Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Penerimaan Siswa Baru Bikin Anak Stres, Ini Kata Psikolog Anak

KOMPAS.com - Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengatakan bahwa sejauh ini sudah ada empat laporan percobaan bunuh diri yang dilakukan anak karena tidak lolos masuk ke sekolah negeri impian dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) daring.

Tidak lolosnya anak-anak ke sekolah tujuan memiliki banyak faktor yakni nilai yang tidak cukup, rumah tinggal yang jauh dari sekolah dan aturan usia yang diterapkan oleh beberapa wilayah, salah satunya DKI Jakarta.

Karena adanya peraturan baru ini, beberapa anak merasa depresi, orangtua pun melapor ke posko yang dibuat oleh Komnas Perlindungan Anak.

“Terinformasi ke komnas anak ketika menerima pengumuman tidak lulus, karena perbedaan usia hanya beberapa bulan, anak stres berat. Ada empat anak sudah mencoba percobaan bunuh diri dengan mengurung diri di kamar dan tidak mau berkomunikasi,” ujar Arist dalam wawancara dengan Kompas TV.

Bahkan ada seorang anak yang meninggal dunia, karena stres yang kemudian memicu sakit lambung yang telah lama dideritanya.

“Satu lagi anak usaia 14 tahun 9 bulan dia tidak lolos karena umur. Orangtua mengajak dialog kalau tidak bisa diterima di negeri, ya tidak apa-apa di swasta, tapi dia menolak. Dia memang ada penyakit lambung yang jadi pemicunya, akhirnya dia meninggal dunia,” kata Arist lagi.

Menanggapi fenomena ini, psikolog Mario Manuhutu, M. Si mengungkapkan pendapatnya.

Menurut Mario, meningkatnya tingkat stres yang dirasakan anak di masa pencarian sekolah memang wajar terjadi. Terlebih jika anak tidak diterima di skolah yang ia inginkan.

Psikolog dari Rumah Dandelion ini mengatakan bahwa perasaan itu terjadi, karena adanya rasa kecewa karena tidak bisa mendapatkan hal yang diinginkan, padahal mereka mampu.

Belum lagi harapan terlalu besar yang kadang juga menjadi tekanan untuk anak.

Untuk menghindari agar anak tidak merasakan stres berlebih, bahkan hingga ingin menyakiti diri sendiri, Mario menyarankan, orangtua sebaiknya mengajarkan dan sekaligus memberikan contoh untuk mengelola emosi.

Caranya adalah dengan membiarkan anak merasa marah, kecewa dan menangis untuk melepaskan emosi mereka, namun tetaplah dampingi.


Perasaan negatif itu harus dilepaskan, agar tak dipendam dan berkembang menjadi pemikiran yang negatif yang akan ditanamkan anak dalam benak mereka.

“Karena kalau orangtua berusaha menahan kemarahan anak yang enggak sehat. Anak akan berpikir, ‘aku tidak bisa, aku tidak diterima karena aku tidak mampu’, jangan sampai seperti itu,” ujar Mario kepada Kompas.com dalam wawacara melalui telepon, Selasa (30/6/2020).

Pastikan pula anak melepaskan emosi di jalur yang tepat dan tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.

“Jangan sampai buang-buang barang atau menyampaikan kata-kata tidak terpuji di media sosial. Orangtua harus dampingi selalu,” kata Mario.

Sembari mendampingi anak, tenangkan anak dan berikan kata-kata motivasi yang mampu meningkatkan kepercayaan dirinya.

“Katakan pada anak ‘kamu jangan putus asa, mau sekolah di mana pun, kalau rajin, kamu pasti berhasil,” ujar Mario.

Dengan begitu anak tidak akan merasa terpuruk. Mereka akan bangkit.

“Ini menimbulkan kepercayaan diri, ‘orangtuaku menerima, aku dianggap spesial, ada hal baik dalam diriku, mungkin aku akan ke sekolah lain, tapi aku bisa’,” ujar Mario.

Setelah anak sudah tenang, pikirkan solusi bersama. Anak usia SMP dan SMA tentu sudah bisa diajak bicara.

Orangtua dan anak bisa bersama-sama mencari jalan keluar untuk masalah yang sedang dihadapi dalam hal ini mencari sekolah lanjutan untuk mereka.

“Kemudian pikir langkah-langkah yang akan dilakukan. Orangtua mau demo oke, tapi pikirkan kedepannya harus bagaimana,” kata Mario.

https://lifestyle.kompas.com/read/2020/06/30/185420920/penerimaan-siswa-baru-bikin-anak-stres-ini-kata-psikolog-anak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke