Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kemopreventif, Kemoterapi, Kemopaliatif: Mana yang Tepat?

Dari situ bukan hanya saya bisa menangkap jenjang nalar publik, tapi juga berbagai emosi yang tertuang: mulai dari rasa kecewa, marah, takut, hingga syak wasangka.

Sayangnya, media tidak mengulik lebih dalam – apalagi menjadikannya sebagai ajang edukatif yang bisa meningkatkan literasi dan pemahaman, ketimbang menuai ‘rating’.

Akhirnya semua riuh rendah hanya silih berganti, mengambang tak jelas, tinggal topik apa yang lebih seru mengisi.

Masih soal polemik temuan ramuan pembasmi kanker – penyakit tak kenal ampun yang merenggut nyawa menyisakan sengsara.

Ngeri sekali melihat tudingan publik bahwa temuan-temuan ‘herbal’ sengaja dibiarkan terlantar, karena supremasi farmasi dan ilmu kedokteran yang pantang digoyang.

Beberapa petinggi berusaha untuk menjelaskan, bahwa sebelum gegabah menyebut akar batang daun dan getah dianggap sebagai obat kanker, perlu adanya tahapan-tahapan penelitian berjenjang untuk bisa menegakkan klaim ‘ini obatnya’.

Bahkan, percobaan pada hewan harus ditingkatkan pada populasi sampel manusia, demi menemukan dosis efektif, dosis aman, dosis toksik hingga lethal – alias berujung mematikan.

Jangan dikira obat-obatan kemoterapi yang saat ini dikenal awam sebagai ‘obat kimia’ tidak melalui proses panjang itu. Bahkan tantangannya lebih berat.

Seperti kita bicara soal bawang merah dan air kelapa hijau yang katanya ‘obat turun panas’. Nah, jika demamnya hanya karena flu, tanpa bawang merah dan air kelapa pun suhu tubuh akan turun sendiri, jika virusnya pergi karena daya tahan tubuh dijaga tetap baik – dengan istirahat cukup dan memilih makanan sehat.

Tapi bayangkan jika demamnya bukan karena flu, tapi infeksi tifus misalnya. Mana bisa bergantung dengan bawang merah dan air kelapa hijau?

Yang ada tahu-tahu penderitanya mengigau dan usus halusnya pecah dengan risiko infeksi ke seluruh tubuh menyebar melalui darah, disebut sepsis dan berakibat kematian.


Nah, masalah terbesar dengan penanganan kesehatan tradisional Indonesia adalah unsur ketiadaannya penatalaksanaan pemeriksaan yang membuat orang bisa menjelaskan sakitnya apa, sumbernya dari mana dan kenapa orang bisa sakit – sebelum lompat ‘obatnya apa’.

Akhirnya para pengobat tradisional mau tak mau meminjam tata laksana diagnostik ilmu kedokteran barat untuk bisa bicara ‘benjolan ini apa?’. Tumor jinak? Kista? Kanker? Atau untuk menjelaskan demamnya datang ‘disebabkan oleh apa’.

Kadang saya jadi ngeri sendiri melihat orang-orang yang sembarang membeli jamu atau rempah-rempah yang dihubung-hubungkan sebagai obat.

Zaman saya kecil, nyeri ngilu sendi paling hanya disebut sebagai rematik. Tapi sekarang begitu banyak jamu ditujukan untuk mengobati ‘asam urat’.

Baik penderita maupun tukang jamunya saja tidak paham apa itu asam urat. Lebih parah lagi, dikira uratnya yang sakit karena ototnya terlalu mengeluarkan asam (sungguh, saya pernah mendengar pasien mendapat penjelasan begitu dari ‘dukun’nya).

Padahal, asam urat tidak ada hubungannya sama sekali dengan otot dan urat/tendon. Melainkan terjemahan dari bahasa asing uric acid – yang dibahasakan dengan akhiran ‘at’, seperti cuka dapur – acetic acid – jadi asam asetat.

Lebih konyol lagi, sang tukang jamu tidak paham metabolisme asam urat. Apalagi jika munculnya kelebihan asam urat diakibatkan karena penyakit pendahulunya: darah tinggi atau diabetes.

Urusan bumbu dapur dan berbagai akar serta batang untuk duduk sejajar sebagai kemoterapi, tentu masih amat jauh sekali.

Barangkali lebih bijak jika berbagai kandungan antioksidan dan polifenol di dalamnya ditempatkan sebagai kemo-preventif. Yang memang amat kita butuhkan di masa sekarang ini. Mencegah sebelum kejadian.

Itu sebabnya makan kari dengan bumbu kunyit dan daun salam jauh lebih sehat ketimbang saus mayones di atas sushi.

Minum teh sereh sore hari ditemani pecel mlanding – petai cina yang sudah mulai sirna itu – dan kembang turi jauh lebih berharga daripada ngopi-ngopi kekinian penuh cairan kimia manis bernama high fructose corn syrup.

Amat disesalkan jika kita sibuk mencari ‘obatnya apa’ untuk semua penyakit yang bermunculan di era ini, sementara sabotasenya masih jalan terus bahkan mengalami pembiaran, jika terlalu vulgar untuk disebut dikipas-kipasi sebagai terobosan bisnis anak muda.


Upaya memerangi obesitas, diabetes, hipertensi, sindroma metabolik dan kanker akan menemui jalan buntu jika tidak dibarengi pemahaman utuh tentang kebutuhan tubuh, bukan kecanduan sesaat.

Saat kanker sudah menyerang, tidak ada yang lebih evidence based selain tindakan kedokteran.

Tindakan kedokteran pun akan dipilih sesuai dengan jenis kankernya, tahapan keganasannya serta kondisi pasiennya.

Pilihan operasi, kemoterapi, radiasi, bukan didasari oleh tebak-tebakan si dokter. Penentuan tindakan pun ada ‘aturan main’ – yang dapat dipertanggungjawabkan, karena jauh sebelumnya berbagai tindakan itu telah melalui prosedur metodologi ilmiah yang menjelaskan perbedaan signifikan dibandingkan dengan tindakan yang lain.

Sementara daun akar batang dan getah baru diketahui hanya memiliki kemampuan ‘inhibisi’ alias menghambat pertumbuhan sel sekian persen, kemoterapi yang sesungguhnya mampu ‘membabat’ sel, bahkan meningkatkan kemampuan apoptosis atau bunuh diri sel.

Kanker adalah situasi saat sel-sel ganas secara destruktif cepat memperbanyak diri dan memperluas kerusakan jaringan – jadi penanganan agresif kerap dibutuhkan.

Perbaikan pola makan, gaya hidup atau sejenisnya ibaratnya kecepatan sepeda onthel yang melawan girasnya ferrari.

Bukan berarti tidak penting, tapi dengan kemoterapi yang tepat maka pola makan dan gaya hidup sehat bisa bersanding untuk menjadi bahan baku proses pemulihan, mencegah efek samping kemoterapi.

Bahkan, melindungi tubuh untuk tidak mengulangi lagi alias kumatnya kejadian kanker saat penderitanya sudah memproklamirkan diri sebagai penyintas.


Informasi simpang siur saat penderita kanker meninggal selagi mendapatkan perawatan dokter, akhirnya memberi citra buruk bagi kemoterapi.

Sebab ada istilah kemo-paliatif yang tidak banyak diketahui apalagi dipahami awam.

Jenis pemberian obat tidak untuk mengobati kankernya. Melainkan hanya untuk memerbaiki kualitas hidup penderita saat sel kanker sudah terlalu menyebar di tahapan lanjut, atau stadium akhir.

Karenanya, pada tindakan paliatif, obat kemo hanya diberi sekian persen saja dibandingkan dosis ‘kemo-terapi’.

Cepat atau lambat, pasien memang akan meninggal dengan kondisi yang sudah seperti itu. Tapi apabila keluarga atau awam masih berharap kemo paliatifnya adalah ‘kemoterapi’, maka tak heran kekecewaan saat penderita meninggal menyisakan komentar-komentar buruk seputar kata ‘kemo’.

Hingga hari ini, diagnosa kanker tetap menjadi momok bagai halilintar keras di siang hari bagi siapa pun.

Fokus kita sudah saatnya menjadi berimbang. Bukan hanya soal penemuan obatnya apa, tapi semua kontributor penyebabnya harus dilibas.

Mulai dari makanan dan minuman yang tidak dibutuhkan tubuh, polusi, rokok, hingga pernikahan usia dini.

Semua itu faktor yang dibuat manusia sendiri. Hanya kurang dari sepuluh persen yang kita serahkan pada nasib dan bawaan genetik.

https://lifestyle.kompas.com/read/2019/09/01/104557520/kemopreventif-kemoterapi-kemopaliatif-mana-yang-tepat

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke