Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Burgreens, Kisah Panjang Soal Penyakit dan Kemenangan Gaya Hidup Sehat

Dulu, Helga mengalami masalah alergi yang dideritanya selama belasan tahun.

Saat itu, ia memiliki penyakit asma, sinusitis, dan eksim yang dipicu oleh makanan, debu, dan pendingin ruangan.

Konsumsi obat-obatan terus menerus selama 15 tahun membuat organ hati Helga membengkak.

Apalagi, rutin mengonsumsi obat-obatan lama kelamaan membuat tubuhnya resisten, sehingga obat yang dikonsumsi harus semakin kuat.

Kondisi itu membuat Helga mencari alternatif pengobatan lain yang lebih alami dan tanpa efek samping.

Sejumlah literatur ia pelajari hingga akhirnya menemukan pola hidup berbasis nabati, termasuk menghindari daging dan produk susu.

Ia pun mencoba anjuran pola hidup nabati dari literatur yang dibacanya. Akhirnya, setelah dua tahun masalah kesehatan yang dialaminya perlahan hilang.

"Asma dan sinusitisku hilang, eksim jadi lebih mild. Kalau dulu kambuhnya setiap hari, sekarang mostly hilang kecuali kalau terpicu, muncul tapi sangat mild dibanding dulu."

Hal itu diungkapkan Helga di sela diskusi bertema perubahan iklim di Pusat Kebudayaan Italia di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Helga sudah menjalani hidup sebagai vegetarian selama 14 tahun, dan vegan selama enam tahun terakhir.

Sang suami yang juga founder Burgreens, Max Mandias, turut menjalani pola hidup vegan.

Namun, jalan itu dipilih bukan karena mengikuti sang istri, melainkan alasan kesadaran lingkungan.

"Aku duluan dan dia bukan vegetarian karena aku, tapi karena lingkungan. Dia menemukan report UN (United Nations - Perserikatan Bangsa-Bangsa) lalu dia merasa kenapa cinta lingkungan tapi merusak lingkungan di saat yang sama, jadi dia off."

Begitu cerita perempuan yang pernah masuk 30 under 30 Asia majalah Forbes.

Diawali dengan tiga menu makanan, kini Burgreens sudah memiliki total 50 menu dan sembilan outlet, serta bekerja sama dengan 400 petani dari 20 komunitas petani dari seluruh Indonesia.

Proses trial-error alias coba-coba menu dilakukan keduanya selama enam bulan saat masih tinggal di Belanda.

Menu pertama yang dicoba adalah mushroom burger yang setiap hari mereka masak untuk teman-teman satu kos.

Kini, Max Mandias yang juga executive chef di Burgreens bereksperimen mencoba menu baru setiap minggunya.

Bahan-bahan yang paling sering digunakan oleh Burgreens antara lain jamur, kedelai, nanas, pisang, dan lainnya.

Tak hanya bereksperimen dengan kreasi menu makanan, mereka juga bereksperimen dengan rasa.

Sehingga, bahan-bahan makanan yang dianggap kurang sehat bisa digantikan bahan lainnya.

Misalnya, mengganti saus tiram di salah satu menu dengan jus nanas.

"Kami coba gimana caranya mendekonstruksi dari bahan enggak sehat, kami ganti. Nah, kemarin kami ketemu bahwa jus nanas bisa menggantikan saus tiram," tutur Helga.

Namun, bukan berarti bisnis Burgreens tak menemui berbagai tantangan dalam perjalanannya selama enam tahun beroperasi.

Helga mengatakan, tiga tahun pertama Burgreens melakukan edukasi pasar. Sebab, saat itu masih banyak masyarakat yang menganggap harga makanan berbahan dasar nabati terlalu mahal.

"Rata-rata customer tanya, kok sayur mahal? Kenapa organik? Kenapa plant-based? Emangnya good enough nutrition?" kata Helga menirukan pertanyaan para pelanggannya saat itu.

Pada tahun ketiga, kesadaran pasar terhadap makan sehat sudah mulai terbentuk.

Tantangan yang saat itu dihadapi Burgreens berubah menjadi tantangan mengatur sistem, membangun tim yang bisa mengembangkan bisnis agar kualitas terjaga, hingga rantai suplai.

"Supply chain itu selalu jadi on and off challenge buatku. Karena kami lebih dari 50 persen bahan ambil langsung dari petani," kata dia.

Salah satu masalah yang dihadapi adalah pola kerja petani yang saat itu belum biasa bekerja dengan pola profesional dan konsisten.

"Dulu awal-awal mereka bisa H-1 gagal panen baru ngabarin kami, duh besok gue mau jual apaan."

"Jadi akhirnya kami bikin sistem karena itu lumayan challenging," kata Helga.

"Banyak banget (perubahan), dan aku happy banget karena sekarang banyak orang yang peduli terutama milenial," kata dia.

Jika kelompok orang tua sadar karena ada latar belakang penyakit tertentu, milenial sadar karena belajar dari kondisi kesehatan orang-orang tua di sekitarnya.

"Mereka tahunya bahwa itu dimulai dari pola makan yang terakumulasi dalam jangka panjang, mereka enggak mau seperti, misalnya, orangtua mereka yang sakit kanker, jantung," ucap Helga.

Tak murah

Helga mengakui, harga menu-menu makanan Burgreens memang tidak murah.

Namun, tak sedikit anak-anak muda yang rela menyisihkan uang untuk membeli menu Burgreens, demi mendukung bisnis yang mendukung keberlangsungan lingkingan.

"Banyak lho milenial yang beli, support Burgreens sebulan sekali karena buat uang saku mereka mungkin enggak bisa beli setiap hari."

"Tapi mereka dukung bisnis kayak gini karena peduli lingkungan," kata Helga.

"Aku percaya, milenial hanya butuh arahan dan motivasi untuk membuat perubahan karena mereka sebetulnya lumayan care tentang dunia," sambung dia.

https://lifestyle.kompas.com/read/2019/10/07/090153420/burgreens-kisah-panjang-soal-penyakit-dan-kemenangan-gaya-hidup-sehat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke