Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Optimisme

SURVEI yang dilakukan konsultan Etnomark mengenai perilaku masyarakat Indonesia di tengah pandemi Covid-19 ini menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia optimistis melewati pandemi ini.

Survei dilaksanakan selama sepekan pada awal April 2020 dengan jumlah 609 responden dengan metode survei dalam jaringan (daring).

Adapun yang diteliti adalah pengetahuan tentang Covid-19, work from home (WFH), donasi, berbagi pengetahuan, dampak bisnis/personal, berbelanja, karakter psikologis, dan keseharian.

Hasil survei yang paling menarik mengenai perilaku psikologis, yaitu 64 persen responden optimistis di tengah pandemi Covid-19 ini.

Sementara perilaku keseharian 40 persen bisa lebih rileks pada hobi, ibadah, olahraga, dan bermedia sosial.

Secara menyeluruh sebesar 70 persen responden berperilaku sosialisme dan berorientasi pada sesama. Sisanya 27 persen berperilaku positif dan 3 persen cenderung egosentris.

Sudut pandang

Berkaca pada survei tersebut tentang optimisme masyarakat, saya jadi teringat pada buku berjudul Memetik Matahari yang ditulis Agung Adiprasetyo (CEO Kompas Gramedia 2006-2015).

Di dalam buku itu ada cerita begini.

Ada seorang pengusaha yang ingin membeli tanah di Puncak, Jawa Barat. Pengusaha ini kemudian membawa seorang arsitek untuk mendengar pendapatnya.

Arsitek ini kemudian berkata bahwa tanah ini tidak dapat dimanfaatkan dengan baik. Alasannya, tanahnya tidak rata, banyak tanah miring dan curam sehingga pemanfaatan tanah akan sangat minim. Arsitek ini menyarankan tidak usah membeli tanah ini.

Tidak lama kemudian, pengusaha ini membawa arsitek lain sebagai pembanding. Berbeda dengan arsitek sebelumnya, arsitek ini malah mengatakan bahwa ini tanah yang bagus!

Tanah yang berbukit-bukit, kontur tidak rata, banyak tebing dan lereng sehingga kalau dibangun rumah akan mendapat pemandangan yang sangat indah.

Akhirnya pengusaha ini membeli tanah ini. Dua arsitek melihat masalah yang sama, tetapi berbeda sudut pandang. Yang satu pesimistis dan yang satu lagi optimistis.

Kemudian Agung pun bercerita perihal yang lain, fokusnya sama tentang sudut pandang.
Adalah seseorang yang memasuki sebuah ruang besar. Tiba-tiba listrik mati. Ruangan seketika gelap gulita.

Dalam posisi seperti ini, apa kira-kira yang ada di benak orang ini di dalam ruang gelap gulita?

Apakah ia begitu ketakutan dengan gelapnya ruangan sekaligus membayangkan hal-hal menyeramkan?

Ataukah ia berusaha mencari secercah cahaya di ruang gelap tersebut sehingga hilang rasa takut dan sambil mencari pintu keluar?

Agung mengatakan bahwa kedua sudut pandang tersebut disebut sikap pesimistis dan optimistis.

Kalau hanya melihat sisi gelapnya saja, maka gelap pikirannya. Tetapi, kalau melihat sisi terang maka akan terang juga pikirannya.

Jadi, sikap pesimistis dan optimistis akan menentukan kualitas dalam mengambil keputusan.

Martin Seligman

Berbicara soal optimisme, kita harus ingat Martin E.P. Seligman, seorang psikolog asal Amerika.

Seligman dikenal sebagai seorang pelopor psikologi positif yang membuahkan pemikiran baru membedah sisi positif manusia.

Sisi positif di antaranya bahwa manusia pada dasarnya memiliki harapan, ingin mencapai kebahagiaan, kesejahteraan, sukacita, optimistis, percaya diri, ketenangan, dsb.

Pemikiran Seligman ini berlawanan arah dengan ilmu psikologi sebelumnya yang umum membahas tentang gangguan kepribadian, perilaku abnormal, sikap prasangka, emosi, dsb.

Seligman mengatakan bahwa ada dua hal tentang sisi positif manusia, yaitu yang menetap dan yang meresap.

Kalau yang menetap, misalnya, tentang pandemi Covid-19 orang ini akan berkata dengan optimis bahwa pandemi Covid-19 akan berlalu dengan segera. Semua pasti bisa teratasi dengan baik. Keadaan akan berangsur-angsur pulih, normal kembali.

Semua ini pelajaran yang berharga buat kita. Juga berdoa, gembira, tetap bersyukur kepada Tuhan.

Sedangkan kalau yang meresap, misalnya, orang optimistis memandang sebuah pandemi dari sisi yang baik. Misalnya dengan diberlakukannya WFH malah anugerah yang besar, kapan lagi bisa bersama keluarga seperti sekarang ini?

Dulu, banyak anak mengeluh susah berkumpul bersama keluarga karena orang tua pergi bekerja pagi pulang malam. Inilah saat yang tepat.

WFH juga merupakan bayangan seorang rekan yang ingin bekerja jarak jauh (teleworking). Jadi, tidak perlu ngantor tiap hari, cukup satu hari rapat di kantor, selebihnya kerja di rumah.

Selain itu, malah ada yang bersyukur dengan pandemi ini. Maksudnya, dengan adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB), udara jadi tampak bersih. Polusi udara mendadak lenyap.

Jadi, orang yang optimistis akan memandang semua peristiwa baik atau buruk dengan sudut pandang yang positif. Sebab orang yang optimistis akan lebih mudah mengatasi keadaan dengan langkah-langkah yang meyakinkan.

https://lifestyle.kompas.com/read/2020/05/07/001014320/optimisme

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke