Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ketika Menyusui Hanya Sekedar Memberi ASI

Sayang sekali, jika hak anak dipahami sebatas sandang, pangan, papan yang miskin makna.

Saat seorang ibu selama sembilan bulan dua minggu mengandung berusaha keras memenuhi kebutuhan gizi dirinya maupun bayinya, rangkaian ini mestinya tidak boleh terputus begitu sang bayi lahir, sebab seribu hari pertama si bayi baru lewat hampir sepertiganya saja.

Seribu hari kehidupan manusia yang merupakan tiang fondasi sekian puluh tahun ke depan yang akan dilaluinya di dunia.

World Health Assembly mencanangkan target dunia untuk menyusui ekslusif dengan angka 50% di tahun 2025.

Saat ini, Indonesia masih berada di angka 41%. Tapi jangan keburu bangga mengandaikan kita siap kejar mencapai 50% dalam 6 tahun ke depan. Angka 41% itu adalah cakupan pemberian Air Susu Ibu eksklusif, bukan “menyusu” ekslusif!

Padahal pemahaman asli dari istilah exclusive breastfeeding adalah tentang bayi yang langsung menyusu pada payudara ibunya. Bukan exclusive breastmilk.

Entah salah paham ini dimulai kapan dan oleh siapa, sehingga rentetan kekacauannya semakin ruwet.

Mulai dari ibu-ibu yang bangga memompa air susunya, mengumpulkan berbotol-botol dan berkantung-kantung ASI perahan, kemudian memamerkannya di Instagram.

Bagi yang sungguh memahami soal pemberian makan bayi dan anak, ini amat mengerikan dan mencengangkan.

Bagi yang punya bisnis perabotan perah susu ibu, tentu amat menyenangkan. Dan masalah baru muncul.

Mulai dari pertanyaan sampai kapan ASI perah bisa bertahan, baik di suhu ruangan, pendingin biasa atau kondisi beku. Hingga akhirnya soal bank ASI pun menyeruak – menjadi tantangan sementara kita belum siap dengan aturan.


Memberi ASI perahan sama sekali tidak sama dengan menyusui langsung bayi secara ekslusif.

Akibat menyusu ekslusif yang tidak adekwat ini, dari organisasi kemanusiaan Alive and Thrive yang salah satu pendananya adalah Bill & Melinda Gates Foundation, ditemukan data: kita menanggung 15 ribu kematian anak yang semestinya bisa dicegah dan lebih dari 9 juta kasus diare dan pneumonia.

Bukan itu saja, akibat bayi tidak disusui secara ekslusif, maka lebih dari 743 juta dolar Amerika (bayangkan!) diboroskan karena harus memberi susu formula.

Belum lagi, biaya sebesar 85 juta dolar juga terbuang hanya untuk mengongkosi pengobatan ibu dan bayi yang cenderung mudah sakit karena tidak disusui.

Di sisi lain, bayi yang tidak menyusu ekslusif di kemudian hari cenderung menjadi anak dengan risiko obesitas, dimana 62.408 kasus obesitas per tahun semestinya bisa dicegah.

Menyusu ekslusif tidak membutuhkan peralatan, mencegah diare, dan bayi mendapatkan kekebalan tubuh yang optimal dari ASI yang komposisinya selalu berubah setiap saat, walaupun dari ibu yang sama.

Nah, hal satu ini pun tidak semua ibu yang memberikan ASI cukup paham. Keistimewaan ASI yang tidak akan pernah bisa ‘dicontek’ susu formula adalah kandungan antibodi.

Bukan imbuhan DHA yang katanya bikin otak pintar, bukan probiotik yang katanya anti mencret, bukan pula antioksidan.

Di awal kehidupannya, bayi secara khusus harus terlindungi dulu dari penyakit akibat terpapar dengan dunia baru di luar kandungan ibunya. Dia tidak butuh mendadak belajar matematika atau sigap menangkap bola.

Selama 24 jam ASI punya komposisi yang fluktuatif. Sangat menyedihkan jika saya bertanya,”Ayo, jika terpaksa bekerja dan ibu harus perah ASI, dari sederet kantong ASI yang ada di kulkas, yang mana diberikan ke bayinya lebih dahulu?” Dan dijawab,”ASI yang paling lama disimpan...”

Begitulah jika otak terprogram seperti menyetok kaleng kornet dengan tanggal kadaluwarsa.


Padahal, yang bayinya butuhkan adalah ASI terbaru, di mana komposisinya paling pas sesuai dengan kebutuhan kondisi sang bayi.

Jadi, jika si bayi sedang terancam flu misalnya, maka ASI saat itu menyesuaikan diri dengan antibodi terbanyak untuk melawan flu.

Bukan ASI perahan tiga hari yang lalu. Apalagi, ASI hasil perah minggu sebelumnya.

Menyusui ekslusif memberi perlindungan bukan hanya terhadap bayinya, tapi juga ibu yang menyusui.

Salah satu penelitian yang diterbitkan oleh Journal of American Medical Association mengungkap, ibu terlindungi dari risiko diabetes melitus dengan semakin panjangnya rentang lama menyusui.

Di tengah ketakutan dunia terhadap makin banyaknya penyakit kanker, menyusui adalah salah satu upaya mencegah kanker baik bagi ibu maupun bayinya.

Alpha-lactabumin manusia (dikenal dengan singkatan HAMLET: Human Alpha-lactabumin Made LEthal to Tumor cells), sebagai fraksi protein yang saat ini gencar ditelisik sebagai penumpas kanker terdapat 22% dalam ASI, sementara susu sapi hanya mengandung 3.5% - dan itu pun tidak mempunyai karakter seperti alpha-lactabumin manusia.

“Memaksakan” kadar lactabumin yang direkayasa ke dalam susu formula sebagai proyek industri, kadang tak ubahnya seperti memaksakan rekayasa senyawa sejumlah rangkaian kimia untuk membuat berbagai unsur mineral akhirnya mampu meniru wanginya melati. Yang pasti, itu bukan melati asli.

Satu hal lagi yang membuat menyusui eksklusif berbeda dengan sekadar pemberian ASI perahan adalah soal istilah stimulasi tumbuh kembang bayi dan pola asuh.

Kontak mata, cara bayi meraih dan meraba, pergerakan kaki-tangan dan aktifnya panca indera mengenali tubuh ibu adalah hal yang tak mungkin tergantikan.

Stimulasi yang teraktivasi begitu seorang ibu belajar menyusui dengan benar. Menyusui manusia dengan benar butuh latihan, bahkan pendampingan. Itu yang membedakan kita dari mamalia lainnya.

Belajar untuk tidak panik saat bayi menangis, sekaligus tidak terintimidasi ocehan komentar nyinyir seakan jumlah ASI ibunya kurang. Karena lambung bayi baru lahir, toh hanya sebesar kelereng!

Itu awal pola asuh – yang sedang gencar-gencarnya dikampanyekan, tapi anehnya kebanyakan orang hanya mengerti sebatas peluk cium dan pendampingan saat anak belajar di rumah.

Jauh sebelum itu, pola asuh dimulai dengan ketekunan dan kesabaran seorang ibu memenuhi hak gizi anaknya.

Semangat seorang ibu yang selalu mau belajar dengan cara yang benar demi masa depan anak-anaknya.

Semoga Indonesia sudah cakap membedakan antara ASI eksklusif saja dan menyusu secara ekslusif. Sebab hasilnya beda sekali.

https://lifestyle.kompas.com/read/2019/07/26/074500320/ketika-menyusui-hanya-sekedar-memberi-asi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke