Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kontroversi Nike ZoomX Vaporfly dan Kompetitor yang Mengikuti Jejaknya

KOMPAS.com - Setelah penyelidikan panjang, World Athletics --badan pengelola olahraga atletik internasional yang juga disebut IAAF-- memberi keputusan resmi terkait Nike ZoomX Vaporfly.

Walau mendapat kritikan karena disebut meningkatan performa atlet, Nike ZoomX Vaporfly tetap akan diizinkan dipakai di Tokyo Olympics 2020.

Sepatu Vaporly generasi terbaru Nike itu diperkenalkan pada 2019 setelah mereka menghabiskan waktu berbulan-bulan menguji teknologi footwear.

Sepatu ini kemudian diuji coba oleh dua pelari --Eliud Kipchoge dan Brigid Kosgei asal Kenya-- yang memecahkan dua rekor maraton berturut-turut pada Oktober 2019.

Pada 12 Oktober 2019, Kipchoge menyelesaikan lari maraton dalam waktu kurang dari dua jam. Namun rekor ini tidak tercatat resmi karena Kipchoge dibantu beberapa pelari yang bergantian menjadi pacer untuk menjaga kecepatan larinya.

Sedangkan Kosgei mencatatkan waktu 81 detik lebih cepat dari catatan Paula Radcliffe satu hari berselang.

Hal itu menarik perhatian IAAF, di mana mereka memberi perhatian khusus dari sneakers Nike yang dipakai oleh dua atlet itu.

Untuk perlombaan yang tidak resmi di atas --tidak bersertifikat IAAF-- Kipchoge mengenakan sneaker prototipe Nike dengan unit sol ekstra tebal.

Sementara Kosgei mengikuti Chicago Marathon 2019 dengan sepasang Vaporfly Next%.

Namun penilaian IAAF tidak secara khusus mengarah pada sneaker Vaporfly. Peraturan itu pada dasarnya menyebutkan sepatu lari tidak boleh memberikan "bantuan atau keuntungan tidak adil" dan harus "tersedia secara wajar" untuk semua orang.

IAAF kemudian mendapat protes dari atlet dari brand lain yang menganggap sepatu Nike tersebut memberi keuntungan tidak adil karena mampu meningkatkan efisiensi energi atlet hingga 4%.

Karena keberatan beberapa pihak, IAAF berencana memodifikasi peraturan itu dengan tujuan "untuk memberi kejelasan pada atlet dan produsen sepatu di seluruh dunia serta melindungi integritas olahraga" pada tingkat kompetisi tertinggi.

Mulai 30 April 2020, peraturan baru akan berlaku, yaitu melarang pelari elit memakai sneakers yang belum tersedia di pasaran setidaknya empat bulan pertama. Ini termasuk sneakers prototipe.

Aturan IAAF juga menetapkan, sepatu yang memenuhi syarat harus memiliki sol berukuran di bawah 40 mm dan tidak mengandung lebih dari satu shank yang menyerupai pegas.

Sebagai catatan, shank adalah bagian dari struktur pendukung antara insole dan outsole pada sepatu. Fungsinya mengurangi beban yang ditimbulkan kaki dan betis pemakainya.

Bagian dalam dari outsole Nike Vaporfly adalah pelat serat karbon atau shank, yang memberi tenaga ekstra.

Sehingga, di bawah standar baru IAAF, Vaporfly Next% yang dipakai Kosgei akan tetap legal, sedangkan sneaker prototipe Kipchoge tidak lagi diizinkan.

Mereka yang mengikuti jejak Nike

Ketika Vaporfly mendapat sorotan, pesaing Nike, yaitu ASICS, Saucony, New Balance, dan Brooks telah mengerjakan desain sepatu mereka dengan pelat serat karbon. Hal ini mereka lakukan untuk mengimbangi Nike Vaporfly.

Dikembangkan sejak Agustus 2017, Brooks Hyperion Elite menampilkan busa eksklusif baru dan pelat serat karbon.

Prototipe Hyperion Elite membantu pelari maraton, Desiree Linden meraih kemenangan di Boston Marathon 2018.

"Teknologi ini memiliki berat jenis sangat rendah, yaitu 0,12 gram per sentimeter kubik, yang memungkinkan Brooks menjaga midsole tetap tebal dan sepatu menjadi ringan."

"Pelat serat karbon setebal 1 mm dan memiliki tulang belakang setebal 0,5 mm di tengah untuk dukungan tambahan."

Pada laporan lain terkait Nike Vaporfly, Footwear News berbicara dengan Kris Hartner, pemilik toko sepatu Naperville Running Co.

Hartner menyebut, kita bakal melihat koleksi yang akan datang dengan teknologi pelat karbon serupa dari Brooks, Saucony, ASICS, serta New Balance, karena itulah yang sedang mereka kembangkan.

Setiap jenis olahraga telah melalui momen di mana teknologi memaksa kita untuk bertanya, "Apakah ini memberi keuntungan bagi atlet tertentu secara tidak adil?"

Pada tahun 2008, Speedo merilis baju renang full body LZR yang dipatenkan ke Beijing Olympics, yang membantu mencetak 25 rekor dunia baru.

Baju renang itu memiliki permukaan serupa kulit ikan hiu yang membuat perenang bisa melaju lebih cepat ke depan.

Selanjutnya, baju renang full body dilarang dipakai di kompetisi oleh FINA (Federation Internationale de Natation) karena dianggap memberi keuntungan tidak adil untuk pemakainya. Namun, 25 rekor dunia itu masih diakui sampai sekarang.

Di dunia footwear, teknologi terbaru juga sering dipermasalahkan bila membuat seseorang menang karena bantuan sepatu yang dikenakannya.

Mungkin kelak, bila semua produk sudah menggunakan teknologi serupa, maka sepatu seperti yang dipakai Kipchoge akan diperbolehkan dalam pertandingan. 

https://lifestyle.kompas.com/read/2020/02/05/085016120/kontroversi-nike-zoomx-vaporfly-dan-kompetitor-yang-mengikuti-jejaknya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke