Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Cerita Brompton Mahal Dikira Sepeda Kreuz Bandung, duh...

Akhir pekan seperti hari Sabtu (20/6/2020) lalu, adalah kesempatan bagi ayah dua anak itu untuk menikmati hobinya bersepeda di sekitar rumah di kawasan Grand Galaxy, Bekasi.

Tak cuma bersepeda, dia pun sekaligus mencari kebutuhan untuk hobi lainnya, yakni memelihara burung.

Mengunakan sepeda Brompton biru -black edition M6R keluaran 2017, penampilan karyawan yang sehari-hari bekerja di wilayah Gambir, Jakarta tersebut tentu mengundang perhatian.

Apalagi, merek sepeda handmade asal London, Inggris tersebut, kini ramai menjadi perbincangan di tengah meledaknya tren bersepeda di kota-kota besar di Indonesia.

Meski bukan sepeda baru, Brompton biru milik Olan terlihat amat terawat, mulus, dan bersih.

Maklum, Olan adalah penikmat sepeda sejak lama. Di rumahnya masih ada sederet sepeda klasik lainnya.

"Ada Colnago steel vintage dari Italia, Bianchi vintage, Gitane Hydroalu dari Perancis. Walaupun sebagian vintage, tapi value-nya bagus," kata Olan kepada Kompas.com.

Olan -yang belum genap enam bulan berada di Jakarta, setelah bertugas di Roma, Italia, menolak jika disebut Brompton yang dipakainya hanya menuruti tren.

"Waktu dulu bekerja di Roma, apartemennya di lantai IV dengan lift yang kecil, sehingga perlu sepeda lipat."

"Karena jalanan di Kota Roma sebagian paving blok, maka perlu sepeda lipat yang teruji kekuatannya di jalanan kasar. Itu sebabnya saya pilih Brompton, bukan karena sekedar ikutan mode," cetus dia.

Nah, pengalaman yang terjadi pada Sabtu siang sempat membuat Olan tertegun. 

Sesaat setelah dia memarkir sepeda -dengan cara melipat roda belakang, seorang pria sesama penggemar burung menghampirinya.

Pria itu terlihat terkagum-kagum dengan penampakan sepeda yang juga dilengkapi tas depan berwarna senada di bagian depan.

Lelaki itu jongkok, sambil mengusap-usap permukaan sepeda, termasuk ban-ban kecil yang dipakai untuk menyeret sepeda saat dilipat.

“Wah ini Brompton yang baru ya?” kata lelaki itu beberapa saat kemudian.

Olan pun tersenyum dan sempat merasa bangga, karena sepeda koleksinya mendapat apresiasi dari orang lain.

“Yang buatan Bandung ya? Cakep," kata pria itu lagi.

Mendengar kalimat itu, senyum di wajah Olan sirna. "Terus harus gimana dong? Pasti ini gara-gara tulisan di Kompas.com," batin Olan.

Tanpa menunggu lama, Olan menjawab pria itu, “iya, ini Brompton.”

Tapi dia memilih untuk tak mengomentari kalimat yang menyebut sepedanya buatan Bandung.

"Enggak komen-lah, hanya senyum asem aja," cerita Olan.

Penggagas Kreuz, Yudi Yudiantara (50) dan Jujun Junaedi (37), mengaku sengaja "membelah" sepeda Brompton asli, untuk menirunya menjadi Kreuz.

Hasilnya, penampakan sepeda buatan tangan yang melibatkan pekerja sektor informal di Bandung tersebut, mengundang minat banyak orang.

Harga frameset yang dibenderol Rp 3,5 juta terpaut jauh dengan harga Brompton asli yang di Indonesia dipasarkan lebih dari Rp 30 jutaan. Bahkan gini harganya kian "menggila".

Daftar indent pesepeda yang tertarik untuk meminang Kreuz sudah bertambah panjang hingga Februari 2021.

Yudi mengaku hal itu terjadi karena kapasitas produksi Kreuz hanya 10 unit per bulan. "Kami tetap memperhatikan kualitas juga," sambung dia.

Praktik penjiplakan Brompton bukan pertama kali terjadi.

Merek dari pabrikan besar Indonesia seperti Element dan United juga sudah membuat replika Brompton dalam varian Pikes dan Trifold.

Belum lagi, pabrikan China pun membuat produk serupa pada varian 3sixty, yang laris manis di pasar Indonesia.

Meski dijual dalam hitungan yang tidak murah, namun sepeda-sepeda tiruan itu dibanderol jauh di bawah harga Brompton.

"Tapi enggak apa-apa juga. Suatu saat para penghuna Kreuz tetap akan pengin 'naik kelas' ke Brompton," cetus Olan. 

"Ini kan prinsipnya Rolex, biar aja orang pake palsu dulu, kalau mereka jadi kaya, pasti akan beli yang asli sebagai simbol keberhasilan," kata Olan.

Pendapat senada dilontarkan pengguna Brompton lainnya, Wisnu Nugroho (44).

"Kreuz cakep kok, kalo gue belom punya Brompton, gue inden. Local pride," cetus karyawan swasta yang berkantor di Palmerah Selatan, Jakarta ini.

Tentang kesan tiruan yang muncul dari sepeda-sepeda semacam itu, Wisnu berpendapat, pada dasarnya tak ada satu pun ide yang benar-benar baru di dunia ini.

"Nothing new under the sun," cetus dia.

Menurut Wisnu, yang perlu dilakukan adalah prinsip "ATM" -seperti yang juga diakui oleh Yudi,  amati, tiru, modifikasi.

Persoalan gaya -yang pada gilirannya berhubungan dengan harga, kebanggaan, simbol keberhasilan- memang tak akan pernah ada habisnya. Termasuk dalam urusan sepeda.

Padahal, sepeda yang bagus sebenarnya -mungkin, tak melulu berkaitan dengan soal harga.

Tengoklah apa yang dikatakan Heru Margianto (45), seorang penikmat sepeda asal Bekasi.

Menurut dia, sepeda yang bagus adalah sepeda yang dipakai setiap hari, atau konsisten.

Dengan kayakinan itu pula, Heru yang semula bertubuh tambun, selama masa karantina pandemi Covid-19, mampu menurunkan berat badan hingga delapan kilogram.

"Gue bisa nurunin berat badan dengan cara yang sehat, bersepeda kira-kira 40 kilometer, dua jam. Keluar jam enam, balik jam delapan-lah," kata dia.

Dengan pengalaman itu, Heru merasa, sepeda MTB lokal yang dipakainya dengan konsisten ini sudah cukup disebut sebagai sepeda yang bagus.

"Sepeda gue jauh lebih bagus, dibanding sepeda-sepeda mahal yang teronggok di sudut rumah dan menjadi 'berhala'," ucap Heru.

https://lifestyle.kompas.com/read/2020/06/22/140344520/cerita-brompton-mahal-dikira-sepeda-kreuz-bandung-duh

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke