Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Cerita Kain Pinawetengan, Wastra Nusantara dari Minahasa

Kain ini dibuat ulang dengan corak dan teknik baru, karena kain Minahasa yang asli telah lama punah.

Disebutkan, hanya ada satu wastra dari Minahasa di Indonesia yang disimpan di Museum Nasional.

Masyarakat Minahasa pada awalnya mempunyai dua jenis wastra tradisional, yaitu kain Bentenan dan Pinatikan.

Namun, sekitar 100 tahun lalu, kedua kain ini sudah tidak diproduksi dan dipakai masyarakat setempat.

Hingga kemudian, Yayasan Institut Seni dan Budaya Sulawesi Utara yang dipimpin Irjen Pol (purn) Benny Mamoto dan Iyarita Mamoto menginisiasi pengembangan kain Pinawetengan dengan kearifan lokal budaya Minahasa.

Kain Pinawetengan memulai debutnya di tahun 2005.

"Saya melihat, kain tenun di Sulawesi Utara hampir punah karena banyaknya budaya yang masuk dari luar negeri."

Begitu kata Iyarita Mamoto dalam acara peresmian Rumah Kain Pinawetengan di Jakarta, Kamis (12/3/2020) kemarin.

Awalnya, kain Pinawetengan hanya memproduksi kain bermotif yang ada di Watu Pinawetengan dalam bentuk cetak.

Lalu pada 2007, kain Pinawetengan mengembangkan produknya dengan teknik pembuatan tradisional.

"Seiring waktu, saya ingin membuat kain yang bukan hanya dalam bentuk print."

"Akhirnya, saya mengadakan pelatihan bagi para perajin. Dari 100 orang, hanya tersisa 16 orang yang mengikuti penenunan," ujar Iyarita.

Kain Pinawetengan juga mengembangkan tenun songket yang ragam motifnya diambil dari motif tradisional Minahasa.

Sebagai catatan, kain Pinawetengan telah dipatenkan dan tercatat dalam Guiness World Record yang diakui sebagai tenun songket terpanjang di dunia, yaitu 101 meter tanpa sambungan.

Menurut Benny Mamoto, kain Pinawetengan telah menghasilkan banyak rekor yang diakui baik di dalam negeri maupun luar negeri.

"Di Muri (Museum Rekor Indonesia), kami punya 32 rekor. Sementara Guiness World Record baru tujuh," tutur dia.

"Di balik itu, rekor kami bukan hanya untuk promosi, tapi juga memotivasi generasi muda agar mereka bangga akan seni dan budaya Indonesia."

"Ini adalah upaya kami untuk melestarikan kekayaan budaya yang kita miliki."

Peresmian rumah kain Pinawetengan

Rumah Kain Pinawetengan di Humble House, Jl. Wijaya II No. 123, Jakarta, resmi dibuka.

"Kawan" dipilih menjadi tajuk peresmian ini, yang menggambarkan hubungan pertemanan antara Iyarita Mamoto selaku pemilik Rumah Kain Pinawetengan dan Denny Malik, koreografer dan penyanyi kenamaan Tanah Air.

Dalam kolaborasinya bersama Iyarita Mamoto, Denny menggarap kreasi busana dengan konsep ready to wear yang dipamerkan dalam peresmian Rumah Kain Pinawetengan.

"Kenapa konsepnya ready to wear, karena saya dapat inspirasi dari teman-teman di Kain Pinawetengan, ditambah lagi saya suka mendesain," kata Denny.

"Materi bahan Pinawetengan ada sifon, katun, satin, polyester, dan saya mendesain kreasi busana dengan bahan-bahan itu."

"Kita juga rencananya akan mendesain kaus dari kain Pinawetengan yang ditujukan untuk kaum milenial," ujarnya.

Di Rumah Kain Pinawetengan, Humble House, Jakarta, terdapat beragam kain tenun hasil karya perajin di Wale Tenun Pa'Dior.

Kreasi ini, seperti kain tenun ikat yang dibuat dengan tangan, dan tenun songket yang memiliki warna lebih mencolok dalam corak khas Minahasa.

Rata-rata kain tenun ikat di Rumah Kain Pinawetengan dijual seharga Rp 1 juta per meter, sedangkan untuk tenun songket berada di kisaran Rp 3,5 juta per lembar.

https://lifestyle.kompas.com/read/2020/03/13/061003620/cerita-kain-pinawetengan-wastra-nusantara-dari-minahasa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke