Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Melihat Fenomena Gaya Hidup “Mendadak Atlet”

Lihat saja begitu kebijakan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) dicabut, jalanan dipenuhi oleh pesepeda.

Komunitas sepeda pun membuat event mandiri, karena event tahunan berskala besar tentu belum bisa diadakan.

“Teman saya iseng melakukan survei di Jalan Dago Bandung, pada hari Minggu, sepeda yang melewati jalan itu mencapai 6.000 sepeda.”

Hal itu disampaikan Penggagas Triathlon Barudak Bandung, Rizal Ginanjar dalam Webinar Series Sekolah Bisnis Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB), Kamis(30/7/2020).

Pemandangan ini sebetulnya tidak terlalu aneh di dunia sport enthusias.

Seperti dalam dunia olahraga  lari. Ada yang awalnya pelari komplek, lalu menjadi ketagihan hingga mengikuti beragam ajang race.

Padahal untuk ikut race, orang tersebut harus lelah berlatih, mengeluarkan biaya untuk membeli slot, dan tentu saja capek saat race.

Namun semua itu dijalankannya dengan suka cita.

Nah, ada beberapa hal yang yang menjadi alasan. Salah satunya adalah pengalaman. Dari yang biasanya lari sendiri kini bersama 1.000 orang, mencapai finish dan mendapat medali.

Padahal, umumnya di dunia olahraga, medali ini hanya didapat atlet berprestasi. Layaknya para atlet, medali-medali dan kaus race ini dikoleksi.

"Untuk mendapatkan itu, mereka gabung dengan komunitas. Berproses, menjadikan itu kebiasaan, hingga menjadi perilaku dan berujung pada gaya hidup,” ungkap dia.

Proses yang dimaksud, sambung Rizki, adalah upaya untuk sukses di ajang lari dan mendapatkan personal achievement.

Pertama, mereka harus menjalankan pola latihan. Baik itu teknik endurance, strengthening, training plan dengan atau tanpa pelatih.

Kemudian mereka harus mengubah pola makan menjadi lebih sehat.

“Makanannya apa, suplemennya gimana, hidrasi, dengan atau tanpa nutrisi selama training atau selama lomba,” tutur dia.

Kemudian bagaimana teori best practise-nya. Mereka mendapatkannya di komunitas, website, literatur, influencer dalam lainnya. Termasuk pola istirahat mereka ikuti.

Proses ini membuat orang menjadi mendadak atlet. Dari awalnya hanya ingin ikut saja, menjadi mengubah gaya hidupnya untuk personal achievement.

Rizal juga melihat perubahan pada perilaku-perilaku "mendadak atlet", yakni merencanakan keuangannya untuk ikut race.

Kemudian bergabung komunitas untuk sharing, belajar yang benar, latihan bersama, menentukan race yang diikuti, dan lainnya.

Lalu willing to spend. Misal, untuk ikut event sepeda, mereka akan membeli sepeda, wheelset, sarung tangan, sepatu, helm, kaca mata, dan lainnya yang harganya tidaklah murah.

Selain itu, mereka memiliki personal best oriented yang akan didapat dengan latihan rutin dan peralatan mumpuni. Lalu disiplin dan kompetitif.

“Pada akhirnya (mereka) terjebak seperti atlet dan berperilaku atlet,” imbuh dia.

Namun persoalannya, mereka ini rawan tidak sehat, dari mulai cedera bahkan ada yang sampai meninggal.

Salah satu penyebabnya kesiapan tubuh. Misal, seharusnya lari 10 kilometer, malah mengikuti full marathon.

https://lifestyle.kompas.com/read/2020/07/30/175013220/melihat-fenomena-gaya-hidup-mendadak-atlet

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke