Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Hal Sepele Pemicu Pertengkaran dengan Pasangan yang Perlu Dihindari

KOMPAS.com - Perdebatan dan pertengkaran dalam hubungan adalah hal biasa. Namun, ketika terjadi masalah yang sama berulang-ulang dan berlarut, artinya kamu perlu mencari solusi yang tepat.

Penyebab umum pasangan bertengkar tidak hanya karena masalah kesetiaan atau pengasuhan anak (ketika sudah menikah).

Menurut pakar hubungan dan konselor pernikahan dari New York, Rachel Sussman, ada beberapa hal sepele yang juga bisa memicu pertengkaran, seperti tugas rumah tangga atau media sosial.

Ia menambahkan, pertengkaran seringkali bukan hanya karena topik itu sendiri, melainkan dari kurangnya komunikasi antar-pasangan.

"Jika kamu adalah seseorang dengan skill komunikasi yang buruk, bisa saja ketika pasanganmu membahas sesuatu kamu akan berakhir defensif atau mulai membalas."

"Artinya, apapun yang diperdebatkan, bisa terjadi eskalasi yang berakhir dengan pertengkaran hebat," katanya.

Sussman menyebutkan beberapa hal sepele di kehidupan rumah tangga yang bisa memicu pertengkaran antar-pasangan, yang jika dibiarkan berpotensi memicu keretakan hubungan.

1. Bertengkar ketika salah satu merasa lebih berkomitmen

Banyak klien Sussman yang berkonsultasi mengenai komitmen dengan pasangannya, terutama bagi pasangan yang belum menikah.

Biasanya, Sussman mengatakan, salah satu merasa lebih serius berkomitmen daripada pihak lainnya. Mereka merasa pasangan mereka tidak memberikan komitmen yang sama.

2. Tugas rumah tangga

Pada kehidupan rumah tangga, pertengkaran yang cukup sering terjadi berkaitan dengan tugas rumah tangga. Salah satu pihak merasa memiliki beban lebih besar daripada pihak lainnya, biasanya pihak istri.

Faktanya, di era modern ini banyak perempuan menikah yang menghabiskan lebih banyak waktunya untuk bekerja. Dengan beban pekerjaan di kantor dan di rumah, tentu banyak ibu yang kewalahan jika pasangannya tidak ikut membantu.

Para ibu menghabiskan 16 jam lebih dalam seminggu untuk pekerjaan yang dibayar daripada 50 tahun yang lalu. Namun, empat jam lebih banyak dalam seminggu untuk pengasuhan anak.

3. Media sosial

Sussman mengatakan, di era digital ini ia melihat banyak keluhan pasutri yang terkait kebiasaan mengakses media sosial berlebih dalan lima tahun terakhir.

Biasanya, pasangan yang mengalami masalah ini berusia antara 20 hingga 30 tahunan.

Salah satu bentuk komplainnya, misalnya, ketika kehidupan salah satu pihak seolah terpaku pada media sosial atau tampak menunjukkan gejala kecanduan terhadap ponselnya.

Selain itu, beberapa orang juga khawatir pasangannya mengikuti akun-akun para model di Instagram. Masalah lainnya juga termasuk masih berhubungan dengan mantan kekasih di media sosial.

Menurut Sussman, ini adalah hal yang normal terjadi pada banyak pasangan, di mana salah seorang adalah "spender" atau cenderung lebih banyak menghabiskan uang dan satu pihak lainnya adalah "saver" alias orang yang menyimpan uang.

Hal yang menjadi masalah adalah setiap pihak seringkali memandang pihak lainnya melakukan kesalahan. Pihak saver mungkin menilai spender tidak memiliki tanggung jawab keuangan, sementara spender mungkin merasa saver terlalu pelit dan murah.

Presiden dan pendiri Cloud Financial Inc, Don Cloud menjelaskan bahwa ia banyak bekerja dengan pasangan spender atau saver.

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah cobalah saling berbagi pandangan tentang uang.

Sussman mengatakan, masalah keuangan cenderung akan memanas ketika pasangan tersebut menikah dan tinggal bersama lalu mereka menghadapi keputusan apakah akan menggabungkan keuangan mereka atau tidak. Jika mereka ragu, akan cenderung muncul masalah kepercayaan.

Pertengkaran karena keuangan juga mungkin saja muncul belakangan. Kedua belah pihak mungkin sama-sama bekerja, namun ketika memiliki anak salah satunya mungkin terpaksa berhenti bekerja.

"Pasangan yang bekerja mungkin berpikir lebih unggul daripada pasangannya," kata dia.

5. Lebih memprioritaskan pekerjaan daripada hubungan

Salah satu pihak mungkin saja merupakan "workaholic" atau gila kerja sehingga terlihat seperti lebih memprioritaskan pekerjaan ketimbang hubungan.

Master trainer dari The Gottman Institute dan pendiri the Chicago Relationship Center, Michael McNulty, mengatakan bahwa memiliki pasangan yang gila kerja bisa terasa sama menyakitkan seperti memiliki pasangan yang memiliki hubungan di luar pernikahan.

6. Kecanduan

Sussman beberapa kali menerima keluhan tentang pasangan yang memiliki kecanduan minuman keras dan kecanduan sejenis lainnya.

Hal ini diperkuat dengan hasil sejumlah studi. Seperti salah satu studi kecil yang dipublikasikan di jurnal Couple and Family Psychology pada 2013. Jurnal tersebut menemukan bahwa penyalahgunaan zat seringkali menjadi keputusan akhir sebelun pasangan memutuskan untuk bercerai.

7. Pertengkaran setelah punya anak

Sejumlah pasangan yang telah memiliki anak seringkali beradu argumen karena salah satu dari mereka merasa kurang diperhatikan. Pada kondisi tersebut, mereka juga kerap merasa hubungan tersebut hanyalah hubungan transaksional.

Para ilmuwan yang mempelajari transisi ke kehidupan pengasuhan anak mengatakan, ada tiga faktor yang bisa membantu pasangan menjaga keintiman mereka setelah memiliki anak, antara lain:

- Membangun kegemaran dan afeksi untuk pasangan.

- Lebih peduli pada kehidupan pasangan dan lebih responsif.

- Melakukan pendekatan masalah seperti sesuatu yang bisa dikontrol oleh dirimu dan pasanganmu, lalu menyelesaikannya sebagai pasangan.

8. Masalah hubungan intim

Terkadang, salah satu pihak menginginkan hubungan intim lebih sering daripada pihak lainnya. Beberapa pasangan juga merasa keinginan berhubungan intim dengan pasangannya sudah mati.

Jadwal hubungan intim bisa membantu mengatasi masalah tersebut. Terutama jika kedua belah pihak sama-sama sibuk atau memiliki tingkat gairah yang berbeda.

9. Ketidaksetiaan

Perselingkuhan seringkali menghancurkan hubungan, meskipun hal itu sebetulnya bisa dihindari.

Terapis pasangan Esther Perel sebelumnya menjelaskan bahwa pasangan bisa saja menjadi lebih dekat dan jujur satu sama lain ketika diterpa isu ketidaksetiaan. Kondisi ini bahkan dikatakan sebagai "pernikahan kedua".

10. Pengasuhan anak

Masalah umum lainnya yang dihadapi pasangan adalah salah satu pihak yang lebih toleran dan pihak lainnya lebih ketat dalam pengasuhan anak.

Psikolog Carl Pickhardt yang pernah menulis beberapa buku pengasuhan anak menyebutkan bahwa pertanyaan pertama yang harus didiskusikan bersama pasangan sebelum memiliki anak adalah bagaimana kalian berdua akan melakukan pengambilan keputusan.

Jika pasangan tersebut memiliki kesulitan dalam menjembatani ketidaksetujuan satu sama lain, maka itu bukanlah tanda yang baik.

"Mereka harus tahu cara berkomunikasi dan bagaimana mengubahnya, bagaimana membuat sebuah konsesi dan bagaimana berkompromi," katanya.

Jadi, ketika kamu sering bertengkar dengan pasangan tentang masalah yang sama dari waktu ke waktu, mungkin inilah saatnya untuk berkonsultasi dengan konselor hubungan.

Menurut Sussman, percekcokan yang berlarut akan merusak hubungan. Istilahnya, "luka dalam hubungan akan berujung kematian karena goresan ujung kertas ribuan kali".

Ketika datang ke konselor hubungan, kamu dan pasangan bukan berarti datang untuk memecahkan masalah. Namun, kalian datang untuk mempelajari seperangkat skill yang dibutuhkan untuk mengatasi konflik dalam hubungan yang akan terjadi dalam kehidupan.

https://lifestyle.kompas.com/read/2020/01/16/111829220/hal-sepele-pemicu-pertengkaran-dengan-pasangan-yang-perlu-dihindari

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke