Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kesehatan, Lahan Rentan Bisikan

Dituding bahwa pelajar kita mempunyai logika dan pemahaman rendah seputar matematika, bahasa dan sains membuat banyak pakar gelisah soal masa depan bangsa ini.

Sebetulnya, tanpa informasi hasil tes pun, kita sudah selayaknya gelisah – melihat begitu banyak fenomena anomali di negri ini.

Sebut saja mulai dari orang-orang bermotor melawan arus, yang ditilang malah berbalik menyentak galak.

Bukan dokter, tidak pernah sekolah jadi dokter, tapi menasihatkan berbagai upaya melawan penyakit hingga viral di media sosial. Bahkan, ada yang tega mencatut bawa-bawa nama dokternya, tapi disisipi ajaran pribadi si penulis info cara kilat jadi sehat.

Jika Presiden dan semua jajaran kementerian heboh mencari terobosan pencegahan kekerdilan anak akibat gizi dari masa janin hingga usia dua tahun, yang berakibat pada rendahnya kecerdasan di kemudian hari.

Saya malah bertanya-tanya: yang tinggi badannya normal saja kok nampak banyak yang tidak cerdas ya? Kelihatannya ingin menghemat waktu dan bensin, tapi melawan arus lalu lintas.

Kelihatannya ingin berbagi soal gaya hidup sehat, tapi gagal fokus, karena yang dihujat hanya urusan nasi – padahal menghindari nasi bukan otomatis umur makin panjang.

Ada yang salah dan kurang dengan pemahaman secara utuh dan nalar komprehensif sebagian besar publik kita.

Barangkali, karena aspek hafalan yang terlalu banyak merusak otak pelajar sejak di Sekolah Dasar.

Seorang kawan baru saja ‘curhat’ bahwa buku ajar anaknya yang duduk di bangku SD berisi gambar contoh sarapan sehat dengan menu sandwich dan susu. Entah siapa yang mengarang isi buku tersebut dan acuannya apa. Tidak heran, roti laris di negri ini untuk sarapan.

Begitu disebut roti berasal dari produk rafinasi bernama tepung terigu, beraneka reaksi muncul. Seperti normalitas yang terusik. Bagai mengaduk pasir dalam kolam.

Lalu muncul pembenaran bernama roti gandum. Padahal, meminjam nama gandumnya tidak otomatis roti menjadi lebih sehat.

Gandum utuh seperti yang dianjurkan banyak lembaga kesehatan asing tidak pernah ada di bumi Indonesia.

Kejadian ini mirip dengan yang ditulis Marion Nestle dalam bukunya “Food Politics”. Ketika Amerika ricuh saat ada yang berupaya menyisipkan saus tomat sebagai ‘bagian dari sayuran’ dalam program makan siang sekolah negeri zaman pemerintahan Reagan.

Dalam kondisi hiruk pikuknya informasi dan tunggang langgangnya berita, untuk mendudukkan pikiran dan memahami segala sesuatunya secara mendalam, membutuhkan upaya besar yang belum tentu dimiliki semua orang.

Jika diamati, tayangan-tayangan berupa info grafis yang menampilkan gambar-gambar menarik mata dengan sedikit tulisan lebih laris dilihat, ketimbang mata lelah menelusuri kalimat-kalimat panjang seperti tulisan ini.

Kecenderungan untuk belajar dengan info grafis sebetulnya sudah memberi indikasi, pertanda – tentang kedalaman mencerna.

Tak heran istilah ‘gagal fokus’ dan ‘gagal paham’ kian sering didengar. Tujuan kunjungan kerja Presiden untuk mencegah berlanjutnya kasus stunting di Sukabumi hanya dimuat dalam satu kolom artikel di berbagai media cetak maupun online.

Sementara, banyak artikel justru mengangkat isu sampingan, bahkan tidak penting – mulai dari jaket yang dipakai Presiden hingga perjalanan motor antiknya.

Gagal fokus akan urgensi dan esensi suatu masalah, membuat bangsa ini seakan-akan hidup sudah makmur sejahtera tanpa panggilan untuk bertindak demi suatu perubahan.


Fatamorgana situasi suatu hari akan dengan mudah disetir menjadi berbagai isu politis hingga kesenjangan ekonomi – lalu saling lempar tanggung jawab atau saling tuding pemerintahan siapa yang bersalah.

Pada saat krisis itulah publik baru bereaksi, yang biasanya berupa anarkisme dan luapan emosi dangkal yang malah membawa petaka lebih banyak, tanpa menyelesaikan inti masalah.

Sementara itu, kunjungan kerja pejabat tinggi akhirnya hanya seperti gebrakan sesaat yang membuat para pemangku otoritas daerah kelimpungan mengikuti agar tidak kelihatan ‘cuek’.

Berbagai pelatihan dan seminar mendadak bermunculan sesuai instruksi petinggi, sementara etos kerja masih sama dan publik dijadikan objek perubahan. Bukan subjek. Karena, mereka tidak diarahkan untuk menjadi paham, melainkan patuh.

Akhirnya peluang pun diambil. Oleh yang punya modal dan pandai membual. Bahkan, ada pakar yang masuk dalam pusaran itu.

Saat orangtua mengeluh anak tidak doyan sayur dan buah, muncul cairan ajaib berisi semua kebaikan ‘sayur dan buah’.

Saat ibu mengomel tidak punya waktu memasak dan meracik protein sehat, muncul kemasan beku yang siap digoreng menjadi lauk. Mengisi anjuran ‘Isi Piringku’ dengan cara instant.

Cepat sekali gayung bersambut – bahkan produsennya memberi bonus penjualan berupa piring gratis, dimana bagian porsi protein sudah diisi gambar logo sang produsen kemasan beku.

Sementara itu, peraturan pemerintah tentang label dan iklan pangan masih kedodoran.

Publik tidak paham sama sekali, bahwa dalam satu kemasan yoghurt yang katanya sehat untuk pencernaan, mengandung gula yang sama tingginya dengan minuman kaleng bersoda.

Para ibu tidak punya pengetahuan sama sekali tentang istilah ‘gula tersembunyi’, di balik istilah-istilah milenial yang akan membuat keluarganya dilanda penyakit katastrofik milenial.

Di tengah berisiknya panggung perebutan kekuasaan, ada masalah besar yang akan membuat siapa pun pemenang gelut kekuasaan itu tertimpa karma – akibat pembiaran dan penundaan perlindungan publik.

Hak asasi rakyat bukan hanya sekadar kebebasan bersuara dan memilih jagoannya sebagai pemimpin pasukan, tetapi terlebih hak untuk hidup sehat, bebas dari penderitaan fisik, psikis dan ekonomi sosial dalam tatanan masyarakat yang berbudaya bermartabat. Bukan dalam kegaduhan.

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/04/19/090300120/kesehatan-lahan-rentan-bisikan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke