Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Apa Tak Lelah Marah-marah Terus ke Anak?

KOMPAS.com – Rasanya setiap orangtua pernah menghadapi perilaku anak yang seolah menguji kesabaran. Entah ketika anak merusak barang, tidak menurut perintah, atau melakukan “kenalakan” lain.

Reaksi kesal orangtua memang hal yang wajar. Namun, meledakkan kemarahan dengan membentak, berkata kasar, atau memberi hukuman fisik, dapat berdampak buruk bagi perkembangan anak.

Dalam sebuah survei terhadap orangtua yang memiliki anak berusia 0-24 bulan, terungkap bahwa semakin besar usia anak, makin sering orangtua menggunakan pendekatan hukuman untuk mendisiplinkan anaknya.

Misalnya saja dengan mengancam, berteriak marah, atau memberikan “time-out” (anak harus berdiam diri di satu tempat selama beberapa waktu).

Mendidik anak dengan kekerasan terbukti hanya menghasilkan gangguan perilaku pada anak.

Menurut psikolog Nadia Emanuella Gideon, M.Psi, kecenderungan orangtua dalam mengasuh hanya berfokus pada mengubah perilaku anak dan berusaha mengubahnya menjadi lebih baik.

“Pendekatan yang sering dipakai orangtua adalah perubahan perilaku anak. Padahal, seharusnya dicari tahu mengapa anak melakukan suatu perilaku,” kata Pendiri dan Direktur Jakarta Child Development Center (JCDC) ini dalam acara media diskusi yang diadakan secara virtual (17/7).

Nadia mencontohkan salah satu kliennya, seorang ibu yang berkonsultasi karena anaknya sering memukul temannya. Ibu tersebut ingin agar anaknya menghentikan perilaku buruk itu dan menjadi lebih baik.

Menurut Nadia, seharusnya orangtua mencari tahu mengapa anaknya itu suka memukul, bukan langsung ingin mengubah perilakunya.

Ketika anak sedang tantrum kebanyakan orangtua juga menganggap anaknya sedang mencari perhatian, sehingga orangtua memberi konsekuensi dengan mengabaikan anak.

Dalam banyak kasus bisa jadi anak rewel dan tantrum karena merasa bosan, stres, sedang ingin ditemani, atau lapar. Akan tidak efektif kalau orangtua malah menghukum anak. Selain itu, anak pun malah akan stres.

“Pemberian hukuman merupakan cara pandang bahwa anak berperilaku negative karena punya tujuan. Cara ini tidak melihat cara berpikir atau proses berpikir seorang anak. Karena tidak paham sumber masalahnya, akhirnya orangtua memakai pendekatan yang salah,” ujar Nadia.

Pendekatan hukuman dan hadiah untuk anak juga berbahaya karena orangtua menggunakan motivasi dari luar diri anak.

“Nantinya anak akan patuh hanya kalau ada figure atau sosok yang ia takuti, atau anak termotivasi berperilaku baik karena ada iming-iming hadiah,” ujarnya.

Membangun koneksi yang hangat

Setiap anak adalah individu yang berbeda dan punya keunikan. Bahkan seorang anak kembar pun memiliki perbedaan satu sama lain.

Menurut Nadia, perkembangan anak perlu dimulai dan didasari oleh adanya interaksi dan koneksi yang hangat antara anak dengan orangtua ataupun orang dewasa di sekitar anak.

Salah satu pendekatan yang terbukti berhasil membantu mengatasi perilaku sulit pada anak dan mendorong optimalisasi perkembangan anak disebut sebagai DIR Floortime.

Menurutnya, DIR Floortime mendorong proses perkembangan anak (D - Development) dan memahami serta mendorong keunikan individu (I - Individual Difference).

“Pendekatan ini didasari proses yang menyenangkan dan berbasis interaksi-Relasi-koneksi antara anak dengan orang di sekitarnya untuk mendorong potensi anak terpenuhi. Hubungan tersebut dilihat sebagai bensin dari perkembangan anak,” jelas Nadia.

Dalam pola asuh ini, orangtua mendisiplinkan anak dengan memberikan konsekuensi, bukan hanya menghukum.

“Misalnya anak menumpahkan air, konsekuensinya disuruh melap dong, bukan dibentak-bentak,” katanya mencontohkan.

Mendengar dan berkomunikasi

Ditambahkan oleh dokter spesialis anak Vinia Rusli, dalam DIR floor time, intinya adalah mendengarkan anak. Pendekatan ini juga sangat penting untuk anak yang mulai masuk usia praremaja.

“Dengarkan apa yang mau dia bicarakan, pikirkan dan inginkan. Seringkali orangtua memberi label anaknya bandel dan ngeyel jika mereka tidak sesuai keinginan orangtua,” kata Vinia dalam acara yang sama.

Ia mengatakan, makin besar usia anak, mereka akan memiliki kemauan sendiri.

“Dengarkan dulu kemuannya. Kalau yang dia mau tidak sesuai atau negatif, jangan langsung dimarahi, tanya dulu kenapa mau itu. Bicarakan dengan nada yang netral. Dari situ baru diarahkan. Kalau ia ingin melakukan hal yang positif, walau tak sesuai mau orangtua, coba beri kesempatan,” sarannya.

Jika orangtua hanya menghukum tanpa membuang ruang dialog, anak jadi tidak tahu letak kesalahannya atau malah jadi kesal karena kemarahan orangtuanya.

Menurut Nadia, dalam pendekatan DIR floor time, bukan berarti anak tidak mendapat konsekuensi dari perilakunya, tapi bukan dengan cara dimarah-marahi.

“Lagi pula, bukankah melelahkan juga bagi orangtua kalau marah-marah terus,” katanya.

https://lifestyle.kompas.com/read/2020/07/20/173915020/apa-tak-lelah-marah-marah-terus-ke-anak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke