Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Cemas

SAMPAI saat ini hampir seluruh manusia di bumi mengalami rasa cemas atau kecemasan akibat merebaknya virus Corona (Covid-19).

Banyak negara yang melakukan lockdown di berbagai kota (wilayah) agar virus tidak semakin menyebar. Juga banyak yang melakukan social distancing (menjaga jarak sosial) atau physical distancing (menjaga jarak fisik) versi WHO.

Di Jakarta sudah diberlakukan work from home (WFH) selama 14 hari, bahkan lebih. Kampus pun memberlakukan kuliah online. Demikian juga sekolah-sekolah dasar/menengah memberlakukan cara belajar di rumah.

Intinya sekian hari dianjurkan kumpul di rumah saja, tidak ke mana-mana.

Risau

Virus Corona (Covid-19) kini menjadi momok yang menakutkan. Orang-orang seperti menghadapi musuh yang tidak kelihatan. Kasat mata.

Ujungnya terjadi saling curiga kepada siapa saja, benda apa saja, tempat apa saja, fasilitas apa saja. Sebisa mungkin dihindari semua itu.

Sungguh ini sudah merupakan gangguan kecemasan yang ekstrem. Layaknya agrofobia, ketakutan di tengah kerumunan orang banyak.

Rasa cemas atau kecemasan (anxiety) yang dialami pada orang-orang tentunya hal yang manusiawi. Wajar.

Kecemasan sebagai bagian dari naluri manusia sudah ada sejak manusia dilahirkan. Sebab sepanjang manusia itu menjalani kehidupan sudah pasti menghadapi berbagai tantangan hidup (survival life).

Tantangan setiap orang berbeda-beda. Ada yang berjalan mulus, ada yang tersendat. Ada yang mudah cemas, ada juga yang sangat percaya diri.

Namun kecemasan masih dapat ditoleransi kalau masih ringan, tetapi kalau sudah mengarah pada sikap panik akan termasuk kecemasan berat.

Dalam KBBI arti cemas adalah risau hati (karena khawatir, takut), gelisah. Sedangkan padanan kata cemas menurut Tesaurus.kemdikbud.go.id adalah takut, gamang, gelisah, gemetar, gentar, gugup, kecut hati, keder, khawatir, ngeri, panik, resah, risau, syak, waswas, galau, kalut, kacau, senewen.

Pendapat pakar

Rita L. Atkinson, dkk (1993:212) mengatakan bahwa kecemasan (anxiety) terjadi karena adanya ancaman fisik, ancaman terhadap diri sendiri, dan tekanan untuk melakukan sesuatu di luar kemampuannya.

Dengan demikian, kecemasan merupakan emosi yang tidak menyenangkan, istilahnya ada rasa khawatir, prihatin, dan rasa takut dengan tingkat yang berbeda-beda.

Jadi, rasa cemas atau kecemasan yang dialami orang-orang selama ini tampak berada di luar kemampuan sebagai sosok manusia. Ada perasaan tidak berdaya dan tidak mampu mengendalikan apa yang terjadi di luar.

Jalan yang ditempuh dengan cara menghindari dan menjauhkan diri dari sumber kecemasan tersebut.

Sigmund Freud (1856-1939) (dalam Atkinson, 1993:212), pendiri aliran psikoanalisis, adalah yang pertama kali yang memfokuskan diri tentang makna kecemasan.

Freud membedakan kecemasan menjadi dua bagian, yaitu kecemasan objektif dan kecemasan neurotis.

Kecemasan objektif adalah respons yang realistis terhadap bahaya eksternal, sama dengan rasa takut.

Kecemasan seperti ini persis seperti orang-orang menghadapi virus Corona (Covid-19), ada rasa takut yang berlebih karena sudah terbukti banyak yang terjangkit.

Kekhawatiran yang sudah mengganggu segi fisik dan psikis sehingga menimbulkan kecemasan.

Lain halnya dengan kecemasan neurotis timbul dari konflik tak sadar dalam diri individu. Oleh karena konflik itu tak disadari, maka individu tidak mengetahui secara persis apa alasan kecemasan yang dialaminya itu.

Freud yakin kecemasan yang terjadi karena konflik yang tidak disadari antara impuls id dengan kendala yang ditetapkan oleh ego dan superego.

Kecemasan model seperti ini, memang lebih kepada kekhawatiran yang seolah mengada-ada. Tak ada objek yang ditakuti, tetapi merasa terancam atau cemas atau gelisah pada sesuatu hal.

Lain halnya menurut Frans Sinuor Yoseph (dalam Sobur, 2003:299) mengatakan bahwa dalam situasi kecemasan, orang akan merasa terancam.

Orang yang terancam keselamatannya tidak mengetahui langkah dan cara yang harus diambil untuk menyelamatkan dirinya.

Jadi kecemasan adalah rasa sudah terkepung, sudah terjepit, dan sudah terperangkap oleh dan di dalam bahaya. Persepsi indrawi pun tidak bertambah tajam, sebagaimana dalam rasa takut, justru semakin kabur.

Lagipula, kata Yoseph, kecemasan selalu menampakkan diri dalam berbagai bentuk serta intensitasnya karena kecemasan merupakan sikap dasariah bagi setiap manusia dalam menghadapi setiap bahaya yang mengancam.

Penutup

Menurut Rita L. Atkinson dkk (1993:214), ada dua cara menanggulangi kecemasan. Pertama, masalah yang dihadapi, individu sebaiknya menilai situasi yang menimbulkan terjadinya kecemasan, kemudian melakukan sesuatu untuk mengubah atau menghindarinya.

Kedua, segi emosi, individu sebaiknya mengurangi rasa cemas melalui berbagai macam cara, tetapi tidak secara langsung menghadapi masalah yang menimbulkan kecemasan tersebut.

Sebagai penutup, ada sebuah penelitian tentang menghindari kecemasan. Seekor anjing belajar melompati rintangan, ada dua rintangan saling bersebelahan. Yang pertama rintangan kawat dialiri listrik ringan, yang kedua berupa rintangan kayu.

Ketika anjing melompati rintangan kawat beraliran listrik, anjing itu terkejut. Kemudian ia memilih rintangan kayu yang aman. Selanjutnya, anjing itu tetap tidak mau melewati rintangan kawat walaupun tidak dialiri listrik lagi.

Penelitian tersebut sebagai refleksi, apabila wabah virus Corona berlalu, apakah orang-orang tetap akan merasa cemas dan takut pada kerumunan massa? Apakah tetap curiga apabila ada orang batuk/bersin di sampingnya?

Sisi baiknya, orang-orang pasti jadi lebih peduli kesehatan, rajin cuci tangan, higienis dalam memilih makanan, jaga kebersihan.

https://lifestyle.kompas.com/read/2020/03/30/122152320/cemas

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke