara maupun individu.

Parlemen menyambut dengan gembira dan pintu kian terbuka lebar bagi para penderita diabetes untuk memiliki hidup lebih baik sekaligus meminimalisir risiko komplikasi penyakitnya. 

Di Indonesia? Saya mendapat keluhan sejawat yang justru "di-bully” oleh para seniornya yang punya gelar mentereng.

Salah satunya mengklaim dengan sombong, bahwa tidak mungkin penyakit tidak menular (PTM) seperti hipertensi dan diabetes ditangani tanpa obat seumur hidup. Bahkan dengan congkak mengatakan, sumbangan pola makan tidak bermakna.

Bukan hanya hati saya sakit, tapi otak ini langsung rasanya mendidih meradang. Sebab faktanya, sudah ada penelitian disertasi yang juga diuji oleh ahli penyakit dalam, yang jelas-jelas menunjukkan signifikansi mencolok manfaat sayur dan buah yang diasup dengan benar dalam pola makan seimbang.

Dan penelitian itu dilaksanakan di Indonesia. Di negara maju, penelitian serupa sudah melimpah ruah.

Menginjak kaki para dokter muda, akademisi junior dan calon peneliti yang secara jujur bekerja demi kebenaran dan kesejahteraan rakyat bukanlah hal yang elok lagi. Rakyat pun tidak bodoh.

Belakangan ini sudah banyak sindiran nyinyir tentang ‘para ahli’ yang pendapatnya sudah tidak lagi bisa dijadikan pegangan, karena bias dengan kepentingan pribadi yang telah menjadi sumber pendapatan – hasil kerjasamanya dengan industri.

Mulai dari industri farmasi hingga teknologi pangan. Semua aksioma diplintir sedemikian rupa, sehingga tubuh tidak diberi ruang, apalagi kesempatan untuk memerbaiki diri. 


Makanan yang telah berevolusi bukan lagi makanan sehat

Marion Nestle – yang bukan apa-apanya perusahaan Nestle itu – dalam bukunya, “Food Politics” telak-telak menguak bagaimana industri pangan memengaruhi taraf gizi dan kesehatan, mulai dari level individu hingga bangsa.

Makanan yang berkembang secara budaya, tidak boleh lagi disebut sebagai pangan sehat jika telah melalui berbagai evolusi apalagi jika campur tangan politik ekonomi pangan terjalin di situ.

Seorang ahli gizi apalagi dokter yang tidak pernah mengikuti perkembangan ‘politik pangan’ dan antropologi pangan, akan punya pendapat tentang nutrisi yang patut dipertanyakan.

Sebut saja bagaimana tomat akhirnya dikategorikan Amerika sebagai sayur, padahal nyata-nyata bentuknya secara morfologi adalah buah – semata-mata karena pajak sayur lebih rendah ketimbang pajak buah.

Kebingungan soal pangan sehat dan bagaimana mengatur pola makan yang sehat (bukan hanya seimbang saja), akhirnya menjadi perdebatan tak kunjung usai.

Barangkali itu sebabnya Indonesia hingga kini masih enggan menempatkan buah dan sayur sebagai bagian dari karbohidrat, padahal semua negara maju mengamini sayur dan buah bahkan sebagai sumber karbohidrat terbaik. Jika dikonsumsi dengan jumlah yang banyak dan cara yang benar.

Di Indonesia, hadirnya sayur dan buah hanya tinggal ‘syarat’ ada saja. Bahkan sayur dituding sebagai penyebab asam urat, penyebar toksoplasma dan lebih gawat lagi: pengentalan darah. Tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Kecuali ‘marketing of fear’.

Kestabilan ekonomi pangan, zona nyaman para pengimpor pangan nyata-nyata lebih dibela, ketimbang prioritas kesehatan. Memelihara status quo, dengan ledakan penyakit yang kian dahsyat, tagihan jaminan kesehatan yang makin menjerat.

Keluguan (atau arogansi) ahli kesehatan untuk bertahan pada pakem pengobatan, juga membuat hancurnya program promosi dan preventif.

Penelitian-penelitian seputar pangan masih berpihak pada kepentingan industri dan pemangku kepentingan. Anjuran para ahli sarat bernuansa kepentingan.

Dibutuhkan urat tebal dan nyali kuat untuk membenahi tatanan kesehatan dan kaitannya dengan pangan rakyat. Kerja keras yang tak kunjung usai.

Seperti tulisan yang selalu menempel di meja tulis anak saya: Istiqomah itu memang berat, kalau ringan namanya istirahat.

https://lifestyle.kompas.com/read/2017/07/31/090500920/pendapat-ahli-berdasarkan-besarnya-pendapatan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke