Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Hindari, 6 Kesalahan Saat Adu Argumentasi dengan Pasangan

Kondisi tersebut sebetulnya bisa menjadi kesempatan untuk mendengarkan pandangan orang lain dan mengutarakan pandangan kita sendiri, sebelum berakhir dengan pemahaman baru.

Masalahnya terletak pada emosi dan frustrasi yang bisa membuat rumit situasi. Terutama jika adu argumentasi terjadi dengan pasangan.

Sayangnya, banyak dari kita yang tidak memahami cara berargumen sehat.

Pada akhirnya, bukan membangun, argumentasi tersebut malah menciptakan ketegangan antar-pasangan dan memperburuk relasi.

Nah, ketika kita berada pada situasi berargumentasi dengan pasangan, hindari beberapa kesalahan berikut agar hubungan terhindar dari konflik, seperti dilansir dari CNBC Make It.

1. Fokus pada subjek komplain, bukan solusi

Sebuah adu argumentasi mungkin tidak akan terjadi kecuali kita memiliki keluhan.

Namun, untuk mengekspresikan keluhan tersebut dengan baik, ahli neuropsikologi tersertifikasi, Judy Ho, Ph.D. menyarankan untuk menjelaskan bagaimana perasaan kita, kemudian segeralah beralih mencari solusi.

"Saat kita berada dalam fase pemecahan masalah, ambil pendekatan kolaboratif. Luangkan waktu untuk melakukan brainstorming untuk menyelesaikan masalah dan jangan menilai ide satu sama lain."

Demikian kata profesor psikologi di Pepperdine University dan co-host acara TV "The Doctors itu.

Ambil pilihan yang menjadi kompromi terbaik untuk kalian berdua, kemudian cobalah terapkan hal itu.

2. Menggunakan istilah hiperbola

Pernyatan seperti "kamu selalu melakukan itu" atau "kamu tidak pernah melakukan itu" adalah kalimat-kalimat yang terlalu dramatis dan terdengar seperti tidak benar.

Kalimat semacam itu juga bisa membuat lawan bicara menjadi defensif, bukan justru fokus mendengarkan komplain darimu.

Mereka justru akan cenderung merespons dengan contoh-contoh yang menegasikan pernyataanmu yang salah.

Lebih baik gunakan kata-kata moderat, seperti "terkadang", "beberapa kali" atau "sering", yang lebih memberikan ruang untuk diskusi.

Pilihan kata-kata tersebut juga tidak terdengar seperti penghinaan pribadi pada karakter seseorang.

3. Menggunakan "kamu", ketimbang "aku"

Kebiasaan ini juga bisa memicu pasangan menjadi defensif. Misalnya, mengatakan "kamu merusak..." atau "kamu membuatku...".

Seorang konselor profesional berlisensi, Mark Mayfield, Ph.D., menjelaskan bahwa pernyataan menyalahkan semacam ini sering memicu emosi orang lain dan cenderung tidak akan menemui solusi.

Sebaliknya, gunakan pernyataan "aku" seperti, "aku merasa frustrasi ketika..." atau "aku butuh...", dan lainnya.

"Pernyataan-pernyataan ini memungkinkan kita mengekspresikan perasaan dalam situasi tersebut, tidak menyalahkan orang lain, dan menempatkan fokus masalah pada diri sendiri," kata dia.

Ketika pasangan mengetahui perasaan kita, maka dia akan lebih berempati.

4. Menunggu waktu bicara daripada mendengar

Secara alami kita pasti ingin merespons dan melindungi diri, namun reaksi ini rentan memicu pertengkaran.

Menurut Mayfield, yang sering terjadi adalah emosi kita ikut meninggi dan terbawa dalam argumentasi lalu melekat pada satu kata atau frasa yang diungkapkan oleh lawan bicara kita.

Kemudian, kita mulai mengembangkan pertahanan diri tanpa mendengarkan keseluruhan argumentasi dari pihak lain.

"Kita cenderung menanggapi sebagian dari apa yang dikatakan dan melewatkan sebagian besar argumentasi tersebut."

"Ini hanya akan membuat ketegangan semakin panjang," ungkapnya.

Fokus mendengarkan apa yang dikatakan orang lain akan membawa kita menjadi lebih terbiasa mengontrol diri, agar tidak terbawa dalam argumentasi yang tidak sehat.

Fokuslah memerhatikan nada bicara, bahasa tubuh, perasaan, dan poin yang lawan bicara ungkapkan.

Kita bisa mengulangi kembali poin-poin itu untuk menegaskan kembali, kita mendengarkannya, kemudian barulah sampaikan argumentasi kita, dan mencari solusinya bersama.

5. Mengambil napas pendek

Ini mungkin terdengar sederhana, namun mengambil napas pendek bisa mengaktivasi sistem dalam tubuh yang memicu pertengkaran.

Kondisi ini akan mengaktivasi sistem saraf simpatetik dan mempersiapkan tubuh untuk bertarung atau kabur, alih-alih berpikir secara rasional.

"Ambillah napas panjang untuk merestorasi aliran darah dari sistem saraf simpatetik dan menempatkannya kembali ke otak."

"Cara ini akan membuat kita lebih bisa berpikir jernih dan menerima ketidaksetujuan," kata Mayfield.

Selain itu, mengambil napas yang dalam dan penuh makna juga bisa membuat kita lebih tenang dan membumi.

6. Meninggalkan, tanpa akhir positif

Penting untuk mengakhiri argumentasi dengan gestur positif agar semua emosi yang muncul saat beradu argumen bisa mereda.

"Tutup argumen dengan sesuatu yang menggembirakan, mengakui sesuatu hal baik yang dilakukan lawan bicaramu dalam proses itu," kata judy Ho.

Misalnya, katakan "aku menghargaimu karena telah mendengarkan keprihatinanku" atau "aku bersyukur kita bisa berkomunikasi terbuka sehingga aku bisa jujur mengungkapkan perasaan".

Atau, menutup argumen dengan pelukan atau jabat tangan terkadang juga sudah cukup.

Apa pun pendekatannya, orang lain akan menghargai usahamu yang telah berupaya mengungkapkan rasa terima kasih dan menghormati hubunganmu di tengah-tengah perselisihan.

Bahkan meskipun pasangan mungkin akan kembali mendebatkannya suatu hari untuk menemukan solusi yang lebih lengkap.

https://lifestyle.kompas.com/read/2020/06/16/072802820/hindari-6-kesalahan-saat-adu-argumentasi-dengan-pasangan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke