Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bahaya Glorifikasi Generasi Milenial

Berbagai kecakapan itu diperoleh dari zaman yang berlimpah ruah atau abundance ini. Di sisi lain, generasi milenial punya kerentanan justru karena ia hidup dan dibesarkan di zaman itu. Sebuah ironi.

Era abundance ini memberikan berbagai fasilitas dengan mudah, yang berbeda dari generasi sebelumnya.

Generasi pendahulunya, X, menikmati fasilitas dengan proses panjang, contohnya dalam karier.

X beradaptasi dalam keterbatasan sampai kemudian masuk ke era abundance. Sebaliknya, millenials langsung masuk dalam pusaran abundance tadi tanpa lewati masa keterbatasan.

Generasi milenial dapat akses berbagai informasi, jejaring sosial, dan berbagai event bergengsi lewat internet. Internet membuat sekat, batas, dan jarak menjadi tak lagi relevan.

Dengan cara begitu, mereka dapat merengkuh berbagai modal dengan begitu mudah. Lalu lintas barang dan jasa pun semakin murah sehingga membuat semua hal menjadi lebih mudah diakses.

Namun boleh jadi, kemudahan itu tak selaras dengan bangunan sikap mentalnya. Sikap mental ini adalah proses yang embedded atau menubuh dalam dirinya. Sebuah kondisi batin seseorang bagaimana ia merespons, meyakini, menilai, menghayati suatu hal.

Generasi milenial boleh jadi tak sempat membangun sikap mentalnya dengan kokoh ketika koneksi begitu tinggi.

Sebagai contoh, mereka sulit berkonsentrasi mengerjakan suatu hal. Karena bosan, ia langsung berpindah ke gawainya. Lambat laun pekerjaan terbengkalai.

Ia bolak-balik off dan on ke media sosialnya agar tak merasa kudet (kurang update). Itu juga menandakan tingkat durabilitas yang rendah. Sedikit bosan atau suntuk, langsung exit ke aktivitas lain.

Sombong sebelum waktunya

Sehari-hari saya menghadapi dan bercengkerama dengan mereka. Beberapa kasus yang saya lihat, biasanya yang sering terjadi soal deadline molor.

Hal yang lain seperti ego yang kelewat tinggi. Dengan bercanda saya bilang, "Sombong sebelum waktunya."

Mereka ingin sekali eksis dengan cara instan dan karenanya tak selaras dengan kapasitas atau kualitas dirinya.

Mereka sulit mengerjakan sesuatu dengan detail. Padahal, the evil is in detail. Bila tak detail, hasilnya pasti centang perenang dan tentulah medioker.

Kesulitan mereka bekerja dalam detail karena mitos kerja multitasking. Seolah mereka bisa mengerjakan banyak hal di satu waktu.

Namun, yang terjadi sebenarnya hanya menangguhkan satu pekerjaan untuk melakukan yang lain. Hasilnya, sekadar celup sana, celup sini, dan mentah semua. Tidak tuntas.

Obrolan soal generasi milenial ini santer diangkat di mana-mana. Banyak yang menaruh optimisme, tak sedikit yang pesimistis.

Namun, sebagian besar nadanya cenderung optimistik. Hasilnya, glorifikasi pada generasi ini.

Mereka dielu-elukan menjadi juru selamat di masa mendatang di saat dunia masuk Revolusi Industri 4.0.

Alih-alih membangun glorifikasi, kita perlu membangun cara pandang yang lebih realistik. Franklin D Roosevelt menyebutkan, "A smooth sea never made a skilled sailor."

Saya kira sampai milenia mendatang pun, pepatah itu akan benar adanya. Sebab, inti sari pepatah itu adalah hukum dialektika material, yakni suatu proses menghadapi masalah antara subyek dan konteks ruang-waktunya.

Dialektika yang berkualitas terjadi bila tantangan atau hambatan itu besar. Sebaliknya, bila tantangan itu rendah, kualitas dialektikanya menjadi kecil. Makin besar ombak, makin piawailah pelaut, juga sebaliknya.

Saban generasi mengalami hal itu. Sebuatlah epos gerakan muda Indonesia pada 1908, 1928, 1945, 1966 dan 1998. Pemuda-pemudi di zaman itu lahir dari kawah candradimuka yang panas.

Berbeda dengan itu, era abundance tampak seperti kawah candradimuka yang hangat-hangat kuku. Seperti bukit yang landai atau jalan tol bebas hambatan.

Millennials yang karena lahir dari konteks ruang-waktu seperti itu, boleh jadi bukan pelaut yang tangguh.

Ditambah glorifikasi, itu seperti mengatakan kepada sopir amatir bahwa dia sangat ahli. Tentu berbahaya membuat seseorang gede rumangsa (GR atau gede rasa), bukan?

Generasi sebelumnya masih memiliki fatsun naik anak tangga setahap demi setahap. Millennials bisa melompati beberapa anak tangga sekaligus.

Proses itu mereka mampatkan seolah sedang berlari untuk mengejar sesuatu. Yang sayangnya, apa yang mereka kejar sebenarnya dibentuk dari media sosial.

Ia membandingkan dirinya dengan yang lain sehingga ia menginginkan hal itu. Generasi milenial haus eksistensi diri.

Kehausan eksistensi diri ini seperti perlombaan membangun citra diri agar tampil begitu memukau di media sosialnya. Agar tampak keren, agar tampak kreatif, agar tampak canggih dan tampak-tampak lainnya. Padahal, apa yang "tampak" belum tentu beresensi.

Tampak atau penampakan (appearance) adalah kulit atau permukaan. Millennials cenderung bekerja dalam spektrum yang artifisial itu.

Kadang yang penting adalah tampak keren dan melupakan substansi. Yang penting terlihat wow, tanpa memperhatikan pokok masalahnya. Jadilah millennials generasi artifisial.

Perlu gagal

Era abundance juga membuat millennials jarang rasakan kegagalan. Kegagalan biasanya dimulai dari kondisi keterbatasan.

Karena keterbatasan itu makin sedikit di zaman abundance, jadilah semakin sedikit mereka merasakan kegagalan. Padahal, seperti seorang anak yang belajar naik sepeda, ia perlu merasakan jatuh dan sakit.

Generasi milenial perlu merasakan kegagalan demi kegagalan. Itu adalah cara hidup yang realistik.

Bila kegagalan itu sulit dialami karena kondisi memang serba mudah, millennials perlu melakukan olah mental dengan sikap prihatin.

Prihatin ini adalah kosa kata asing bagi mereka. Generasi sebelumnya sudah terbiasa menjalaninya.

Millenials perlu membangun cara hidup prihatin dengan mengerem atau mengekang beberapa keinginannya. Tak semua keinginan harus dilakukan atau diwujudkan.

Parameternya adalah apakah keinginan itu sekadar untuk kepentingan dirinya atau yang lain. Dengan cara itu, mereka bisa mengurangi apa-apa yang selalu berorientasi pada kepentingan dirinya (ego sentris). Sekali lagi dikurangi, bukan dihilangkan.

Sebaliknya, menambah list apa-apa yang harus dikerjakan untuk kepentingan yang lain: orang lain, organisasi, komunitas, dan lainnya.

Agak terdengar moralis, memang. Namun, era abundance membuat kuota kegagalan alamiah menjadi lebih sedikit.

Oleh karenanya, prihatin diri yang disengaja adalah cara untuk membangun mentalitas yang kokoh. Bila tidak, ia sukses sebelum dirinya siap, ia besar dengan rongga yang menganga.

Seseorang dari generasi milenial pernah mengatakan kepada saya bagaimana ia bisa tak terasa menghabiskan tiga jam waktunya bermedia sosial.

Sebaliknya, ia harus bolak-balik dengan berhenti-lanjut melakukan pekerjaan tertentu. Lagi-lagi, ia hidup di tengah distraksi atau gangguan yang bejibun.

Kekhawatiran tertinggal informasi membuat dirinya tergerojok lautan informasi. Alhasil, ia terganggu, sayangnya tanpa disadari.

Banjir informasi pada gilirannya membuat cara berpikirnya melompat ke mana-mana dan tak sistematis. Saat berpikir A, ia bisa lompat berpikir C.

Ia mengecap dan memamah informasi sedikit di sini dan sedikit di sana. Jadilah ia hanya peselancar informasi.

Belajar etis

Informasi-informasi itu tak menjadi pengetahuan yang membuatnya kaya secara mental. Hanya membuatnya tampak kaya secara intelektual.

Millennials yang demikian perlu banyak melakukan refleksi diri. Refleksi atau perenungan diri adalah fitur untuk mengembangkan kemawasdirian.

Ia perlu sesering mungkin lakukan dialog batiniah dengan pertanyaan, "Apakah pantas atau tepat saya lakukan ini?" Pantas atau tepat itu melampaui benar atau salah.

Yang benar belum tentu pantas atau tepat. Generasi sebelumnya hidup dalam spektrum nilai yang kaya. Tak hanya benar-salah, tetapi pantas atau tidak.

Pemeo Jawa menyebutkan, "Sing bener durung mesti pener." Artinya yang benar, belum tentu pantas. Kepantasan ini adalah soal etika.

Soal etika pastilah berhubungan dengan relasi sosial. Relasi sosial ini mesnyaratkan kesalingpengertian antara satu dan yang lain.

Karenanya, millennials perlu mengembangkan pertanyaan etis, "Apakah pantas saya lakukan hal ini?" Itu dilakukan sembari membayangkan orang di sekitarnya.

Lama-lama sikap etisnya akan terbangun dengan sendirinya. Tentu saja syaratnya ia harus jujur dan tulus pada dirinya sendiri.

Tanpa glorifikasi, generasi milenial harus membuktikan dirinya mampu, termasuk tak bisa melulu berlindung di balik berbagai hasil riset yang menyatakan millennials punya karakter ini dan itu.

Contohnya, millennials itu suka lompat tembok, ia akan mudah masuk keluar pekerjaan sejauh ia sukai.

Bila hal begitu ia amini begitu saja, tanpa mau rumangsa (merasa), bagi lembaga atau perusahaan menjadi sangat costly untuk mempekerjakan mereka.

Para mentor, lembaga, atau perusahaan tentu penuh sabar menghadapi generasi ini dengan aneka cara.

Namun, millennials hendaknya juga perlu bersabar menghadapi para mentor, lembaga, dan perusahaan di mana mereka berkarier atau berkarya. Bahwa makan siang yang enak itu harus diupayakan dengan keringat, bukan sekadar nebeng makan siang di meja yang lain.

Glorifikasi pada generasi ini harus dijauhi agar mereka dewasa, kokoh mental, kaya nilai, padat pengalaman secara alamiah.

Glorifikasi hanya akan membuat millennials memiliki justifikasi pembenar bila ia bersikap yang tak diharapkan komunitasnya. Ia harus tumbuh, jatuh-bangun dengan kaki dan tangannya.

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/08/23/073100420/bahaya-glorifikasi-generasi-milenial

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke