Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Diet Planet, Baik untuk Bumi tapi Efektifkah untuk Manusia?

Diet tersebut didesain untuk mengurangi degradasi lingkungan karena bumi masih harus menghasilkan makanan bagi sekitar 10 miliar jiwa yang diprediksi menghuni planet pada 2050.

Namun, Faye Flam, seorang kolumnis di laman Bloomberg yang juga memiliki gelar geofisikawan dari California Institute of Technology menuliskan bahwa pola diet yang diklaim sehat bagi bumi tersebut masih dipertanyakan oleh sejumlah ahli gizi.

Pola diet tersebut dipandang sebagai perubahan yang cukup drastis bagi negara-negara yang masyarakatnya biasa mengkonsumsi daging merah dalam jumlah besar dalam kesehariannya, seperti Amerika Serikat. Dikhawatirkan, pola makan tinggi karbohidrat dan rendah lemak justru menjadi pemicu obesitas dan diabetes tipe 2.

Kritik juga banyak diarahkan kepada para ilmuwan tersebut karena telah mengklaim bahwa daging merah berbahaya bagi kesehatan atau menyimpulkan bahwa pola makan vegan lebih baik bagi tubuh manusia.

Menurut Flam, para ilmuwan lebih condong kepada bukti-bukti yang sulit untuk diinterpretasikan daripada eksperimen yang terkontrol.

Lebih jauh, ia menilai bahwa pola makan masa depan yang bisa menyelamatkan nyawa miliaran populasi di dunia dan sehat bagi bumi serta manusia adalah hal yang tidak mungkin.

Berdasarkan fakta sejarah, ketersediaan kuantitas makanan yang memadai seringkali disertai dengan degradasi kualitas. Dengan mempelajari kerangka manusia zaman dulu, para arkeolog menemukan bahwa seiring dengan semakin luasnya pertanian, maka keadaan manusia akan semakin buruk.

Kerangka mereka akan semakin memendek, tanda-tanda penyakit semakin bermunculan, serta gigi-gigi mereka berubah dari sehat menjadi busuk.

Kemudian, hanya orang-orang sosial kelas atas yang akan tetap tinggi dan sehat karena mengkonsumsi makanan yang lebih bervariasi, termasuk daging merah.

Ilmu telah memberikan langkah yang baik dalam mencegah manusia mengalami kekurangan vitamin, meskipun kita masih belum tahu pola mana yang optimal.

Persamaan dari sisi lingkungan sebetulnya lebih sederhana. Bidang pertanian sudah mengubah planet ini cukup drastis. Sehingga dalam perbandingan biomassa, hewan liar jumlahnya hanya 4 persen dari keseluruhan mamalia, manusia 36 persen dan ternak 60 persen. Sebagian biomassa unggas kini terdiri dari ayam.

Geofisikawan dari Bard College, Gidon Eshel mencatat ada banyak efek samping pertanian jika pola itu diterapkan. Di antaranya pembunuhan tanaman liar dan binatang, polusi nitrogen di jalur-jalur air, serta emisi gas rumah kaca.

Eshel sendiri mempelajari efek lingkungan terhadap produksi makanan. Ia juga menjadi pembicara di Radcliffe Institue beberapa tahun lalu tentang pola makan untuk kesehatan lingkungan. Topik yang sama dengan pola makan yang disampaikan EAT-Lancet.

Eshel menyimpulkan bahwa industri daging AS sedang memonopoli tanah, menuangkan sisa nitrogen ke sungai dan Teluk Meksiko, serta merusak biodiversitas. Namun, hal itu tidak berarti semua orang harus menjadi vegan.

Masyarakat bisa tetap menerapkan pola makan dengan daging tanpa mengalami kerusakan apapun jika mengurangi dua pertiga produksi daging sapi serta mengubah cara memberi makan ternak, yakni mengganti jagung dengan kulit-kulit sisa buah.

Nutrisi memang bukan bidang keahlian Eshel. Namun ia mengatakan bahwa ia mengkonsumsi apa yang diajarkannya, yaitu kebanyakan makanan berbasis tanaman dan menghindari daging merah.

Berasal dari Israel, Eshel mengatakan bahwa makanan-makanan timur tengah secara tradisional memiliki banyak variasi dan tidak hanya fokus pada daging-dagingan.

Namun, apakah daging merah baik atau buruk bagi kesehatan manusia tergantung pada masing-masing individu.

Laporan Lancet menyertakan sejumlah studi, termasuk sebuah studi yang dilakukan di Cina bahwa konsumsi daging berkorelasi dengan kesehatan yang lebih baik.

Peneliti studi mengacu pada Afrika, di mana protein dan lemak sehat adalah hal yang langka dan anak-anak akan lebih sehat jika lebih mudah mendapatkan akses daging dan produk susu.

Tetapi, saat ini ada ketimpangan yang cukup besar. Itulah mengapa ilmu kemudian berbaur bersama etika dan politik. Tapi, apakah hanya orang sosial atas yang boleh sehat? Haruskah orang-orang pada satu negara diperbolehkan makan dengan cara yang mampu menyumbang polusi global? Berapa banyak bukti yang cukup untuk mengajak semua orang beralih ke pola makan yang sama?

Lebih lanjut, para ilmuwan juga memulai analisa efek pola makan terhadap otak dan mereka khawatir kita membahayakan diri sendiri karena terlalu banyak konsumsi omega 6. Omega 6 terkandung dalam minyak goreng murah, seperti jagung dan kedelai, serta daging binatang ternak yang diberi makan jagung atau kedelai.

Seorang ahli neurosains nutrisi Joseph Hibbeln melihat peningkatan pola konsumsi omega 6 saat ini sebagai transformasi yang terbesar sepanjang sejarah Homo sapiens.

Secara kimia, omega 6 menambah kemampuan tubuh untuk membangun omega 3. Sejumlah studi mengaitkan kekurangan asupan omega 3 dengan kekerasan, bunuh diri, depresi, dan obesitas.

Beberapa ilmuwan mengkhawatirkan, perubahan konsumsi omega 3 ke omega 6 akan berdampak pada pembentukan otak anak di seluruh dunia.

Mungkin akan terlihat tidak pantas bagi siapapun untuk mengklaim pola makan yang terbaik. Sebab apa yang baik untuk masyarakat Amerika Serikat, misalnya, belum tentu baik bagi pembentukan otak anak di Afrika. Begitu pula bagi negara-negara lainnya.

 

https://lifestyle.kompas.com/read/2019/02/08/095224920/diet-planet-baik-untuk-bumi-tapi-efektifkah-untuk-manusia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke