Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Seni dan "Taste", Bentengi Kopi Tradisional dari Gempuran Kopi Modern

Biji-biji kopi dalam negeri hingga lintas negara disajikan. Dipadukan dengan beragam rasa dan kreasi untuk racikan terbaik. 

Tak hanya di Indonesia, meminum kopi pun menjadi tren di banyak belahan dunia.

Salah satu artikel di laman Guardian.com edisi 26 Januari 2018 misalnya, membahas soal budaya minum teh di Rwanda, yang mulai bergeser ke budaya minum kopi.

Rwanda, -negara di Afrika bagian timur, dikenal sebagai negara peminum teh.

Namun kini, seiring dengan tren minum kopi yang terus melebar, negara tersebut kini harus menggenjot produksi dan impor kopi untuk memenuhi permintaan pasar.

Sementara itu, dari situs Korea JoongAng Daily disebutkan, berdasarkan data Korea Customs Service (KCS), pasar kopi Korea untuk pertama kalinya menembus kisaran 11,7 triliun Won di 2017.

Angka itu setara dengan sekitar 26,5 miliar gelas kopi disajikan tahun lalu di Korea, dengan rata-rata konsumsi 512 gelas per orang per tahun.

Peluang besar industri kopi juga disinggung Presiden Joko Widodo saat membuka Konferensi 2018 Forum Rektor se-Indonesia di Auditorium AP Pettarani Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Kamis (15/2/2018).

Menurut Presiden, sudah saatnya Indonesia jeli melihat peluang dan membuka jurusan atau fakultas yang dapat menyerap tenaga kerja penghasil kopi.

Baca: Saat Jokowi Menikmati Kopi Susu Seharga Rp 9.000...

Kopi tradisional Indonesia

Lantas, di tengah gempuran tren kopi modern, bagaimana dengan kopi-kopi tradisional Indonesia?

Johny Poluan, pemilik kedai kopi Kwang Koan atau yang lebih populer dengan Kopi Johny, di bilangan Kelapa Gading, Jakarta Utara, meyakini kopi-kopi tradisional masih punya tempat di hati masyarakat.

Kopi Johny menjadi salah satu kedai yang menyajikan kopi dengan cara tradisional di tengah banyaknya kedai-kedai kopi modern.

Mutu dan pelayanan menurut Johny akan menjadi kunci. Selama mutu kopi terjaga, ia yakin eksistensi akan tetap mengikuti.

"Yang kami jual taste, bukan suasana. Kalau suasana, sepanjang tempatnya dingin, ada AC, kursi empuk, pengunjung datang," ujar Johny kepada KOMPAS Lifestyle, Sabtu (17/2/2018).

"Tapi kalau bicara taste, tidak ada tempat parkir, sejauh apa pun, orang akan datang. Makanya saya yakin masih bisa bertahan, masih bisa eksis."

Kedai "pusat" Kopi Johny berlokasi di Jalan Kopyor Raya blok Q1 No. 1, Kelapa Gading. Lokasi ini terbilang jauh dari pusat kota, dan berada si tengah komplek perumahan.

Tapi, lokasi seperti itu tak membuat Kopi Johny sepi pelanggan. Lalu lintas jalanan depan kedai justru beberapa kali kerap tersendat, karena pengunjung yang membludak.

Gaya tradisional dibawa Johny dari orangtuanya -sebagai "resep" turunan.

Ia menyadari, menjamurnya kedai kopi modern dengan mesin kopi yang semakin canggih, bukanlah untuk dilawan.

Sehingga, untuk tetap eksis, ia harus tampil dengan gaya sendiri.

Baca: Kisah Kedai Kopi Johny, Kian Ramai karena Ulah Hotman Paris

"Banyak orang punya mesin (kopi) mewah-mewah dan mahal-mahal. Saya mau coba tampil dengan gaya sendiri yaitu gaya tradisional di mana tidak banyak lagi orang yang masuk ke dunia itu," tutur dia.

Seni

Menyajikan kopi tradisional baginya adalah sebuah seni. Salah satu yang menjadi ciri khas adalah menyesuaikan rasa dengan selera alias custom.

"Seni dari cara tradisional ini bagaimana kita menyajikan sesuai selera karena yang kami sajikan custom," ucapnya.

Memang, Johny mengakui, kelemahan kopi dengan penyajian tradisional adalah tidak memiliki standardisasi. Kopi yang diminum hari ini belum tentu sama seperti besok.

Berbeda dengan kopi yang disajikan dengan cara modern dengan mesin. Rasanya akan cenderung konsisten, karena diatur sedemikian rupa dengan mesin.

Sedangkan untuk kopi tradisional, ia mesti jeli dalam menyajikan kopi. Sebab, menurut dia, kopi memiliki tingkat kenikmatan.

Bagaimana kopi bisa dirasakan dengan penyajian panas, tanpa gula, dan murni kopi hitam.

"Karena itu, basic untuk mengetahui karakter dari kopi itu. Orang minum kopi itu panas."

"Yang sekarang muncul orang minum kopi dingin, itu anak muda punya gaya jaman sekarang. Kopi dingin, pakai es krim pula," kata Johny.

Kunci rasa dari kopi, sambung Johny adalah proses roasting. Orang saat ini tak lagi bicara soal arabika atau robusta, melainkan asal biji kopi.

Arabika dianggap memiliki kandungan cita rasa yang kaya, sedangkan robusta memiliki kadar asam yang tinggi.

Johny memilih biji kopi Toraja untuk kopinya.

Pada awal membuka kedai kopi, ia menggunakan tiga jenis kopi. Selain Toraja, ia juga menggunakan biji kopi Bali dan Lampung.

Di kedai Kopi Johny yang tak terlalu luas, perbincangan akrab kerap terbangun.

Johny melayani sendiri pengunjungnya, terutama di Kopi Johny cabang pusat. Waktunya padat untuk membuat sendiri kopi-kopi yang disajikannya.

Di sela waktu melayani pengunjung, ia kerap ikut berbincang dengan pelanggan. Kesemptan mengobrol dengan pelanggan menjadi bagian dari risetnya.

Kendati demikian, hal yang dibincangkan bukan soal kopi yang dibuatnya, tapi tentang topik lain. Misalnya otomotif atau musik.

Sebab, banyak komunitas yang rutin berkunjung ke Kopi Johny. "Jadi saya tidak bicara bisnis, bicara hobi saja dengan mereka," kata pria asal Manado itu.

Johny mengaku tak pernah bertanya soal kopinya ke pelanggan. Sebab, jika ia bertanya pelanggan akan cenderung mengatakan enak meskipun mereka merasa tidak suka.

Kritik dan masukan spontan adalah yang dibutuhkannya.

Masukan yang diberikan menurut dia sangat penting untuk semakin memerbaiki kualitas dan pelayanan.

"Saya tidak mau bertanya hanya untuk mendapatkan pujian. Yang saya butuhkan betul-betul kritikan, masukan untuk mengubah saya punya kualitas dan pelayanan," kata dia.

Interaksi rupanya menjadi salah satu ciri khas yang dimiliki kedai-kedai kopi tradisional dan disukai oleh sejumlah penikmat kopi.

Putri (24), misalnya, ia lebih senang datang ke kedai-kedai kopi yang bukan gerai besar dan tersebar di mana-mana. Pengalaman menjadi salah satu "poin" yang dicarinya.

Mulai dari penamaan kopi yang unik, kesempatan ngobrol dengan barista atau pemilik kedai kopi, hingga cerita-cerita unik yang didapatkannya.

"Kadang ceritanya unik. Ada yang lagi bepergian, nyasar, terus nemu tempat yang kayaknya bisa jadi lokasi usaha, lalu bikin deh kedai kopi," kata Putri.

"Ada juga yang sarjana Geologi dan sebenarnya bisa cepat kaya kalau kerja sesuai jurusan waktu kuliah, tapi karena passionate sama kopi ditekunin buka usaha walaupun modalnya gede, dan lama balik untung," tambah dia.

Penikmat kopi lainnya, Eko (28) mengaku merasakan sensasi tersendiri pada cara minum tradisional.

Menurut dia, cara penyajian kopi modern kadang terlalu banyak air. Selain itu, banyak yang tidak menggunakan kopi lokal.

Menjamurnya kedai kopi modern menurut Eko, justru bisa membuat penikmat kopi bosan karena cenderung menjual tempat ketimbang kopi yang enak.

"Kopi tradisional lebih ada sensasinya dibandingkan minum kopi modern. Kopi lokal lebih punya rasa," ucap Eko.

Sementara itu, Gilang (25) mengaku lebih suka kopi tradisional karena memiliki beragam cita rasa dan penyajian manual (manual brew) yang bisa dipilih sesuai selera.

Interaksi dengan pemilih kedai, barista atau sesama pengunjung yang lebih intens di kedai kopi tradisional juga menjadi nilai tambah tersendiri.

Meskipun hal sama juga bisa dilakukan di beberapa kedai kopi modern, namun menurut dia tetap ada perbedaan.

Meski saat ini kedai-kedai kopi modern terus bermunculan, Gilang meyakini kedai kopi tradisional akan tetap memiliki tempat di hati masyarakat.

"Kedai kopi tradisional masih mempunyai tempat kok di masyarakat."

"Justru pengolahan secara tradisional itu yang menjadi ciri khas. Itu bisa menjadi salah satu objek wisata di daerah," kata Gilang.

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/02/19/120000920/seni-dan-taste-bentengi-kopi-tradisional-dari-gempuran-kopi-modern

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke