Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pria Korban Perkosaan Alami Trauma yang Lebih Besar

Kasus perkosaan terhadap ratusan pria di Inggris yang dilakukan oleh terpidana Reynhard Sinaga, tentu membuat banyak pihak kian menyadari bahwa hal itu bisa terjadi pada siapa pun.

Tak peduli berapa usianya, apa orientasi seksualnya, atau identitas sosialnya.

Pria korban perkosaan mungkin memiliki perasaan yang sama dengan korban perempuan. Namun, trauma yang dirasakan bisa lebih besar daripada yang diduga.

Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel menjelaskan, menjadi korban kejahatan pada dasarnya menyedihkan dan -pada beberapa kasus, seperti kejahatan seksual, terasa memalukan.

Itulah sebabnya, banyak korban memilih tak melaporkan kejadian yang dialaminya.

Di sisi lain, sosok pria kerap dipandang lebih unggul, baik secara fisik, psikis maupun sosial.

Situasi inilah yang menyebabkan pria korban bisa mengalami efek traumatis yang jauh lebih besar.

"Gabungkan situasi lelaki menjadi korban kejahatan seksual. Efek traumatisnya tentu lebih tinggi."

"Tekanan tidak hanya datang dari pengalaman dijahati secara seksual, tetapi juga dari 'kodrat' selaku jenis kelamin unggul."

Begitu penjelasan Reza melalui pesan singkat yang diterima Kompas.com, Selasa (7/1/2020).

Pesan senada juga disampaikan dalam sebuah artikel berjudul "Sexual Assault of Men and Boys" pada laman Rainn.org.

Dituliskan, pria kemungkinan merasakan pengalaman berbeda lainnya ketika menjadi korban perkosaan.

Beberapa pria yang selamat dari kejahatan seksual di usia dewasa seringkali merasa malu atau ragu pada dirinya.

Mereka menilai dirinya seharusnya "cukup kuat" untuk melawan pelaku. Mereka juga mungkin merasakan "kurang menjadi seorang pria", atau merasa tak punya kontrol atas tubuhnya sendiri.

Banyak pria yang juga mengalami ereksi atau ejakulasi selama penyerangan mungkin bingung dan bertanya-tanya atas reaksi tersebut.

Respons fisiologis tersebut normal dan sama sekali tidak menyiratkan bahwa korban menginginkan, mengundang, atau menikmati serangan itu.

Maka, korban -dengan bantuan orang-orang terdekat harus dibantu untuk mengetahui bahwa keadaan tesebut bukan kesalahannya, dan dia tak sendiri.

Cenderung tidak melapor

Pria korban perkosaan juga cenderung tidak melapor. Setidaknya hal itu disebutkan dalam sebuah jurnal berjudul "Male Rape: The Silent Victim and the Gender of the Listener".

Jurnal ini ditulis oleh Patrizia Riccardi, MD dari Departemen Psikiatri, Mercer University, Georgia pada 2010.

Jurnal yang diterbitkan melalui National Center for Biotechnology Information (NCBI) itu merilis salah satu studi terkait yang mendalami wanita dan pria korban perkosaan di lingkungan tentara Amerika Serikat.

Studi tersebut berjudul "Prevalence and timing of sexual assaults in a sample of male and female US Army soldiers" dan diterbitkan pada 1998.

Kisah-kisah pribadi perkosaan pria mungkin sama dengan kisah perkosaan pada korban wanita.

Seperti rasa malu, penghinaan dan menyalahkan diri sendiri. Namun, lebih kecil kemungkinannya korban pria melaporkan kejahatan tersebut.

Empat pria korban perkosaan yang diteliti memiliki salah satu kesamaan, yaitu khawatir indentitas maskulinnya dipertanyakan, karena mempunyai pengalaman sebagai korban kejahatan seksual.

Salah satu dari mereka mengatakan tak pernah mengungkapkan hal itu kepada istrinya selama 30 tahun. Keempatnya juga memilih untuk tidak mengungkapkan pada psikiater pria.

Riccardi menilai, penanganan pria korban perkosaan sebaiknya dimulai dengan eksplorasi terhadap kepercayaan kita di masyarakat tentang perkosaan terhadap pria.

Selain itu, dia menilai perlu ada eksplorasi lebih lanjut apakah jenis kelamin pihak yang mendengarkan memiliki pengaruh terhadap keengganan para pria korban perkosaan untuk melapor.

Hal ini menurut dia, dapat membantu mengidentifikasi jumlah pria yang menjadi korban kekerasan seksual, serta memungkinkan melakukan perencanaan layanan klinis dan strategi konseling yang tepat untuk mendukung pemulihan korban.

Sementara itu, Reza Indragiri menilai perlu ada beberapa hal yang dilakukan.

Salah satunya rehabilitasi lewat hukum, di mana pelaku-pelaku kejahatan seksual perlu dijatuhi hukuman seberat-beratnya, dan membayar restitusi kepada korban.

Selain itu, baik korban pria atau wanita, didorong untuk lebih berani melaporkan diri ketika menjadi korban kejahatan seksual.

Namun, menjadi pekerjaan rumah bagi pihak Kepolisian untuk menyediakan ruang lebih bagi para korban yang melapor.

"Persoalannya, di kantor polisi cuma tersedia Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA)."

"Korban lelaki, baik kejahatan seksual maupun KDRT, bisa datang ke mana? Apakah personel polisi siap melayani mereka tanpa bias?" tulis Reza.

https://lifestyle.kompas.com/read/2020/01/07/150320320/pria-korban-perkosaan-alami-trauma-yang-lebih-besar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke