Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Vaksin TB, Ampuh untuk Mengatasi Covid-19?

Virus corona telah menginfeksi sebanyak 1.270.854 orang di seluruh dunia dan menyebabkan 69.383 orang di antaranya meninggal dunia.

Demikian data worldometers.info yang diperbarui pada Minggu (5/4/2020).

Kini, para ilmuwan di banyak negara tengah menguji vaksin tuberkulosis (TB).

Hal itu dilakukan untuk mengetahui apakah vaksin tersebut dapat memperkuat sistem kekebalan tubuh dan menurunkan gejala gangguan pernapasan bagi yang terinfeksi Covid-19.

Seperti dilansir laman New York Times, vaksin Bacillus Calmette-Guerin masih digunakan di negara-negara berkembang.

Lalu, para ilmuwan menemukan, vaksin ini tidak sekadar mencegah penyakit tuberkulosis.

Vaksin ini juga mencegah kematian pada bayi dari berbagai sebab, dan mengurangi insiden infeksi pernapasan secara signifikan.

Menurut para ahli, vaksin TB seolah melatih sistem kekebalan untuk mengenali dan merespon berbagai infeksi, termasuk virus, bakteri, dan parasit.

Ada sedikit bukti vaksin akan melemahkan infeksi virus corona, namun serangkaian uji klinis diperlukan selama beberapa bulan untuk membuktikan hal ini.

Para ilmuwan di Melbourne, Australia, mulai mengelola vaksin BCG dan juga plasebo kepada ribuan dokter, perawat, terapis pernapasan dan petugas perawatan kesehatan lainnya.

Plasebo biasanya hanya berisi serbuk laktosa yang tidak memiliki khasiat apapun sebagai obat.

Efek ini muncul karena pasien yang mendapat plasebo tidak tahu, tetapi sugesti bisa membuat obat itu benar-benar manjur layaknya obat asli.

Rangkaian itu merupakan uji coba terkontrol acak pertama yang bertujuan menguji efektivitas vaksin tuberkulosis terhadap virus corona.

"Tidak ada yang mengatakan ini obat mujarab," kata Nigel Curtis, peneliti penyakit menular di University of Melbourne dan Murdoch Children's Research Institute, perencana uji coba.

"Apa yang ingin kita lakukan adalah mengurangi masa di mana petugas kesehatan yang terinfeksi berada dalam kondisi kurang baik, agar mereka segera pulih dan kembali bekerja."

Tak hanya itu, sebuah uji klinis terhadap 1.000 petugas perawatan kesehatan dimulai di Belanda.

Demikian dikatakan Dr. Mihai G. Netea, spesialis penyakit menular di Radboud University Medical Center di Nijmegen, Belanda.

Sebanyak 800 petugas kesehatan telah mendaftar untuk uji klinis tersebut. Seperti di Australia, setengah dari peserta menerima vaksin plasebo.

Dr. Denise Faustman, Direktur Imunobiologi di Massachusetts General Hospital, AS, sedang mencari dana untuk memulai uji klinis pada petugas perawatan kesehatan di Boston.

Hasilnya akan tersedia dalam waktu empat bulan ke depan.

"Kami mempunyai data yang sangat kuat dari uji klinis pada manusia bahwa vaksin ini melindungi kita dari infeksi virus dan parasit," kata Dr. Faustman.

Vaksin BCG mempunyai sejarah yang tidak biasa. Vaksin ini terinspirasi pada tahun 1800-an dari sebuah observasi dari seorang wanita pemerah susu yang terbukti tidak mengembangkan gejala TBC.

Vaksin ini diberi nama sesuai penemunya, Dr. Albert Calmette dan Dr. Camille Guerin, yang mengembangkan vaksin dari myctobacterium bovis, bentuk tuberkulosis yang menginfeksi ternak.

Para ilmuwan membiakkan bakteri dari ambing sapi (kelenjar dalam payudara sapi yang mengeluarkan air susu).

Mereka lalu membiakkan TB sapi lebih dari satu dekade hingga lemah agar tidak menyebabkan penyakit mematikan saat diberikan kepada hewan laboratorium.

Vaksin BCG pertama kali digunakan pada manusia di tahun 1921 dan diadopsi secara luas setelah Perang Dunia II.

Sekarang, vaksin ini digunakan di negara berkembang dan negara-negara yang mempunyai banyak kasus terkait tuberkulosis, diberikan kepada lebih dari 100 juta bayi per tahunnya.

Seperti vaksin lainnya, BCG memiliki target spesifik, yaitu tuberkulosis.

Namun bukti yang terkumpul satu dekade terakhir menunjukkan vaksin ini juga memiliki efek "tidak sesuai target", yaitu mengurangi penyakit virus, infeksi saluran pernapasan, sepsis, dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh.

Studi awal yang menggambarkan manfaat luas dari vaksin BCG adalah uji coba secara acak pada 2.320 bayi di Guinea-Bissau, Afrika Barat.

Studi yang diterbitkan pada 2011 ini mengungkap, tingkat kematian pada bayi dengan berat badan rendah saat lahir berkurang pasca vaksinasi.

Sebuah uji coba lanjutan melaporkan, angka kematian penyakit menular pada bayi dengan berat badan rendah yang divaksinasi berkurang lebih dari 40 persen.

Studi epidemiologi lain, termasuk studi terhadap lebih dari 150.000 anak di 33 negara selama 25 tahun menemukan, anak yang mendapat vaksin BCG memiliki risiko 40 persen lebih rendah terkena infeksi saluran pernapasan bawah akut.

Kemudian, penelitian pada orang berusia lanjut menemukan, vaksin BCG mengurangi insiden infeksi saluran pernapasan atas akut.

Ulasan terbaru dari WHO menyimpulkan, vaksin BCG atau vaksin tuberkulosis memiliki efek di luar target yang menguntungkan.

WHO juga merekomendasikan para peneliti untuk melakukan lebih banyak uji coba vaksin terhadap berbagai infeksi lainnya.

"Vaksin ini telah menyelamatkan banyak nyawa seperti vaksin polio, ini adalah cerita yang luar biasa."

Demikian kata Dr. Curtis, yang merancang dan meluncurkan uji coba vaksin BCG di Melbourne dalam waktu kurang dari sebulan.

Namun Dr. Curtis menekankan, vaksin BCG bukanlah vaksin Covid-19 secara spesifik.

Vaksin ini juga tidak dapat diberikan kepada seseorang yang memiliki gangguan pada sistem kekebalan tubuhnya, karena vaksin mengandung tuberkulosis dalam kondisi lemah.

Dr. Faustman mengatakan, vaksin BCG tidak boleh diberikan pada pasien rawat inap dengan penyakit aktif, karena ada kemungkinan vaksin tidak bekerja cepat dan berdampak buruk dengan pengobatan lainnya.

Namun, tidak semua pihak yakin vaksin BCG menjanjikan dalam banyak hal.

Dr. Domenico Accili, Ahli Endokrin di Columbia University menganggap, upaya menggunakan vaksin BCG untuk virus corona layaknya "pemikiran magis."

Sembari mengakui vaksin BCG adalah "peningkat non-spesifik dari sistem kekebalan tubuh," ia mengatakan, "kita harus menerapkan pendekatan yang lebih khusus."

Pertanyaannya, apakah efek vaksin BCG yang bisa terjadi pada pasien yang sistem kekebalannya bereaksi berlebihan terhadap virus corona akan menghasilkan fenomena bernama badai sitokin atau tidak?

Dr. Randy Cron, Pakar di University of Alabama di Birmingham, mengatakan, hal itu tidak mungkin diketahui.

Analisis terbaru tentang korban virus corona pada negara-negara berpenghasilan menengah dan tinggi menemukan hubungan dengan kebijakan vaksin BCG.

Analisi tersebut menyimpulkan, negara-negara yang tidak mengimplementasikan atau telah meninggalkan vaksin BCG memiliki lebih banyak infeksi virus corona per kapita dan tingkat kematian lebih tinggi.

Negara-negara berpenghasilan rendah dikeluarkan dari analisis karena data pelaporan Covid-19 yang tidak dapat diandalkan dan sistem medis yang buruk.

"Kita dapat membuat vaksin baru," kata Dr. Faustman.

"Kami benar-benar bisa melakukannya. Tapi ini akan terlambat dua tahun."

"Jika kita memiliki sesuatu yang generik secara global dan dapat kita gunakan untuk membuat manusia menjadi lebih kuat, ini adalah solusi terbaik bagi publik."

https://lifestyle.kompas.com/read/2020/04/06/084936520/vaksin-tb-ampuh-untuk-mengatasi-covid-19

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke