Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pulih dari Pandemi: Saatnya Berubah atau Punah

KOMPAS.com - Tidak ada yang menyangka hidup bisa berubah secepat wabah memporakporandakan segala sesuatunya.

Selama setengah tahun semua pokok pemberitaan bertahan dengan satu isu yang sama – bahkan hampir setiap malam siaran radio yang menampung tanggapan pendengar meracik topik itu-itu lagi; membuat saya ‘mblenger’ tapi mau tak mau masih tergoda untuk mengikuti terus.

Bagi saya, interaksi pendengar di radio bisa menjadi gambaran situasi riil yang tengah terjadi di masyarakat.

Makin hari bukannya makin melegakan, berbagai komen dan tanggapan yang saya ikuti belakangan ini justru kian bikin ngeri.

Saat ekonomi ingin dipulihkan, dan rakyat meronta ingin berada dalam situasi hidup ‘seperti dulu lagi’ hingga terjadi mispersepsi istilah ‘new normal’, lonjakan penularan Covid 19 kian menggila.

Dikira mereka new normal adalah ‘hidup baru’ seperti pasca prahara perceraian lalu menikah lagi – sesuai ucapan klasik: Selamat menempuh hidup baru.

Sementara di lembaran yang baru, semua kebiasaan berulang kembali: ketidakjujuran, kemalasan, hingga menggantungkan harapan pada kekasih baru yang dikira bisa menjadi sumber mata air kebahagiaan dan keberuntungan.

Protokol yang dijalankan sebatas aturan saja, menyisakan ‘celah-celah jalan tikus’ untuk dilanggar bahkan dipelintir sedemikian rupa.

Mulai dari cara memakai masker versi turun-naik: turun dari hidung hingga dagu, lalu dinaikkan lagi saat razia tiba.

Tak jauh beda dengan pemakaian helm yang lebih mirip topi asal nempel, boro-boro melindungi tengkuk, apalagi dikencangkan dengan kait yang benar.

Sama juga seperti supir taksi yang pernah saya lihat menarik sabuk pengaman seakan-akan dia sedang mengenakannya saat lewat di jalan protokol, tapi begitu masuk jalan kecil dilepaskan lagi dengan alasan sabuk itu ‘bikin begah’ – karena perutnya besar.


Mengandaikan kasus tertular Covid-19 tapi ‘tidak sampai masuk Rumah sakit’, merupakan cara gegabah menilai virulensi suatu penyakit menular yang sudah jadi pandemi.

Tidak banyak yang menyadari bahwa untuk bisa menjadi kritis dan bergejala, dibutuhkan waktu tertentu minimal hingga jumlah virusnya – viral load – cukup banyak.

Mirip seperti nakes yang tak mampu bertahan hidup, karena setiap hari terperangkap dalam ‘kerumunan virus’ di ruang rumah sakit.

Yang telah bergejala pun, dengan situasi seperti sekarang, jarang ada yang mau ke rumah sakit. Mereka bahkan takut dites dan ternyata positif tertular. Sementara di luar sana, ramai orang berjualan jurus-jurus mujarab penangkal virus.

Tanpa memahami perjalanan alamiah suatu penyakit menular, mulai dari cara virusnya memperbanyak diri hingga berpindah tempat dan menginfeksi korbannya, mustahil wabah bisa dikendalikan.

Tekanan penyakit menular berbulan-bulan, dengan berbagai ekses dalam keseharian hidup manusia membuat begitu banyak orang frustrasi.

Apalagi yang merasa sudah cukup melakukan semua yang terbaik, sementara sebagian orang lain masih berbuat seenaknya.

Akibatnya berbagai macam teori konspirasi bermunculan. Sambil menghubung-hubungkan fakta yang seakan menambah pembenaran.

Apa yang saya rasakan dengan istilah ‘mblenger’ bisa jadi sudah diamini banyak orang.

Muak, eneg, melebihi kelelahan dan kejenuhan bekerja di depan layar komputer, berpindah peran dari satu webinar ke webinar lain, belajar ini itu yang katanya membantu menghadapi situasi baru, sementara faktanya sebagian besar rakyat Indonesia tidak mampu dan tak mau berubah.

Lebih tepatnya: memaksakan kebiasaan lama untuk bisa berjalan lagi di situasi yang tidak biasa.

Menghindari kontak fisik atau tepatnya membatasi pertemuan, dianggap ‘kurang sreg’. Padahal di era yang baru, efisiensi adalah kata kunci.

Justru kemampuan visual dan auditori akan semakin dituntut berkembang dengan interaksi virtual.

Anamnesa – wawancara dengan pasien – kerap kali lebih berkualitas bila saya jalankan secara online, menggunakan teknologi digital visual.

Dengan ‘ngobrol’ dari tempatnya berada, tak terbatas dengan jarak, pasien lebih leluasa tanpa masker – begitu pula dengan saya – sekaligus masih bisa mengamati ekspresi mereka, dan menjawab keluhan yang bisa jadi tidak nyaman diutarakan saat bertemu langsung.

Layar monitor dalam situasi seperti ini, justru menjadi ‘penghalang yang positif’, sebab memberi nuansa protektif bagi beberapa individu yang tidak nyaman dengan situasi frontal.

Situasi penularan wabah tak tak terbatas ruang dan waktu seperti ini, mau tak mau membuat manusia harus punya visi. Berubah, atau punah.

Berubah tidak sama dengan sekadar ‘ganti jaket’. Transformasi mengandaikan totalitas, berani mengambil terobosan yang kontras. Yang bisa jadi mengembalikan kodrat kemanusiaan kita.

Bahwa tidak menyelenggarakan pesta pernikahan jor-joran di gedung, bukan berarti menyurutkan nilai pernikahan itu sendiri.

Mungkin sudah waktunya mengembalikan kesakralan momennya menjadi hal yang intim, bukan konsumsi publik demi rasa pamer.

Kebun belakang rumah selain bersifat ruang terbuka, juga cukup untuk menampung beberapa orang saja yang memang penting untuk selebrasi yang suci.

Begitu pula dengan belanja negara maupun keluarga. Ada transformasi pengeluaran demi masa depan, bukan bertahan harus jajan, harus belanja dan impor – sementara kita sendiri sudah punya kompor: apa salahnya masak sendiri? Apa salahnya menggunakan produk dalam negri?

Tahun 2020 bisa jadi dianggap tahun sejarah umat manusia menemukan titik baliknya. Menjadi lebih terang dan tegas. Clara et distincta.

Pemulihan ekonomi tidak lagi ditujukan untuk bisa ‘seperti dulu’ demi program padat karya memberi makan sekian ratus juta rakyat.

Tapi sudah saatnya di masa depan nanti, kita lebih banyak membuat perangkat elektronik tanpa sentuhan, meningkatkan kapasitas elektronik dan robotik untuk berbagai jenis mekanisme kerja, sekaligus membedakan pekerjaan yang mana keberadaan manusia tak tergantikan.

Menjadi sangat mengerikan, apabila selama pandemi justru terjadi pertambahan jumlah penduduk, semakin tingginya risiko stunting dan malnutrisi akibat pola hidup kian amburadul, naiknya prosentase usia produktif sementara kualitas intelektualnya jauh dari kata konstruktif.

Ekonomi akan semakin kacau dengan semakin banyaknya orang butuh hidup dan makan, sementara di antara mereka terjadi etos kerja ‘saling cakar’ untuk bisa bertahan.

Dalam situasi kisruh begini, jangan mengharapkan etika profesi bisa berjalan, dan kondisi pulih akan semakin jauh dari harapan.

Pulih dari pandemi itu bukan hal yang otomatis. Bukan karena Tuhan kasihan lalu penyakitnya dijauhkan.

Pulih itu ibarat perjuangan keluar dari maut dengan cara-cara yang sahih, bisa dipertanggungjawabkan di hari depan.

Bukan menyelesaikan masalah dengan menciptakan masalah baru. Karena Tuhan menciptakan manusia dengan otak dan akhlak.

https://lifestyle.kompas.com/read/2020/07/17/194500820/pulih-dari-pandemi--saatnya-berubah-atau-punah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke