Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Parenting Itu Mudah

"PARENTING itu mudah". Sebuah kalimat yang menyebalkan? Iya, mungkin.

“Kalau adek makannya banyak, nanti mama belikan robotnya!” Familiar dengan ucapan ini?Pasti.

Karena, “sogokan” adalah jalan pintas yang sering diambil orangtua kalau sudah lelah ketika anaknya enggak bisa dibilangin.

Namun, sesungguhnya prinsip sogokan untuk anak ini bak penggunaan AC ketika udara panas.

Iya, yang di dalam rumah jadi adem karena memakai AC itu, tapi semakin besar penggunaan AC ya udara di luar juga semakin panas. Bahkan, dampak jangka panjangnya juga jadi lebih buruk buat Bumi.

Begitu juga kebiasaan membohongi anak, menyogok, mengancam, time-out, mengabaikan, dan mendramatisir proses pengasuhan. Semua itu, sering kali dijadikan "senjata" oleh orangtua, yang pada akhirnya menyasarkan peluru tepat di kepala orangtua itu sendiri.

Hal-hal yang dianggap jalan pintas demi parenting yang—so called—enggak usah dibikin ribet ini justru akan berakhir di keluhan bahwa pengasuhan adalah hal yang paling berat di dunia.

Basic instinct

Hal pertama yang harus diingat oleh setiap orangtua, pengasuhan adalah basic instinct. Menjadi orangtua sudah dilakukan manusia sejak manusia pertama turun ke bumi. Jadi, ini bukan perkara baru. Hal besar, tapi bukan untuk dibesar-besarkan.

Lho, kalau memang basic instinct, artinya segala bentuk pengasuhan termasuk jalan pintas tadi juga benar dong?

Kita kucing atau manusia? Kalau kita kucing, tentu saja itu semua benar. Apa pun yang dilakukan ibu kucing kepada anaknya, enggak ada yang salah. Enggak ada yang berdampak bagi masa depan si anak kucing.

Karena kehidupan hewan memang hanya bertumpu pada insting dan bukan akal. Benar?

Namun, karena kita manusia, kita kudu memadukan insting, akal, emosi, dan ke-Tuhan-an, untuk menjalankan hidup.

Zaman old vs zaman now

“Anak gue gak pernah mau dengerin gue. Harus aja diteriakin biar denger. Belum lagi adeknya yang rewel. Punya anak dua aja rasanya mau mati!”

Eyang kita dulu anaknya bisa sampai 15, lho. Iya, kan? Ibunya hidup, anak-anaknya juga hidup. Iya, mungkin hanya sampai hidup, seadanya, sebisanya, tapi hidup.

Kata psikolog klinis dari Rumah Dandelion, Nadya Pramesrani, orangtua zaman old itu yang dipikirin banyak banget. Mereka enggak sempat berpikir me-time—cari informasi terkait psikologi anak, atau metode pengasuhan.

Mereka juga enggak sempat berpikir stress-nya jadi orangtua atau berantem karena baby blues. Sederhana, yang penting anak-anak bisa makan, pakai baju, tinggal di bawah atap, syukur-syukur bisa sekolah.

Kita sekarang? Membahas Setnov kejedot tiang listrik sampai bikin 100 memes saja bisa. Masa enggak bisa memperbaiki cara pengasuhan yang tidak pada tempatnya?

Melawan mitos dengan edukasi

Ada mitos-mitos tradisional yang membuat pengasuhan jadi terasa berat. Misalnya, mitos bau tangan.

“Kalau anaknya nangis, diemin aja. Diangkat melulu nanti jadi bau tangan. Manja, enggak bisa mandiri, apa-apa ngerepotin orang tua!”

Percayalah, mendengarkan bayi menangis itu jauh lebih merepotkan ketimbang menggendong dan mengikutsertakannya dalam hal-hal yang harus diselesaikan sang ibu atau ayah.

Di sini peran basic instinct, akal, emosi, dan ke-Tuhan-an bekerja. Semua ibu, kalau dengar anaknya menangis, insting-nya pasti ingin menggendong. Jadi, kalau itu dilarang, artinya melawan insting, bukan?

Secara emosi, segala hal yang sedang dikerjakan ibu—baik bekerja, merapikan rumah, maupun memasak—bisa jadi berantakan ketika tangis anak pecah. Yang pecah juga konsentrasi sang ibu. 

Secara akal? Energi yang dihabiskan oleh anak ketika menangis itu sangat banyak.

Di The Baby Book yang ditulis Dr William and Martha Sears, bayi yang digendong akan jarang menangis.

Bayi yang jarang menangis, otomatis cenderung lebih bahagia dan lebih cepat tumbuh berkembang. Sebab, energi yang dipergunakan untuk menangis digunakan untuk tumbuh dan berkembang.

Lalu apa urusan ke-Tuhan-an? Tentu saja, faktor ini mencakup semua hal tersebut. Agama apa pun pasti menyarankan kita mendahulukan cinta kasih kepada anak, bukan?

Pentingnya attachment

Dan tahukah Anda, menurut psikolog Dr Laura Markham, akar dari kemampuan sosial seorang anak—berteman, berkompromi, dan berempati—adalah berawal dari bagaimana orangtua merespons kebutuhannya saat bayi sehingga ada ikatan emosional yang membuat bayi merasa aman.

Istilahnya, ada attachment. Ikatan emosional ini hanya bisa terbentuk sejak lahir hingga usia dua tahun saja. Singkat sekali waktunya, tetapi inilah fondasi terpenting dalam kehidupan setiap manusia. Hal ini yang memengaruhi perkembangan anak dalam bersosialisasi hingga ia dewasa kelak.

Ketika anak sudah yakin bahwa orangtuanya akan hadir saat mereka membutuhkan, mereka jadi bisa lebih fokus untuk “mengembangkan” kemampuan dalam dirinya, termasuk kemampuan menjadi pribadi yang bagus kemampuan sosialnya.

Lalu, apa yang terjadi dengan anak-anak yang belum merasa yakin akan kehadiran orangtuanya?

Mereka akan lebih sibuk mengisi keyakinannya yang kosong itu dengan mencari perhatian yang tak kunjung ia dapatkan untuk merasa aman dan percaya diri. Akhirnya? Karena ia terlalu sibuk mencari perhatian, ia jadi tidak bisa fokus mengembangkan kemampuan dirinya.

Dan kisah sepanjang ini datangnya dari mana? Datang dari cara orangtua merespons tangisan bayi, dengan menggendong, menimang, dan menemani bayi yang ketakutan.

Jadi terbayang, kan, bahwa ada begitu banyak hal yang terlewatkan dalam fase dasar seorang anak, hanya karena orangtua tidak mengedukasi diri. Banyak dari orangtua juga menelan bulat-bulat mitos.

Ujung-ujungnya, pengasuhan jadi terasa amat melelahkan, dan jadi masalah yang enggak selesai-selesai sampai anak besar. Capek dehhh…

Melawan panik

Memang sih, dengan begitu banyaknya sumber informasi belakangan ini, para orangtua kerap merasa terbombardir dan malahan jadi overwhelmed, kemudian panik. Karena begitu banyak teori mengenai parenting, mana yang harus dipercaya? Mana yang paling benar?

Kalau saja orangtua meyakini bahwa parenting is easy, sebetulnya pasti enggak akan panik. Karena, dengan bekal edukasi yang holistik, kita pasti paham prinsip “setiap anak unik”.

Maka, enggak ada teori parenting yang paling benar. Yang ada hanyalah informasi yang cocok dengan kebutuhan anaknya.

Dari orangtua yang mau memberdayakan diri dengan belajar dan berpikiran terbuka, pengasuhan pasti akan terasa jauh lebih ringan.

Hal ini bikin orang tua jadi lebih santai dan panic-less karena yakin bahwa yang mereka lakukan adalah yang terbaik untuk anaknya. "Karena setiap anak berbeda, yang baik untuk anak saya belum tentu baik untuk anak lain".

You can’t save the world alone

Kalau seperti kata film Justice League, "You can't save the world alone". Iya, benar, termasuk soal parenting ini.

Makanya, kita harus punya squad yang harus saling mendukung, bukan malah menjatuhkan. Harus saling mengingatkan, bukan nyinyir. Harus sama-sama belajar memperbaiki kesalahan, bukan saling menghujat.

Sikap menyebalkan yang biasanya muncul lewat membanding-bandingkan, menyalahkan, atau komentar tapi enggak membantu akan membuat kita semua merasa pengasuhan jadi berat.

Padahal, kalau kita bikin diskusi, saling memberikan pendapat lewat forum yang fair, sama-sama belajar, dunia pasti terasa lebih nyaman, bukan?

Toh, kalau anak juara lomba, harusnya yang senang anak, kan? Kemenangan itu juga bukan karena dia harus menang atau biar dia bisa jadi pajangan di feed medsos ibu.

Anak dikasih air susu ibu (ASI) karena itulah minuman terbaik bagi bayi, demi tumbuh kembangnya. Bukan buat dipamerin dan kemudian nyinyirin ibu lain yang enggak bisa memberikan ASI.

Parenting is Easy

Tenang saja, jangan panik, jangan takut! Kita percaya saja bahwa Tuhan sudah menunjuk kita jadi orangtua, berarti kita sudah dibekali kemampuan untuk menjadi orangtua.

Tugas kita adalah menjadi orangtua terbaik untuk anak-anak kita, bukan anak tetangga, bukan anak lain di sekolah. Dan untuk itu, kita perlu belajar.

Karenanya, jadilah orangtua yang cerdas, yang belajar dan memberdayakan diri secara holistik, yang paham bahwa setiap tindakan yang kita lakukan sekarang akan dibawa anak hingga dewasa.

Jadilah orangtua yang dapat menikmati sinar matahari pagi sambil main bulutangkis bersama anak kecil kelebihan energi, tanpa takut anaknya jadi item.

Yaitu, orangtua yang memahami bahwa ketimbang membelikan sekardus camilan manis berbalur gula, lebih baik jajanin pisang. Sama manisnya, murah, mudah didapat, dan sehat.

Juga, orangtua yang memahami bahwa batuk pilek yang disebabkan virus enggak ada obatnya. Jadi, seperti kata dr Arifianto SpA, orangtua yang mau sabar dan menggendong.

Orangtua yang memahami bahwa lebih baik berpanjang-panjang memahami perasaan anak, memeluk, dan menjelaskan bahwa memukul teman itu tidak baik.

Oh, tentu saja selalu ada jalan pintas untuk semua hal. Bilang saja, “Awas ya adek pukul-pukul temannya lagi nanti enggak mama kasih kue!” Namun, ia akan terbiasa hidup di bawah ancaman.

Ada juga pilihan, “Ayo, minta maaf dulu sama temannya, nanti mama bolehin main handphone deh!” Yang dari situ ia akan terbiasa dengan sogok menyogok.

Atau, “Sudah, adek, gapapa ya gigit. Namanya juga anak kecil. Itu lagian temennya enggak mau ngalah sih ya, payah!” Risikonya, anak akan terbiasa menyalahkan orang lain.

Namun, terbayang tidak, akan seperti apa masa depan anak yang dididik dengan segala jalan pintas semacam itu? 

Parenting itu mudah, kita saja yang senang bikin rumit, lalu mempertaruhkan masa depan anak dari kebiasaan jalan pintas! Grow up!

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/10/19/142938320/parenting-itu-mudah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke