Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengapa Finlandia dan Denmark Jadi Negara Paling Bahagia di Dunia?

KOMPAS.com - Setiap tahun, sekelompok pakar kebahagiaan dari seluruh dunia memberi peringkat pada 156 negara berdasarkan seberapa bahagia warga negara tersebut, lalu mereka memublikasikan temuan mereka dalam World Happiness Report.

Walau kebahagiaan tampak seperti konsep yang sulit dipahami, ada ilmu di dalamnya.

"Ketika peneliti berbicara tentang kebahagiaan, mereka merujuk pada kepuasan dengan cara hidup seseorang," kata Jeff Sachs, co-creator World Happiness Report dan profesor di Colombia University, kepada CNBC Make It.

"Ini bukan ukuran utama apakah sesorang tertawa atau tersenyum kemarin, namun bagaimana perasaan tentang jalannya kehidupan seseorang."

Sejak laporan itu dimulai pada tahun 2012, negara Nordik yang meliputi Denmark, Norwegia, Swedia, Finlandia, Islandia, Kepulauan Faroe, Greenland, dan Aland secara konsisten muncul di bagian atas daftar. Di sisi lain, Amerika Serikat menempati posisi ke-18 atau ke-19.

Pada 2019, Finlandia ada di peringkat pertama untuk tahun kedua secara berturut-turut. Norwegia meraihnya di tahun 2017.

Denmark menempati peringkat pertama pada 2013 dan 2016, dan Swiss di tahun 2015.

Ini bukanlah kebetulan. Negara-negara Nordik menempati peringkat sangat tinggi dalam laporan kebahagiaan, karena mereka memiliki hal-hal positif, seperti pendidikan gratis dan perawatan kesehatan, tingkat kejahatan rendah, jaminan sosial yang nyaman, populasi yang relatif homogen, dan mereka makmur.

"Negara-negara ini memprioritaskan keseimbangan, yang merupakan formula untuk kebahagiaan," ucap Sachs.

"Mereka bukan masyarakat yang melakukan segala upaya dan waktu agar menjadi miliarder, tapi mencari keseimbangan hidup yang baik dan hasilnya sangat positif."

Beginilah orang-orang di negara-negara Nordik menemukan keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan.

"Apa yang ditunjukkan sains adalah bahwa satu hal yang membuat kita bahagia, yaitu memiliki sedikit waktu lebih banyak," tutur Laurie Santos, profesor psikologi di Yale yang mengajar The Science of Well-Being, kepada CNBC Make It.


Satu minggu kerja penuh waktu di Denmark biasanya 37 jam yang tersebar selama lima hari.

Sementara, rata-rata orang Amerika bekerja 44 jam per minggu, atau 8,8 jam per hari, menurut Bureau of Labor Statistics.

Tetapi yang paling mengejutkan adalah sikap orang-orang Denmark terhadap jam kerja yang panjang.

Ketika banyak orang Amerika melihat bekerja lembur sebagai lencana kehormatan dan cara untuk maju, di Denmark hal itu dipandang sebagai kelemahan, yang menunjukkan bahwa kita tidak bisa menyelesaikan pekerjaan dalam waktu yang ditentukan, kata Kay Xander Mellish, konsultan bisnis dan penulis How to Work in Denmark.

Sebagian besar karyawan Denmark meninggalkan pekerjaan sekitar pukul empat sore, menurut Ministry of Foreign Affairs of Denmark.

"Ada perasaan bahwa pekerjaan itu penting dan kita harus menyelesaikannya dengan kualitas tinggi, namun kita juga perlu memastikan semuanya tetap seimbang dan tepat," ujar Alex Calvert, seorang ekspatriat yang telah tinggal di Kopenhagen selama tujuh tahun bersama istri dan kedua anaknya.

Mellish menyebut, agar seefisien mungkin, orang Denmark tidak benar-benar bersosialisasi di tempat kerja, atau beristirahat dari menjalankan tugas.

"Kita mungkin berada di sana hanya 7,5 jam, tapi kita bekerja sepanjang waktu," kata dia.

Ia menambahkan, waktu luang adalah hal terpenting yang mereka miliki, sehingga jarang orang Denmark bergaul dengan rekan kerja setelah jam kerja selesai.

Pengaturan kerja yang fleksibel juga umum. Sebagai contoh, Saara Alhopuro, yang bekerja sebagai diplomat di Helsinki, Finlandia.

Ia mengatakan bahwa ia hanya masuk kantor tiga kali seminggu. Dia diperbolehkan bekerja jarak jauh satu hari dalam seminggu, kemudian menghabiskan waktu luang dengan mengerjakan hobinya, yaitu memotret jamur.

Bahkan di Finlandia, karyawan memiliki hak untuk menggeser hari kerja mereka tiga jam lebih awal atau lebih lambat dari persyaratan atasan mereka.


Liburan berbayar adalah jaminan

Di Denmark, karyawan penuh waktu mendapat jaminan lima minggu waktu liburan berbayar, terlepas dari posisi atau bidang pekerjaan mereka.

Rata-rata pekerja Amerika dengan lima tahun pengalaman kerja diberikan 15 hari libur berbayar, menurut Bureau of Labor Statistics.

Namun, Amerika Serikat tidak memberikan kebijakan liburan berbayar federal.

Menurut sebuah studi di tahun 2019, 23 % orang Amerika tidak menerima liburan berbayar, dan 22 % tidak mendapatkan liburan berbayar.

Selain itu, hanya 41 % pekerja di Amerika yang merasa tempat mereka bekerja mendorong karyawan untuk mengambil cuti, menurut Psychological Association.

Survei telah menunjukkan, lebih dari 55 % orang Amerika tidak menggunakan semua waktu berbayar mereka.

Itu tidak terjadi di Denmark, menurut Mellish. "Orang-orang mengambil setiap jam dari waktu luang mereka."

"Jika kamu mencoba menghubungi seseorang di Denmark dan Swedia pada akhir Juli atau Agustus, mereka kemungkinan besar sedang pergi menikmati waktu liburan mereka," kata Sachs.

Di Finlandia, banyak orang menghabiskan musim panas mereka di pondok yang disebut "mokki", di mana mereka bersantai dengan teman dan keluarga.

Berlawanan dengan keyakinan umum, memberi waktu luang bagi diri kita dapat meningkatkan produktivitas kita daripada menguranginya, ucap Santos.

Undur Diri atau Cuti Saat Stres

Christina Konig Koehrsen, mahasiswa seni dari luar Kopenhagen mengatakan bahwa ia meninggalkan pekerjaannya di bidang iklan selama delapan bulan karena stres, dan itu tak membuatnya bahagia.

"Pekerjaan itu tidak membiarkan saya memiliki keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan yang sangat kami hargai di sini," ujar dia.

"Dan juga kami memiliki sistem yang memungkinkan saya keluar dari pekerjaan dan ada waktu berpikir untuk mencari tahu apa langkah selanjutnya dalam hidup saya."

Selama waktu itu, Konig Koehrsen mendapat 2.000 dollar AS sebulan dari pemerintah Denmark.


Ditambahkan Mellish, orang-orang biasanya melakukan stress leave atau cuti stres ketika segala sesuatunya begitu buruk di tempat kerja, sehingga memengaruhi kesehatan mental mereka.

Stres bisa menjadi pembunuh karier, dia membandingkannya dengan kecacatan tingkat rendah.

Jaringan keamanan antara pekerjaan di sana adalah bagian dari model pasar tenaga kerja Denmark yang fleksibel, memungkinkan bisnis menjadi fleksibel dan orang-orang mendapat keamanan dari pemerintah.

Di bawah model tersebut, sangat mudah bagi perusahaan untuk memecat dan mempekerjakan orang.

Di sisi lain, karyawan dapat membayar biaya (rata-rata 62,54 dollar AS per bulan) ke dana asuransi pengangguran jika mereka kehilangan pekerjaan dan memenuhi persyaratan tertentu (seperti penghasilan minimum dan peryaratan), menurut Ministry of Foreign Affairs.

Pemerintah juga menyediakan pendidikan dan konseling untuk membuat orang kembali bekerja.

Konig Koehrsen, misalnya, sekarang melanjutkan sekolah untuk menjadi pelukis dan menerima tunjangan pendidikan 1.000 dollar AS per bulannya dari pemerintah.

Dikatakan Sachs, kebebasan adalah nilai lain yang penting dalam masyarakat, dan menentukan kesejahteraan seseorang.

"Bisakah kamu membentuk hidup seperti yang kamu inginkan, jika kamu terjebak oleh kemiskinan atau hutang? Jawabannya adalah tidak."

"Jika kamu memiliki kesempatan untuk mengejar kehidupan yang kamu inginkan, jawabannya iya. Itu membuat orang jauh lebih bahagia."

Di mana pun kita tinggal, penelitian menunjukkan bahwa menemukan pekerjaan yang benar-benar memetakan nilai-nilai kita, bisa membuat kita lebih bahagia, kata Santos.

"Menemukan kekuatan khas, itu satu hal besar yang dapat kamu lakukan," ujar dia.

https://lifestyle.kompas.com/read/2020/01/10/175828120/mengapa-finlandia-dan-denmark-jadi-negara-paling-bahagia-di-dunia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke