Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sudah Amankah Tur Sepeda pada Masa Pandemi?

KOMPAS.com - Saat ini aktivitas masyarakat memang masih terbatas karena pandemi Covid-19. Walau begitu, beberapa aktivitas luar ruang sudah bisa dilakukan, termasuk dalam hal berolahraga.

Bosan dengan rute gowes di dalam kota, banyak orang yang mulai memikirkan untuk  melakukan tur (touring) ke daerah tertentu. Namun, apakah sudah aman untuk dilakukan?

Pendiri Bianglala Tour sekaligus pesepeda tur solo dunia, dr Aristi Madjid, menekankan pentingnya untuk memilih jenis aktivitas luar rumah yang lebih penting.

Secara pribadi, ia memilih menahan diri untuk tidak melakukan tur hingga vaksin resmi Covid-19 ditemukan.

Namun, jika memang ada masyarakat yang mau melakukan tur sepeda, ia berpesan agar memberlakukan protokol keamanan dan kebersihan yang ketat.

"Memang akan banyak sekali protokolnya dan sudah pasti berbeda sekali dengan kita touring sebelum pandemi."

Demikian diungkapkan Aristi dalam zoominar bertajuk "JLN Ngobrol Bike: Touring Sepeda di Era New Normal, Amankah? Protokol Pencegahan Covid-19 Saat Bersepeda", Minggu (26/7/2020).

Aristi menambahkan, saat ini Indonesia menjalani tatanan normal baru ketika berada pada puncak kurva pandemi. Padahal, new normal idealnya dilakukan ketika kasus baru Covid-19 sudah nol.

Banyaknya orang tanpa gejala (OTG) juga membuat aktivitas di luar ruangan yang melibatkan kelompok menjadi semakin riskan.

"Beberapa hari lalu 80 persen pasien yang positif adalah OTG, setelah di-rapid test atau swab. Jadi, kita bisa bayangkan betapa banyaknya orang tanpa gejala di sekitar kita sekarang, yang mana kita benar-benar enggak tahu karena tanpa gejala," tuturnya.

Di samping itu, jangkauan penyebaran droplet juga bisa lebih jauh jika seseorang bergerak, dalam hal ini bersepeda.

Sebagai ilustrasi, jika kita berdiri dan mengembuskan napas, droplet bisa jatuh ke tanah hingga sejauh 1,5 meter. Namun, jika kita batuk, jangkauannya bisa mencapai 2 meter dan bersin bisa lebih dari 8 meter.

Batuk memiliki kecepatan sekitar 80 km per jam dan bersin 100 km per jam serta mengandung microdroplet.

"Microdroplet akan ikut terbawa angin saat ada percepatan. Jadi saat gowes kecepatan tinggi sekitar 10-20 km per jam, droplet bisa terbawa ke belakang mengenai pesepeda lain," ungkap Aristi.

Namun, jika memang Anda sudah merencanakan tur dalam waktu dekat, buatlah aturan yang rinci demi keamanan sepanjang perjalanan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain:

1. Pergi sendiri atau kelompok kecil

Disarankan untuk bersepeda solo atau pergi dalam kelompok kecil, maksimal lima orang. Menurut Aristi, hal itu untuk mempermudah kita menjaga jarak antar-pesepeda.

"Tapi, jangan juga gowes solo atau 2-3 orang, tapi tujuannya ke car free day yang ramai orang," katanya.

2. Perhatikan rute

Pendiri Jelajah Lintas Nusa (JLN), Nugroho F Yudho, pada kesempatan yang sama memberi saran agar pesepeda mempertimbangkan rute touring dengan baik.

Hindari area yang ramai dan zona merah Covid-19. Ia mencontohkan tur terakhir yang dilakukannya melalui Pamanukan (nol kasus), Cirebon (25 kasus dan sembuh setengahnya), dan Purwokerto (84 kasus dan sembuh di atas 65 kasus).

"Jadi kami masuk daerah yang cenderung aman. Jika bisa begitu, touring kami bahkan lebih aman daripada bersepeda di Jakarta yang risikonya mungkin bisa lebih tinggi," kata Nugroho.

Di samping itu, dianjurkan berada di ruang terbuka sebanyak mungkin.

3. Membawa perlengkapan

Pastikan sepeda dalam keadaan prima sebelum Anda berangkat tur. Selain perlengkapan standar, Nugroho menekankan pentingnya membawa beberapa perlengkapan tambahan.

Pertama, masker. Beberapa pesepeda gemar mengenakan penutup wajah mirip buff untuk bersepeda. Namun, ia menyarankan untuk membawa masker cadangan. Mengenai masker, Aristi menganjurkan masker kain dengan dua atau tiga lapis yang lebih mempermudah napas.

Sementara jika mengenakan masker scuba, Aristi menyarankan untuk melapisinya kembali dengan filter.

"Tidak direkomendasikan masker bedah karena tingkat filtrasi lebih aman, tapi oksigen yang masuk lebih sedikit. Masker medis boleh dipakai saat berhenti atau masuk minimarket," ujarnya.

Selain masker, Nugroho juga menyarankan membawa hand sanitizer dan disinfektan. Dianjurkan membawa disinfektan jenis spray, dan bukan aerosol. Disinfektan digunakan untuk beberapa kali kesempatan, seperti saat berhenti untuk makan.

Selain itu, ia juga menganjurkan membawa obat-obatan dan termometer digital setidaknya satu dalam kelompok atau lebih baik jika setiap orang membawa masing-masing.

"Itu akan membuat touring lebih nyaman dan percayalah di dalam perjalanan kita 'nembak' orang itu enggak membuat orang marah, semua paham karena kondisinya memang begini," tuturnya.

4. Menyiapkan SOP lengkap

Ketika memutuskan untuk tur luar kota, Nugroho mengingatkan agar kita memberlakukan prosedur standar operasional (SOP) di setiap tempat, mulai dari mengatur jarak antar-pesepeda, perilaku saat memasuki kawasan kerumunan, ketika masuk ke rumah makan, minimarket, hingga hotel tempat menginap.

Pastikan kita tetap menerapkan protokol Covid-19 secara ketat di setiap tempat yang kita kunjungi.

Di rumah makan, misalnya, jangan lupa menyemprotkan disinfektan ke seluruh permukaan yang akan disentuh, misalnya perlengkapan bersepeda, meja makan, bahkan menyemprotkan alkohol ke peralatan makan jika perlu.

"Intinya kita harus punya SOP untuk seluruh kegiatan kita selama touring," ungkapnya.

5. Melakukan rapid atau swab test

Sebelum pergi tur, Nugroho meminta rekan-rekannya yang berpartisipasi untuk menyerahkan hasil rapid test H-1 perjalanan agar semua yakin rekan-rekan seperjalanannya bebas dari ancaman Covid-19.

Aristi menambahkan, selain rapid test, pesepeda juga bisa memilih melakukan swab PCR terlebih dahulu.

Meski begitu, ia tetap menekankan pentingnya agar kita mengetahui lama masa inkubasi Covid-19 yang berkisar antara empat hari hingga dua minggu.

Dengan demikian, orang yang dinyatakan non-reaktif dalam tes bisa saja merupakan OTG dan memasuki masa inkubasinya ketika menjalani touring.

"Pas rapid hasil non-reaktif, tapi saat touring sudah masuk masa inkubasi, dia bisa menjadi OTG dalam perjalanan. Pada saat dia jadi OTG, dia ada dalam rombongan touring."

"Itu baru satu orang dan itu bisa kejadian di beberapa orang mengingat OTG sangat banyak. Gejala tidak akan muncul walaupun virus ada di dalam tubuh," ujarnya.

OTG tersebut tetap memiliki kemungkinan menularkan virus pada rekan seperjalanannya, apalagi jika ada rekan seperjalanan yang imunitasnya sedang turun.

"Jadi saat sekarang, kalau saya masih terus menekankan sebisa mungkin tetap di rumah jika tidak terlalu penting untuk keluar," kata Aristi.

Nah, bagaimana dengan Anda, apakah masih berkeinginan pergi tur dengan segala risiko yang ada? Jika ya, jangan lupa memberlakukan protokol keamanan dan kebersihan yang ketat, seperti disampaikan di atas.

https://lifestyle.kompas.com/read/2020/07/27/082438420/sudah-amankah-tur-sepeda-pada-masa-pandemi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke