Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ketika Manusia Tak Bisa Melihat Versi Terbaik dari Dirinya

Ini bukan perkara pemilunya atau siapa pilihan presiden paling favorit. Pun bukan soal surat suara, yang upaya melipatnya lebih lama ketimbang proses mencoblosnya di ‘bilik rahasia’.

Salah satu cerita yang paling menggelitik adalah obrolan di antara pembantu rumah tangga saat mengantre nomor panggilan di Rabu pagi yang amat terik itu.

Bermodal kartu A5 yang diupayakan para juragannya yang semangat anti golput, para asisten yang menjamin keberlangsungan hidup dapur hingga ritual bebersih rupanya punya pendapat tersendiri yang membuat saya terhenyak – dan jika diekstrapolasikan bisa jadi merupakan cara pandang sebagian besar rakyat Indonesia.

Celetukan tersebut yang aslinya berlogat Jawa, kurang lebih jika diterjemahkan bunyinya begini,”Ah, nasib pembantu dari zaman kapan sampai kapan pun tetap begini-begini saja. Mau siapa pun presidennya, mana bisa kita naik derajat,”.

Istilah derajat, jenjang status, hingga profesi idaman selalu menjadi topik hangat yang menunjukkan seberapa berhasilnya saya ‘jadi orang’.

Telusur punya telusur, bisa jadi profesi paling top dan menjadi incaran semua orang kalau bisa dan sanggup rupanya jabatan presiden! Sebab, kelihatannya tidak ada tingkat status atau pekerjaan yang membuat orang sungguh-sungguh puas dan bangga di mana dirinya berada.

Pembantu saja mengidam-idamkan jadi juragan. Yang sudah jadi juragan mi ayam mau punya restoran seafood. Yang sudah punya pabrik sabun cuci ekspansi menjadi industri pangan jadi.

Dokter tidak cukup punya klinik pribadi, lama-lama punya rumah sakit atau laboratorium lengkap dengan apotek.

Mereka semua jika punya batu loncatan pun ramai-ramai mencalonkan diri sebagai wakil rakyat atau malah ambil jalur eksekutif – mengurus rakyat katanya.

Pesona jabatan dan pangkat membuat semua stase atau pos pengabdian akhirnya sekadar batu loncatan yang ujung-ujungnya puncak nomer satu: jadi presiden.

Hal yang menjadi amat mungkin di zaman sekarang, pintu terang terbuka mulai dari pelawak sungguhan yang tidak tahu politik hingga pelawak politik yang lawakannya bikin panas ketimbang ngakak.

Fenomena di atas membuat orang gerah dengan apa yang dilakoninya sekarang. Pekerjaan, profesi, bukan lagi soal pencarian jati diri dan menjadi manusia ulet yang ahli dan pakar.

Proses ‘menyebrang’ adalah fenomena rasa tidak cukup yang selalu menghantui – mulai dari tidak cukup uang hingga tidak cukup puas diri.

Puas diri dianggap ungkapan pasrah ‘nrimo’ yang membuat orang tidak nampak maju.

Kapitalisme sempit yang katanya tidak diakui bangsa ini, tapi diam-diam diyakini sebagai spirit kehidupan sehari-hari.

Materialisme dan konsumerisme tanpa sadar menghancurkan kemampuan untuk jadi produktif, dan sebaliknya destruktif.

Tidak bangga akan diri sendiri dimulai dari rasa tidak puas akan hasil karya sendiri. Iklan kosmetik pun sampai harus menyebut ‘dengan berbahan bunga Sakura dari Jepang’, begitu pula makanan sehat kudu berorientasi salad orang kulit putih dengan biji-bijian ajaib yang justru tidak bisa dicerna usus manusia – hanya karena orang bule menyebutnya super food.

Saya bersyukur dibesarkan oleh ayah yang selalu menekankan ‘be the best version of you’. Itu barangkali yang membuat saya ‘ora pathekan’ (tidak sudi) nyebrang sana-sini.

Itu juga yang membuat saya berhati-hati melangkah, berpikir seratus kali sebelum menentukan saya mau jadi apa.

Memilih sekolah bukan karena favorit orang, bahkan paman saya yang tidak sengaja iseng mendaftarkan saya di sekolah menengah itu.

Waktu TK dan awal-awal SD, saya lebih suka sekolah dekat rumah, selain bisa dijangkau dengan jalan kaki, sambil pulang saya bisa ‘jajan mata’: karena sepanjang gang terdapat berderet-deret toko alat tulis.

Pilihan pendidikan lanjutan pun dasarnya karena saya kagum dengan kesempatan untuk bertemu banyak orang dari berbagai latar belakang ,saat mereka justru terpuruk di saat sakit dan mampu bangkit lagi setelah sehat.

Dan setelah berinteraksi dengan begitu banyak manusia, saya semakin menemukan penderitaan dan ‘kesakitan’ yang sesungguhnya: bukan terletak di penyakit fisik, melainkan ketidak mampuan untuk menjadi ‘yang terbaik’ dari dirinya sendiri.

Seperti obrolan ringan di antara pembantu tadi. Menganggap ada yang dimiliki dan dikaryakannya tidak berharga, bahkan diandaikan pekerjaan nista. Padahal begitu banyak orang yang katanya kaya raya justru tidak berdaya saat pembantunya minggat.

Dengan berjalannya waktu, transformasi sosial mengubah makna penghargaan. Sisi kuantitas menjadi tolok ukur yang gampang dibandingkan ketimbang kualitas.

Berapa banyaknya harta menjadi lebih bermakna ketimbang bagaimana harta itu bisa didapat. Saling bersaing dengan tolok ukur yang itu-itu saja, membuat orang tidak mampu menemukan manikamnya sendiri.

Seperti sebelas pemain semuanya berebut mengejar bola yang sama, hingga mengorbankan gawang sendiri.

Penghargaan keberagaman memang masih sulit di negri ini. Sebab nasi putih masih punya supremasi tersendiri ketimbang singkong, apalagi sagu.

Perawat masih dianggap di bawah perintah dokter. Padahal dokter tidak mampu merawat, mengurus decubitus (borok akibat berbaring terlalu lama) saja belum tentu becus.

Lebih gawat lagi jika status ditentukan oleh besaran gaji, bukan hanya kuasa. Sama menyedihkannya jika perempuan dianggap punya emansipasi jika bisa melenggok petantang petenteng dengan sepatu berhak tinggi di kantor, sementara anak-anaknya tak terurus di rumah.

Bahkan gajinya habis hanya untuk bayar pengasuh dan ongkos dokter anak-anaknya yang berulang kali jatuh sakit.

Semua berasal dari rasa tidak berharga, tidak cukup, tidak puas. Tidak mampu menjadi ‘the best version of you’.

Sangat amat salah jika para ahli keuangan mengambil tolak ukur Sri Mulyani misalnya, sebagai parameter keberhasilan mengelola utang dan anggaran keuangan.

Sri Mulyani bisa jadi yang terbaik di level kementerian keuangan, tapi ibu Anda mungkin yang terbaik di tata kelola keuangan rumah tangga – yang bisa menyelesaikan kredit rumah lebih cepat sekaligus semua anak-anaknya jadi sarjana.

Begitu pula sagu adalah karbohidrat yang terbaik untuk teman makan ikan kuah asam, walaupun orang Jawa Barat bilang, nasi lebih kabita untuk ayam lengkuas atau pepes oncom mereka.

Semoga tulisan ini membuat kita semua bahagia dengan apa pun yang kita kerjakan, bahkan menjadi mahir dan pakar dengan ‘our own onion’ – yang tidak dimiliki orang lain.

Itulah yang membuat kita dihargai lebih. Tidak perlu harus tergiur dengan kursi empuk di DPR atau menikmati kedudukan menteri dengan pelat mobil berawal “RI”.

Tidak perlu juga semua anak bercita-cita jadi presiden, karena presiden justru tergantung pada para petani yang mampu menjaga ketahanan pangan nasional, presiden juga butuh para tenaga kesehatan yang menjaga agar Indonesia tidak lagi masuk “tiga besar” penderita TBC terbanyak, presiden juga butuh para relawan yang merawat laut kita dari tumpahnya sampah.

Itu semua akan terwujud, hanya selama kita semua mampu menjadi yang terbaik dari diri kita sendiri.

https://lifestyle.kompas.com/read/2019/04/27/081500520/ketika-manusia-tak-bisa-melihat-versi-terbaik-dari-dirinya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke