Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengintip Produksi Sepatu Ramah Lingkungan “Pijakbumi” di Bandung

Ia duduk di atas bangku kecil. Matanya fokus pada kain kanvas alami yang dipegangnya.

Kurang dari satu menit, dia sudah berhasil merekatkan kain kanvas ke cetakan sepatu.

Ia kemudian mengambil alat penarik kain. Ditariknya kain tersebut hingga menutupi cetakan sepatu kayu dengan rapi.

Untuk menguatkan, ia menggunakan palu dan memukulkan pada beberapa titik rekatan kain.

“Kain sehalus ini (kanvas organik) akan susah dibentuk rapi jika menggunakan mesin."

"Namun karena dikerjakan dengan tangan, jadi gampang,” ujar Romi kepada Kompas.com, belum lama ini.

Pengerjaan sepatu Pijakbumi memang 99 persen menggunakan tangan (hand made). Mereka pun hanya menggunakan mesin kaki, dan mereduksi 60 persen lem dalam produksinya.

Bahan yang digunakan pun terbilang ramah lingkungan.

Atep, perajin yang duduk di samping Agus, lalu memperlihatkan berbagai bahan yang digunakan Pijakbumi.

“Ini kulit mentah yang kami gunakan. Ini dari sabut kelapa. Kalau sol ini recycle ban bekas dan ini latex untuk sol juga,” katanya.

Selain itu, terdapat berbagai bahan anyaman dari bambu serta beberapa material yang bersumber dari tumbuhan seperti kenaf.

Semua material tersebut tidak melalui proses chemical yang bisa membahayakan lingkungan, manusia, maupun perajinnya itu sendiri.

Proses bebas chemical ini membawa keunikan tersendiri. Seperti pada sepatu berbahan kulit. Sepatu akan berubah warna seiring waktu dan pemakaian.

Keunikan lain dari sepatu Pijakbumi ada pada desain. Secara bentuk, Pijakbumi terinspirasi desain minimalis.

“Banyak roots-nya ke Jepang dan Scandinavian,” ujar Founder Pijakbumi, Rowland Asfales kepada Kompas.com.

Desain ini banyak diminati orang. Bahkan, pernah menjadi finalis Good Design Indonesia (GDI).

Salah satunya sepatu seri Atlas bersama Gene Sneakers. Sepatu tersebut berbahan kulit samak nabati dan prototype sepatu dari anyaman bambu.

“Sudah ada 30an desain. Dibagi ke dalam dua segmen yakni high end dan low end,” ungkap dia.

Untuk high end, desain keluar setiap enam bulan sekali. Sedangkan low end keluar setiap dua bulan sekali.

“Harganya berkisar Rp 355.000-Rp 1,8 juta, dengan menyasar generasi milenial usia 18-34 tahun,” ucapnya.

Tahun depan, dia mengaku akan fokus di dua segmen dengan pendekatan dan penetrasi yang berbeda.

Pijakbumi akan fokus dulu di pasar lokal, karena pasarnya sangat besar dan menjanjikan. Walaupun pembeli Pijakbumi datang dari lima benua.

“Peran sosmed sangat membantu kami untuk bisa engagement customer maupun calon customer kami dengan membagikan awareness akan sustainable living,” ungkap dia.

Pada sepatunya, Rowland memberikan informasi tentang kampanye yang dilakukan. Itu terlihat di dalam sepatunya.

“Ada tulisan: thanks for being involved in the circle of goodness to make the better world. #temanmelangkah,” kata dia.

Ramah lingkungan ini pun tidak hanya didapatkan dari proses pola, assembling, hingga finishing, bahkan packaging pun dibuat ramah lingkungan dengan memerhatikan estetika.

Rowland mengaku tak akan lelah mengampanyekan produk ramah lingkungan. Sebab dunia fesyen merupakan salah satu penyumbang limbah terbesar di dunia.

Sebagian besar sepatu kulit yang diproduksi di dunia diproses secara kimiawi, dan menggunakan bahan yang berdampak buruk bagi alam dan manusia.

Belum lagi banyak pakaian, sepatu, celana, dan fesyen lainnya yang berakhir hanya menjadi sampah karena tidak atau sulit diolah kembali.

“Mari kita selamatkan bumi,” kata Rowland. 

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/11/26/120131020/mengintip-produksi-sepatu-ramah-lingkungan-pijakbumi-di-bandung

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke