Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perjalanan Panjang Batik, dari Kraton Hingga Produk Mode Kekinian

KOMPAS.com – Batik adalah busana yang tak asing bagi kita masyarakat Indonesia. Namun, di balik penggunaan yang sudah memasyarakat seperti saat ini, batik pernah menjadi pakaian keluarga raja.

Tradisi batik diperkirakan muncul di Nusantara, khususnya Jawa, pada masa kerajaan Majapahit atau abad ke-12. Hal itu ditandai dengan ditemukannya arca Prajnaparamita (Dewi Kebijaksanaan) di Jawa Timur abad ke-13.

Pada arca tersebut digambarkan bahwa Sang Dewi mengenakan kain yang dihiasi dengan motif sulur tumbuhan dan bunga, motif yang masih dijumpai hingga sekarang.

Batik juga dinilai sangat terkait dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah di pusat perbatikan di Jawa adalah daerah santri. Batik juga menjadi alat perjuangan ekonomi para pedagang melawan perekonomian Belanda.

Batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian dan pada zaman dulu menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia. Pada awalnya, pengerjaan batik terbatas pada lingkungan keraton, mulai dari pakaian raja, keluarga, hingga para pengikutnya

Namun, karena banyak pengikut raja yang tinggal di luar keraton, maka kesenian batik mulai dibawa ke luar tembok keraton.

Kesenian tersebut pada awalnya hanya bisa dinikmati rakyat yang tinggal di lingkungan sekitar keraton, namun perlahan-lahan penyebarannya semakin meluas sehingga menjadi pekerjaan kaum wanita untuk mengisi waktu senggangnya.

Batik yang pada awalnya hanya pakaian keluarga keraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari secara luas.

Saat itu, bahan kain putih yang digunakan adalah hasil tenunan sendiri. Sedangkan bahan-bahan pewarna yang dipakai terdiri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat antara lain dari pohon mengkudu, tinggi, soga, dan nila. Bahan soda dibuat dari soda abu dan garamnya dibuat dari tanah lumpur.

Meluasnya kesenian batik menjadi milik rakyat Indonesia, khususnya Suku Jawa, terjadi setelah akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19.

Tak hanya di Jawa, batik sesungguhnya juga dijumpai di daerah lain di Tanah Air, seperti Sumatera, Bali, Sulawesi, hingga Papua. Setiap batik memiliki ciri khas masing-masing yang unik dan punya sejarah yang panjang.

Semua batik yang dihasilkan jaman dulu adalah batik tulis. Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono, dan Ngunut.

Sementara batik cap baru dikenal sekitar setelah perang dunia pertama tahun 1920 di Ponorogo dan dibawa oleh seorang keturunan Tionghoa bernama Kwee Seng dari Banyumas.

Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal dengan batik pewarnaan nila yang tidak luntur. Itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo.

Teknik pembuatan batik tersebut turut memengaruhi waktu pembuatannya. Batik tulis, misalnya, memerlukan waktu pembuatan sekitar 2-3 bulan. Sedangkan batik cap cenderung lebih cepat dengan hanya sekitar 2-3 hari saja.

Bahkan, seiring berkembangnya zaman muncul pula batik-batik cetak mesin (printing). Soal harga, batik printing cenderung lebih murah daripada batik tulis dan cap karena proses produksinya yang lebih singkat dan mudah karena menggunakan mesin.

Banyak orang menganggap batik printing bukanlah batik karena kain batik adalah membuat pola dengan menutup sebagian desain untuk memberi warna. Sedangkan pada batik printing, bagian utama itu tidak dilakukan.

Batik sendiri tak hanya dikenal di dalam negeri. Pada 1817 batik mulai dikenal di Eropa seiring dengan terbitnya buku History of Java, karya Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Inggris yang pernah bertugas di Jawa, yang di dalamnya terdapat kisahkan tentang batik.

Kemudian pada 1873, seorang saudagar menyumbangkan batik Jawa ke Museum Etnik di Rotterdam, yang didapatkannya saat berkunjung ke Tanah Jawa.


Beragam corak

Ada delapan motif batik larangan yang tak bisa sembarang digunakan, seperti motif parang rusak barong, parang rusak gendrek, parang rusak klithik, semen gedge sawat grudha, semen gedhe sawat lor, udan riris, rujak senthe, dan parang-parangan yang bukan parang rusak.

Lalu batik lainnya lagi misalnya dari Madura, memiliki warna-warna yang berani sesuai dengan karakter orang-orang Madura yang berani dan tegas. Motif-motif batik Madura antara lain motif Tase Melaya (Tanjungbumi), Sekoh Bujel (Pamekasan), Gajar Sakereng (Tanjungbumi), Per Geper (Pamekasan), dan lainnya).

Lain lagi dengan batik dari tanah Priangan seperti Ciamis, Tasikmalaya dan Garut. Batik dari tanah Priangan dinilai sebagai simbol daya hidup dan keuletan. Motifnya juga khas.

Ciamis, misalnya, punya batik motif Galuh Pakuan dan Pisan Bali. Sedangkan Tasikmalaya punya batik bermotif Merak Ngibing yang berwarna terang dan Cupat Manggu. Sedangkan Garut punya motif batik seperti Limar dan Rereng Dokter Seling Kembang.

Diakui sebagai warisan budaya dunia

Tepat Sembilan tahun lalu di tanggal yang sama seperti hari ini, 2 Oktober, batik diakui sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia.

Pengakuan batik sebagai warisan dunia ini berlaku sejak Badan PBB untuk Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan atau UNESCO, menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and the Intangible Heritage of Humanity) pada 2 Oktober 2009.

Dalam situs resminya, UNESCO menjelaskan bahwa teknik, simbolisme dan budaya terkait batik dianggap melekat dengan kebudayaan Indonesia. Bahkan, UNESCO menilai masyarakat Indonesia memaknai batik mulai dari prosesi kelahiran hingga kematian.

Meski begitu, seiring dengan perkembangan zaman batik sudah tak lagi identik dengan acara-acara tradisional atau ritual kebudayaan. Motif batik kini sudah menjadi produk mode yang kerap digunakan pada keseharian, baik formal maupun informal.

Batik menjadi busana kekinian

Kita bisa melihat masyarakat di kesehariannya mengenakan batik sebagai busana kerja. Bahkan, pada hari-hari tertentu kita melihat hampir semua pekerja instansi pemerintahan menggunakannya.

Bagi sebagian orang, batik juga menjadi salah satu pilihan busana utama ketika menghadiri acara resmi, seperti pernikahan. Bentuk busana yang dikenakan pun semakin beragam.

Karya sejumlah desainer tanah air mungkin bisa menjadi contoh nyata aplikasi batik menjadi busana kekinian.

Koleksi “Er-lum”, misalnya. Koleksi kolaborasi desainer Mel Ahyar dengan Iwan Tirta Private Collection tersebut mengolah motif-motif batik peninggalan maestro batik Iwan Tirta.

Ribuan motif batik Iwan Tirta yang sarat akan pakem tradisional tersebut mampu diolah oleh Mel Ahyar menjadi koleksi busana kontemporer yang nampak kekinian tanpa menghilangkan ciri khas motif Iwan Tirta itu sendiri.

Karya Mel Ahyar diterjemahkan dalam bentuk potongan dress lurus hingga A-line dan beberapa kreasi outwear.

Koleksi tersebut memiliki desain yang muda dan santai karena terinspirasi dari street wear, sport wear dan casual wear. Motif batik dituangkan dalam busana bersiluet longgar, seperti jaket dan baju tangan panjang.

Hasilnya, penggabungan batik tradisional dan gaya milenial dalam koleksi busana tersebut membuat kita semua terkagum.

Selain itu, ada juga Bateeq yang dengan tegas menyebut labelnya konsisten menargetkan pasar anak muda. Konsistensi tersebut diawali dari ketidaksukaan CEO Bateeq Michelle Tjokrosaputro terhadap batik. Michelle dulu menilai bahwa batik terkesan tua dan tidak modis.

Tanpa meninggalkan filosofi batik, Bateeq mengemasnya menjadi busana dengan potongan yang edgy, berani dan kekinian. Seperti setelan celana, jaket atau ponco.

Masa depan batik

“Dengan semua memakai itu sudah satu cara atau usaha untuk melestarikan batik. Kan kalau tidak dibeli untuk apa orang membuat? Batik dalam bentuk apapun, itu kan style-nya saja.”

Hal itu diungkapkan desainer Denny Wirawan ketika ditemui di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (1/10/2018). Denny juga mengolah kain batik Kudus sebagai koleksi busana dan sempat membawanya ke sejumlah agenda mode internasional.

Menurutnya, masyarakat Indonesia perlu berbangga dengan perkembangan batik dari waktu ke waktu. Mulai dari batik yang dulunya terkesan eksklusif bagi kalangan kerajaan, kemudian menjadi busana yang cenderung formal, hingga kini menjadi lebih memasyarakat.

Dengan semakin cairnya batasan-batasan tersebut, maka batik dianggap punya peluang besar untuk lebih terangkat pada skala global.

“Di beberapa daerah mungkin masih ada motif batik yang disakralkan, tapi secara umum sudah tidak ada. Untuk saya, itu suatu kemajuan,” kata Denny.

“Karena batik sebagai warisan budaya, kalau ada terus batasan seperti itu maka akan sulit memajukan atau mengangkat warisan budaya kita.”

Di sana, nilai-nilai batik digaungkan bahwa di balik satu produk batik ada proses panjang yang menyertai. Sehingga, seluruh dunia bisa memandang batik sebagai kain tradisional yang sarat akan nilai-nilai budaya.

Oscar menambahkan, batik terus mengalami perkembangan di Indonesia. Mulai dari motif, jenis pembuatannya, hingga aplikasinya. Hal itu membuat seluruh lapisan masyarakat Indonesia bangga mengenakan batik.

“Tapi hanya kita di Indonesia yang tahu. Saya berpikir, apa yang terjadi di Indonesia itu, seluruh dunia harus tahu,” kata Oscar.

Permintaan batik yang semakin tinggi juga membuat persaingan industri batik semakin ketat. Kini, kita bisa melihat banyak sekali batik cetak (printing) beredar di pasaran, bersaing dengan batik-batik tulis dan cap. Harganya pun jauh di bawah batik tulis karena dicetak menggunakan mesin, tidak dengan tangan.

Meski begitu, menjamurnya batik printing tak lantas membuat optimisme para pengrajin batik tulis surut. Ummu Asiyati, misalnya, meyakini batik tulis masih akan selalu punya tempat di hati masyarakat.

Pemilik lokakarya batik Kudus itu menambahkan, hal yang perlu dilakukan adalah terus mengedukasi generasi muda untuk terus ikut melestarikan batik tulis.

“Sangat optimis. Mungkin cara kita saja untuk menyampaikannya. Kalau orang sudah tahu perbedaannya (batik tulis dan printing), mereka justru akan mencarinya,” kata Ummu.

Tak hanya lewat bidang mode, batik juga terus diperkenalkan kepada dunia lewat berbagai medium. Salah satunya film. Salah satunya adalah film “Sekar” yang dipersembangkan dalam rangka perayaan Hari Batik Nasional 2 Oktober.

Kamila Andini mengatakan, batik dalam film tersebut digambarkan sebagai sesuatu yang selalu menyimpan nilai dan filosofi hidup. Selain ditayangkan di kanal YouTube Indonesia Kaya mulai 2 Oktober 2018, versi panjang film tersebut juga akan diikutsertakan ke festival-festival film.

“Menjaga batik adalah menjaga identitas dan menjaga cerita tentang siapa kita,” kata perempuan yang akrab disapa Dini itu.

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/10/02/050500320/perjalanan-panjang-batik-dari-kraton-hingga-produk-mode-kekinian

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke