Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Wabah Virus Corona yang Mengubah Marwah Manusia

KOMPAS.com - Empat minggu sudah sejak kasus pertama Covid-19 diumumkan resmi oleh pemerintah Republik Indonesia dan empat bulan sejak dunia dijungkirbalikkan oleh virus yang amat ditakuti saat ini.

Kehebatan virus corona yang mampu menelanjangi semuanya.

Bahkan, petinggi tak luput dari sebaran hoaks dan ‘ilmu asal samber tanpa sumber’ saking paniknya.

Tanpa ampun, pandemi Covid 19 sungguh-sungguh kejam memisahkan orang yang hidup sehat sungguhan dari mereka yang ‘nampak sehat di luarnya’ saja.

Seperti lekasnya mutasi virus corona, informasi pun terus berubah setiap hari. Yang awalnya dikira seperti flu biasa, bisa sembuh sendiri, ternyata virus corona ini mampu merusak paru lebih parah dari pneumonia akibat bakteri pneumokokus.

Menganggap ringan masalah, terlambatnya antisipasi hingga akhirnya tindakan operasional tanggap darurat diberlakukan membuat kita seperti orang yang masa bodoh dengan kondisi rumah di musim kemarau – dan saat hujan deras datang, bocor bersamaan di segala penjuru atap, sampai bingung mau menambal yang mana dulu.

Di saat yang sama, Indonesia tidak hanya didera Covid-19. Puluhan kematian dan ratusan penderita demam berdarah beritanya tertutup tanpa suara. Bahkan, bisa jadi kasus tumpang tindih yang amat mengerikan dari sisi epidemiologi.

Setiap sore, antara jam 15.30-16.00 WIB disadari atau tidak, pemirsa televisi sudah mulai tegang mendengar informasi terbaru jumlah orang yang terkonfirmasi. Bahkan makin hari jumlah yang meninggal sudah melejit jauh dibandingkan yang sembuh.

Saya dan beberapa sejawat mempunyai istilah “Yuri’s time”. Dirjen P2P Achmad Yurianto yang setiap hari pasti muncul di jam mendebarkan itu. Untungnya bukan di jam orang sedang makan.


Seumur hidup saya, saat ini adalah panik publik yang tak bisa dibandingkan dengan apa pun. Dalam sekejap, semua berubah 180 derajat.

Orang yang tadinya masa bodoh makan dan minum semaunya, sekarang ribut mencari imunitas instan.

Seakan-akan kekebalan itu bisa dibeli dengan harga murah – sebutlah berupa secangkir empon-empon atau segenggam suplemen.

Suatu teknik menenangkan diri yang membuka peluang ekonomi.

Seperti memakai masker bedah, tanpa paham cara pakai yang benar dan cara membuang yang beretika.

Dalam waktu sekejap, awam pun harus mengikuti les tindakan aseptik dan antiseptik ala kamar bedah.

Video lawas saya mendadak viral, mengajar orang berjemur di bawah matahari selama bertahun-tahun, baru sekarang secara nasional membuahkan hasil. Setelah virusnya marah.

Itu pun masih harus meluruskan banyak hal. Ada yang berjemur dengan pakaian lengkap, seakan-akan ultra violet B nya bisa menembus macam sinar X, ada yang masih dioles tabir surya – sayang habis buang jutaan rupiah demi perawatan kulit.

Padahal, tengkuk hingga punggung adalah lahan terbagus dengan meter persegi terbanyak untuk terkena cahaya matahari langsung, tanpa perlu menambah bintik hitam di wajah.

Saya juga punya slogan yang selalu diulang dan terulang secara otomatis setiap kali mengajar dan praktek tentang perubahan perilaku manusia, yang dimulai dengan kata ‘terpaksa’.

Akibat dipaksa. Akhirnya bisa, lalu biasa dan jadi budaya. Terpaksa hidup bersih dengan cuci tangan pakai sabun, terpaksa masak sendiri karena parno dengan yang masak di luar sana dan dipaksa harus tinggal di rumah untuk memutus penyebaran virusnya. Bisa sehari, walaupun pakai ngomel dan marah.

Orang yang dinikahi dengan semua mimpi ternyata musuh berdebat paling hebat, akibat lebih dari 12 jam bersama dalam hidup nyata.

Ada lansia yang tak tahan dengan berkumpulnya anak mantu dan cucu serumah dalam 24 jam, sampai ketika ia mulai batuk-batuk senewen malah minta diisolasi di Rumah Sakit, ketimbang mendengar berbagai syahadat teori anaknya.


Hal-hal yang bisa dilakukan berulang kali rupanya menciptakan normalitas baru: kebiasaan.

Kebiasaan bisa menjadi hal yang baik, bisa juga tidak baik. Kebiasaan tidak mandi seharian atau pakai daster karena tidak ngantor, kebiasaan lupa diri dengan gawai – sebagai alasan ‘bekerja dari rumah’, physical distancing akhirnya menjadi emotional distancing yang mengubah hidup menjadi amat individualis.

Anehnya, virus ini juga mengajarkan soal kesetimbangan hidup rupanya. Seperti untuk memperoleh itu semua, segala sesuatu harus masuk dalam guncangan dulu – disrupsi – demi kesetimbangan yang baru.

Di tengah individualisme orang-orang menyelamatkan hidupnya masing-masing, muncul benih-benih kesetiakawanan.

Walaupun masih sebatas kebutuhan primer, tapi lumayan menyejukkan jiwa mendengar kisah-kisah kedermawanan orang.

Masa berbagi yang mampu menjelaskan apa yang dianggap baik dan benar bagi orang yang memberi.

Jika sang pemberi punya kepercayaan tinggi akan vitamin dan suplemen, maka dalam tiap kotak akan disisipkan kemasan tablet dan pil.

Sementara jika dalam hati kecilnya masih terpaku pada ajaran lawas 4 sehat 5 sempurna, maka kaleng dan kotak susu menjadi jimat penenang seakan-akan memberikan perlindungan ekstra di balik bungkusan ayam goreng.

Jadi, memang begitulah literasi gizi kita. Dan semua perilaku yang diam-diam dijalankan, tanpa ada rujukan. Hanya sebatas ‘katanya’.

Sampai untuk menegaskan paradigma baru untuk berjemur pada jam 10 pagi saja, saya harus berjuang menjelaskan dengan sederet jurnal dan studi berbasis bukti, sebab orang sudah terlanjur punya kepercayaan ‘katanya’ berjemur itu jam 7 pagi.

Wabah ini memang mengubah marwah manusia. Dunia terguncang saat wadah air suci kering di semua gereja dan kesunyian menyayat di sekitar Ka’bah.

Di saat yang sama pula semua hiburan hingar bingar mereda tanpa suara. Tapi, di tengah hening itu langit biru dan udara sejuk mulai menyusup, bahkan lumba-lumba menampakkan diri di sungai saat manusia tidak lagi mencemari.

Apabila kita sibuk sebagai cendekia mencari profilaksis berupa vaksin dan ramuan ajaib, mungkin sudah waktunya otak yang cerdas itu diheningkan dahulu.

Melihat ke semua keajaiban yang saat ini sedang menguakkan dirinya. Ketika justru manusia berhenti dan tahu diri.

Merefleksi untuk apa hidup itu, saat semuanya dipertaruhkan demi ekonomi, politik atau sekadar ‘nama baik’.

Momen itu barangkali memanggil kita pulang ke rumah sendiri, berhenti bertengkar dengan pasangan, dan tidak selalu merasa benar di hadapan anak - sebab bisa jadi mereka semua akan hilang dalam bilangan hari atau bulan.

Virus corona ini memang luar biasa – karena mampu mengubah manusia dengan satu kata ancaman: binasa.

https://lifestyle.kompas.com/read/2020/03/29/151046020/wabah-virus-corona-yang-mengubah-marwah-manusia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke