Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengapa Harus Pakai Sepeda "Semahal" Brompton, Tren atau Kebutuhan?

Di masa itu, banyak orang "menjelma" menjadi pesepeda tangguh dengan sepeda single speed dan rem doltrap.

Disebut tangguh, karena sebenarnya, sepeda ini memang diperuntukkan bagi mereka yang mahir dan memiliki fisik yang prima.

Di Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa, sepeda jenis ini dipakai oleh para bike messenger untuk melaju kencang di tengah kemacetan kota.

Selain hanya menggunakan gir tunggal, rem doltrap juga membutuhkan keahlian khusus.

Sebab, saat harus mengerem, kaki harus kuat menahan laju putaran pedal-tanpa tuas rem di tangan.

Kendati demikian, tren fixie sempat booming di Indonesia, khususnya Jakarta.

Rentang harga yang lebar, mulai dari yang paling murah hingga berharga mahal, memungkinkan sepeda ini menjangkau banyak kalangan.

Tapi, toh ternyata tren ini tak bertahan lama. Kini, kian jarang ditemukan para pengendara fixie berseliweran di jalan-jalan Ibu Kota.

Kalaupun masih ada, dapat dipastikan mereka adalah orang-orang berfisik kuat dan pesepeda sejati.

Demam sepeda lipat

Nah, sekarang ketika tren fixie menguap, Indonesia kini sedang mengalami demam sepeda lipat. Salah satu merek yang memiliki kelas tersendiri adalah Brompton.

Sepeda buatan tangan yang hanya diproduksi di Inggris itu menjadi pilihan para pesepeda "berduit" di kota-kota besar Indonesia. 

Sebagai gambaran, varian termurah yang dijual di salah satu toko sepeda di kawasan Senayan, Jakarta-misalnya, sudah menyentuh harga Rp 28 juta, untuk spesifikasi menengah.

"Stoknya kosong, Pak, habis terus. Itu barusan ada yang cancel, trus bapak itu lihat langsung dibayar, harga yang itu Rp 32 juta," ujar salah satu penjaga toko One Bike di STC Senayan, beberapa waktu lalu.

Kini kehebohan "demam Brompton" seperti memuncak, ketika merek itu disebut bersama suku cadang motor Harley Davidson sebagai barang yang diselundupkan dalam pesawat Garuda Indonesia.

Di negara asalnya, sepeda ini dibanderol sekitar Rp 30 juta. Dalih biaya pengiriman dan sejenisnya diyakini membuat harga itu membengkak saat sampai di Jakarta.

Meski begitu, pasar Indonesia tetap mampu menyerapnya. Pasokan yang minim dan permintaan yang tinggi membuat pedagang leluasa memasang harga, dan tetap laris manis.

Apa istimewanya Brompton?

Harga yang tinggi tentu lazimnya menawarkan keunggulan. Lantas bagaimana dengan Brompton?

Pengusaha muda asal Jakarta, Krisna Sudiro, mengatakan, keistimewaan Brompton yang dia rasakan sejak menggunakannya pada tahun 2012 adalah soal lipatan.

"Banyak sepeda lipet, gue juga pernah pake yang lain ya, tapi yang lipetannya paling sempurna ya Brompton, ringkes, enteng, enak dibawa ke mana-mana," kata dia.

Krisna mengaku tidak membeli Brompton buat bergaya. "Gue beli sejak tahun 2012, waktu itu belom banyak yang pake," kata dia.

"Gue saat itu mikir, gue butuh sepeda yang bisa dilipet dan gampang dimasukin mobil. Karena waktu itu gue belom bisa sepedahan jauh kan," sebut dia.

Pengakuan senada diungkapkan, Dhani Pattinggi, seorang partner di firma hukum Hiswara Bunjamin & Tandjung, Jakarta.

"Saya beli sepeda Brompton sejak awal tahun 2018," kata lelaki berusia 43 tahun ini.

"Alasannya simpel saja, di umur yang semakin 'dewasa', saya sadar akan perlunya olahraga yang dapat membuat badan fresh mengingat 'kurang sehatnya aktivitas pekerjaan sehari-hari'," sambung dia.

Untuk kebutuhan itu, Dhani merasa Brompton adalah pilihan tepat. Sepeda ini dirasa sangat praktis untuk dilipat dan dijinjing.

"Salah satu filosofi Brompton adalah 'one way cycling' - jadi kalo kita udah mencapai target jarak yang ingin ditempuh, misalnya 20-30 kilometer, saya tinggal lipet sepedanya, dan panggil taksi untuk pulang ke rumah," kata Dhani sambil tertawa.

Tentang kenyamanan memakai Brompton, Dhani berpendapat, sepeda Inggris ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan folding bike lain.

"Menurut saya, tidak jauh berbeda. Tetapi, satu hal yang menjadi keunggulan Brompton, sepeda ini sangat simpel pada saat dilipet dan dijinjing dan tidak terlalu berat," kata penguna Brompton seri M6LA Black Titanium ini.

Berbeda dengan Krisna, dia merasa ada rasa yang lebih nyaman dari Brompton.

"Gue pernah pake merek lain, tapi pas nyoba Brompton, gue rasa gir-nya, handling-nya, itu enak banget sih, elu gak capeklah," cetus Krisna.

Krisna pun berpandangan serupa. "Sekarang ini nih, Brompton makin terkenal nih, semua orang beli Brompton," kata dia.

"Apalagi ada kasus Garuda, lalu disebut sepeda mewahlah, apalah, wah orang makin tahu," sambung dia.

"Makanya gue perhatiin tuh, mereka yang punya sepeda karena ikutin tren, pasti pilihnya CPT3 (edisi khusus Brompton) atau Explore yang sekarang lagi heboh," cetus Krisna.

Padahal, semua varian Brompton menggunakan konstruksi dan material yang sama. "Cuma Brompton-nya pinter, bikin edisi inilah, edisi itulah, terus harganya bisa beda jauh."

"Itu CPT3 bisa sampe segitu harganya, padahal dapet spakbor juga enggak, beda di warna dan sadel. Ya, sadel mah bisa beli sendiri," kata dia.

Atas pengamatan itu, Krisna memandang tak jarang mereka yang membeli Brompton memang hanya termakan tren.

"Kalo gue kan emang seneng sepedahan. Dulu dibilang beruang sirkus kerena naek sepeda kecil, bodo amat," sebut Krisna.

Hanya saja, bedanya dengan tren fixie yang kini lenyap, Krisna merasa meski tren Brompton nanti meredup, sepeda tersebut akan tetap disimpan.

"Orang akan simpen bro, karena kan bentuknya kan kecil dan ringkes, jadi orang akan simpen sih menurut gue."

"Pokoknya, di Indonesia itu asal mahal pasti jadi tren," cetus dia.

https://lifestyle.kompas.com/read/2019/12/06/131453220/mengapa-harus-pakai-sepeda-semahal-brompton-tren-atau-kebutuhan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke