Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ketika Manual Hidup Sehat "Ketlingsut"

Bahkan, cenderung dilupakan di banyak tempat. Tentu saja, mengingat rapor merah yang menghantui salah satu hak dan harkat tertinggi manusia: untuk hidup sehat dan menikmati masa tua dengan bermartabat.

Adanya penurunan angka kematian bayi, tapi menyisakan angka stunting jauh di atas batas waspada yang ditentukan World Health Organisation menunjukkan kemampuan teknis seputar persalinan yang mulai lumayan, tapi makhluk hidup yang baru dilahirkan itu tidak mendapat asuhan mumpuni di 1000 hari pertama kehidupannya.

Seribu hari pertama bukan di luar tubuh ibu, tapi sepertiganya saat ia dibesarkan sebagai janin – ketika ibunya mengandung dan bergizi seadanya.

Mendadak istilah stunting menjadi booming – dari meja konperensi tingkat tinggi hingga rapat kader posyandu.

Pimpinan daerah yang sempat kena sentil, karena angka stunting di wilayahnya melejit tak terkira ikutan panik bahkan menyangkal – karena ia tidak pernah melihat orang-orang kerdil bersliweran sebagaimana pemahamannya soal indikator stunting adalah postur tubuh kerdil.

Padahal, kerdil akibat stunting tidaklah sama dengan (maaf) ‘orang cebol’ yang kerap di-bully sebagai pelawak atau tontonan manusia aneh – yang penyebabnya akibat gangguan hormon, dan tentu saja beda dengan kasus stunting.

Di sisi lain, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang baru saja dirilis memaparkan angka-angka ngeri seputar penyakit akibat gaya hidup yang kian menanjak, bukannya menurun.

Dibandingkan 2013, stroke meningkat dari 7% menjadi 10.9%, diabetes dari 6.9% menjadi 8.5% dan hipertensi dari 25.8% menjadi 34.1%.

Sama sekali tidak ada perbaikan, perburukan malah semakin nyata.

Gerakan masyarakat hidup sehat (Germas) yang dicanangkan sejak awal 2017 dengan harapan pola makan mendapat perhatian dan rakyat beralih lebih banyak mengonsumsi sayur dan buah – justru hal sebaliknya yang terjadi : dibandingkan 2013, masyarakat yang tidak cukup mengasup sayur dan buah semakin banyak, dari 93.5% jadi 95.9%.

Ini amat keterlaluan sekaligus memalukan jika tidak mau dibilang ‘ngledek’. Ada apa?

Yang pasti bukan statistiknya yang salah. Promosi kesehatan masih sebatas kampanye, jargon, bagi-bagi kaos, goody bag, dan brosur serta keramaian panggung artis yang dibayar.

Gagapnya para pemangku tanggung jawab kesehatan yang bingung mau ‘membangunkan’ rakyatnya.

Meningkatkan kesadaran saja tidak menyelesaikan masalah. Proses yang terlalu lama menghabiskan uang dan waktu, sementara kematian dan bangkrutnya sistem layanan dan pembiayaan kesehatan semakin mengancam.

Stunting, stroke, diabetes, hipertensi hanyalah beberapa puncak gunung es yang hari ini terlihat. Keseluruhan gunung es utuhnya masih di bawah permukaan laut dan kapal mana pun yang lewat dijamin siap karam.

Saat tabrakan terjadi, sudah kelewat terlambat untuk mencari manual bagaimana dan kemana seharusnya kapal itu berlayar.

Mengharapkan air laut surut agar gunung es terlihat jelas tidak akan menyelesaikan masalah selama kapal masih berlayar ke arahnya dan setiap saat bisa terhempas menyisakan lobang besar mengaga di buritan.

Ibaratnya, menguak kesadaran publik akan bahaya stunting, stroke, diabetes, dan hipertensi saja. Tanpa ada kesadaran dari yang empunya kapal, untuk banting haluan sebelum hantaman penyakit katastropik dan gagal tumbuh generasi menyisakan kekosongan generasi produktif yang menyelamatkan kedaulatan bangsa ini.

Perubahan perilaku tidak akan bisa diharapkan dari siapa pun jika orang yang diharapkan berubah itu tidak memahami mengapa ia harus berubah. Untung ruginya dimana, manfaat dan mudharatnya apa, dan bagaimana caranya untuk berubah.


Edukasi yang sifatnya paternalistik, mengimbau, memberi instruksi hingga ‘agak memaksa’ tidak akan mempan jika literasi tidak dibangun. Rakyat yang literasinya masih pendek tidak akan cukup menjangkau tentang hari depan.

Buat mereka, hasil panen dan tangkapan laut adalah komoditi – dengan dijual maka uang ada di tangan.

Dengan uang, mereka bisa beli apa saja. Untuk hari ini. Yang bisa dipegang, dinikmati dan dilihat, serta dipamerkan jika perlu.

Komoditi beda dengan konsumsi. Jika hasil panen dan tangkapan dikonsumsi, maka habislah sudah. Paling ‘cuma buat kenyang’ – rezeki melayang.

Literasi yang mereka miliki tidak mampu membuat abstraksi soal masa depan. Buat mereka, perut kenyang makan ikan tak beda jauh dengan rasa kenyang makan mi instan.

Jika menjual ikan bisa beli rokok, pulsa, sekaligus mi instan – bukankah kelihatan bodoh apabila ikannya malah dimakan?

Apalagi, mi instan disukai pula oleh para juara, para artis, dan menurut berita online, salah seorang juragan Asia terkaya pun baik-baik saja rutin mengonsumsi mi instan favoritnya.

Mendampingi rakyat untuk bisa mengubah perilaku dan kebiasaan bukan semudah membalikkan tangan apalagi membuat mereka hafal jinggle kampanye.

Petugas kesehatan yang lulus ujian kompetensi pun masih malu-malu kucing begitu ketahuan jajan gorengan atau anaknya masih kecanduan teh manis – kurang apa lagi pengetahuan mereka? Deraan sabotase masih belum seberapa.

Cobalah lihat iklan makanan dan minuman di semua program televisi. Promosi jajanan kekinian yang seenaknya bisa menembus media sosial – entah bagaimana cara mereka bayar pajak iklannya.

Bahkan, artikel feature media cetak ternama bisa ‘kecolongan’ iklan terselubung, yang begitu manisnya menyelinap sebagai latar belakang tokoh yang sedang diwawancara.

Bicara soal perubahan perilaku melalui paradigma pendekatan komunikasi mau tidak mau membuat kita harus jujur dengan semua hal di atas.

“Manual” hidup sehat misalnya, dimulai dengan ASI ekslusif selama 6 bulan tanpa setetes madu atau imbuhan lain yang masuk ke mulut bayi.

Ironinya, di daerah pelosok miskin, cakupan ASI ekslusif amat rendah. Lalu apa yang dikonsumsi bayi jika ASI yang gratis tidak lagi diberi?

Mengapa susu formula dan pangan instan lebih membangun rasa percaya diri seorang ibu membesarkan anaknya, ketimbang ‘manual’ 1000 Hari Pertama Kehidupan anak yang secara formal ofisial sudah diakui semua institusi kesehatan seluruh dunia?


Jumlah kunjungan ke posyandu dan pemeriksaan kehamilan bisa saja menanjak cepat – tapi bukan berarti bisa menjadi indikator perbaikan stunting secara otomatis. Jika ternyata iming-iming kunjungan adalah bagi-bagi susu formula atau makanan instan gratis.

Begitu pula dengan rajin mengecek tensi dan gula darah tidak otomatis menekan angka stroke atau penyakit ginjal kronis. Yang ada justru tagihan BPJS membengkak, karena berobat menjadi kebutuhan.

Sama seperti suguhan buah dan rebusan semakin marak di meja rapat atau seminar – tapi tetap saja kotak roti bersanding kue masih ada di sebelahnya. Alih-alih perbaikan berat badan, pinggang kian mekar menggemaskan.

Rakyat kita belum mempunyai literasi makna promotif dan preventif, masih sebatas hura-hura dampak kampanye kesehatan nan kreatif.

Sebab manual menjadi sehat ketlingsut, harus dicari dahulu saat dibutuhkan di waktu gawat darurat.

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/11/18/071500820/ketika-manual-hidup-sehat-ketlingsut

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke