Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kurus, Gizi Buruk, Stunting: Wajah Ngeri Anak Indonesia

Saya agak tercenung (jika tidak mau dibilang kaget) mendengar tema Hari Anak Nasional tahun ini yang begitu ‘megah’: Anak Indonesia GENIUS – akronim dari gesit, empati, berani, unggul, sehat).

Entah saya yang kurang visioner, ataukah jargonnya terlalu melayang di alam superhero. Bisa juga jargon muncul akibat terinspirasi iklan susu pertumbuhan yang membuat para ibu terlena seakan-akan susu menciptakan anak yang soleh dan cerdas.

Anak gesit, punya empati, berani dan berkualitas unggul justru dimulai dari mereka yang sehat. Faktanya, gambaran anak sehat masih jauh dari yang kita punya.

Bocah di bawah usia 2 tahun yang berpredikat stunting kehilangan hak gizinya sejak dalam kandungan hingga menderita kekerdilan dan kecerdasan kurang masih di angka 37.2%.

Balita kurus menurut riset kesehatan dasar 2013 sebesar 12.2%. Padahal, menurut organisasi kesehatan dunia WHO, negara berada di lampu merah jika angka stunting di atas 20% dan angka balita kurus di atas 5%.

Pendek, kurus atau gemuk, tidak mungkin diinterpretasikan dengan ‘perasaan’. Seperti kebanyakan pasien dewasa saya, ‘merasa’ badannya terlalu kurus – padahal indeks massa tubuh dalam batas angka normal.

Masalahnya, dia sudah terlalu lama berada di lingkungan orang-orang yang gemuk dan buncit. Biasanya pasien baru tenang setelah dijelaskan baik-baik dan diperkenalkan dengan kebenaran ilmiahnya.

Masih banyak orang tua yang tidak paham perbedaan anak stunting, kurus dan bergizi kurang. Lebih parah lagi, tidak mampu membaca grafik pertumbuhan dan menempatkan posisi anaknya ‘dimana’.

Berat badan berbanding panjang badan (disebut tinggi badan pada anak di atas 2 tahun) menunjukkan apakah anak dalam pertumbuhan fisik yang normal, kurus atau sangat kurus.

Grafik di bawah berlaku untuk anak laki-laki di usia 0 – 2 tahun. Misalkan panjang badannya 100 cm (lihat di sumbu mendatar) dan berat badannya di kisaran 15 kg (lihat di sumbu tegak lurus) maka titik pertemuannya jatuh di grafik hijau, artinya normal.

Tapi jika panjang badan 100 cm dengan berat badan 13 kg maka titik temunya ada di grafik berwarna merah, yang artinya minus 2 Standar deviasi dengan kata lain anak ini kurus.

Sedangkan panjang badan 100 cm dengan berat hanya 12 kg membuatnya jatuh di grafik hitam, artinya minus 3 Standar deviasi – atau sangat kurus.

Begitu pula dengan Tinggi Badan berbanding Umur. Anak perempuan dengan usia 1 tahun mempunyai panjang badan 75 cm dianggap normal (grafik bergaris hijau).

Tapi jika panjangnya hanya 69 cm, maka disebut pendek (grafik merah) dan pendek sekali jika hanya panjangnya 66 cm di usia 1 tahun (grafik hitam). Ini yang disebut stunting.

Grafik pertumbuhan semestinya dimiliki oleh semua orang tua dengan anak balita. Bukan hanya dipahami petugas kesehatan. Jika kartu tumbuh kembang hanya memuat berat badan berbanding umur, maka hal ini baru menjelaskan tentang kondisi gizi saat itu (akut).

Yang justru perlu kita prihatinkan adalah gangguan gizi kronik yang ditunjukkan dengan pantauan grafik tinggi badan berbanding usia dan berat badan berbanding usia, seperti kedua contoh di atas.

Gangguan gizi kronik yang mengakibatkan anak mengalami gangguan tumbuh kembang tidak hanya terjadi pada orang miskin atau penduduk desa.

Anak-anak perkotaan yang naik turun mobil dengan baby sitter yang kemana-mana membawa wadah makanan mahal buatan luar negri pun mengalami risiko yang sama. Sebab dalam wadah mahal itu, isinya terlalu murah untuk tumbuh kembang: nasi putih, nugget, dan sayur sop yang porsinya hanya sekadar ‘basa-basi’.

Sang ibu hanya ketakutan anaknya tidak makan. Bukan tumbuh tinggi. Alhasil, anak kelihatan gendut, tapi tingginya masih di bawah rata-rata.

Inilah yang membuat angka obesitas anak balita di Indonesia mencapai 11.8%, hampir menyamai angka anak kurus. Padahal kesempatan tumbuh kembang hanyalah satu kali seumur hidup.

Hak anak tumbuh sehat dimulai dari hak dan akses terhadap pangan sehat. Sehat bukan versi industri dan iklan. Sehat karena memang Tuhan sendiri yang menciptakannya. Ibu yang memilih dan meraciknya.

Makanan sehat tidak melulu sayur dan buah. Tapi juga protein hewan yang terjangkau, mulai dari telur, ayam dan ikan. Ditambah protein nabati yang ikut melengkapi: mulai dari kacang merah, hingga tempe dan tahu yang keamanannya terjamin.

Tenaga tumbuh didapat bukan dari jargon, melainkan juga dari sumber karbohidrat yang wajar di dapat dimana anak tersebut tumbuh kembang.

Perilaku membesarkan dan mengasuh anak tidak ada sekolahnya. Jika calon orang tua tidak mendapat asuhan berkualitas dari orang tuanya sendiri, tidak mempunyai referensi pangan sehat, mustahil ia sendiri mampu memiliki pola asuh berkarakter.

Saat calon orang tua tidak punya latar belakang mumpuni dan hanya belajar dari iklan, maka ia akan mempunyai referensi yang berat sebelah dan akhirnya membentuk preferensi, pilihan.

Baru saja kemarin saya mendengar ‘cara makan’ keluarga muda dengan kepala keluarga bekerja sebagai buruh pabrik. Sarapan pagi, cukup memanggil tukang bubur. Begitu pun anaknya yang masih balita ‘lebih suka bubur si abang’ ketimbang bubur buatan ibunya.

Makan siang, jatah sang ayah dipenuhi oleh tempatnya bekerja, sementara si ibu cukup merebus mi instan. Anaknya? Biskuit kemasan dengan susu kotak – yang menurut ibunya bergizi, tanpa harus susah payah baca label kandungan gula apalagi komposisinya.

Makan malam? Tinggal menunggu si ayah pulang, yang mampir ke warung beli nasi goreng atau pecel lele. Menurut mereka, ini gaya hidup praktis dan ekonomis. Uangnya bisa ditabung buat cicilan motor dan bayar listrik.

Keluarga seperti itu jelas tidak akan menghasilkan anak yang gesit, berempati, apalagi unggul dan sehat. Memperbaiki jutaan keluarga muda yang seperti itu pun tidak bisa dengan sosialisasi dan ceramah apalagi acara bagi-bagi biskuit yang semakin menegaskan biskuit itu ‘sehat’.

Dibutuhkan kerja keras semua lini dan instansi, yang turun memberi contoh dan bimbingan – serta menunjukkan hasil dari jerih payah atas upaya sekian bulan bahkan sekian tahun.

Publik amat melek hasil. Dan bila hasilnya jauh lebih baik dan menuai banyak keuntungan ketimbang hidup praktis, siapa yang sudi balik ke pola yang lama?

Tidak perlu studi banding ke negri bule yang jauh dan punya norma beda. Cukup belajar dari Singapura yang membersihkan sungainya secara konsisten karena perubahan perilaku.

Juga Jepang yang selepas perang dunia ke 2 fokus memperbaiki gizi masyarakat, hingga tentara ‘kate’ nya sekarang berubah wujud menjadi foto model papan atas dan ilmuwan kaliber dunia.

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/07/23/073018120/kurus-gizi-buruk-stunting-wajah-ngeri-anak-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke